Salju berjatuhan hari ini, menutupi jalan-jalan, pohon-pohon, serta rumah-rumah penduduk dengan hamparan es nya. Suhu minus tiga puluh derajat celcius membuat para warga yang sedang berada di luaran rumah memakai baju hangat yang lumayan tebal untuk menghangatkan tubuh. Begitu pula denganku, ditambah aku yang tidak terbiasa dengan suhu dingin membuatku harus memakai baju berlapis-lapis serta jaket tebal agar tetap hangat. Aku berhenti di suatu café untuk menghangatkan tubuh sembari memesan secangkir coklat panas. Café ini menjadi favoritku karena menyediakan banyak sekali buku-buku yang bisa dibaca ketika mengunjungi café, seperti perpustakaan dengan makanan enak, pikirku ketika pertama kali mengunjungi tempat ini.

Oh, mungkin aku belum memperkenalkan diri. Perkenalkan aku Gabriel, mahasiswa yang sedang menempuh pendidikan S1 jurusan ilmu sosial di Tomsk State University, Russia. Aku kemari dengan program beasiswa Russia Government Scholarship. Baru sekitar 10 bulan aku berada disini dengan bahasa Russia yang masih terbata-bata. Psst, aku masih belajar, jadi jangan bilang-siapa-siapa ya.

Aku sedang membaca halaman 20 dari buku yang tengah ku pegang ketika coklat panasku diantar oleh pelayan ke mejaku. Ketika itu aku mendengar seseorang tengah menyapaku dan cukup untuk membuatku menoleh menatapnya. Sosok tengah berdiri di pintu café sambal melambaikan tangannya ke arahku dan aku membalas lambaikan tangannya juga. Dia temanku, Christ dari New York. Kami saling mengenal saat pembagian asrama yang ternyata kita sekamar. Kulihat Christ sedang memesan sebelum akhirnya duduk di depanku.

“Selalu saja kamu duduk disini, apa kamu tidak bosan?” ucap Christ dengan Bahasa Inggris nya. Kami memang menggunakan Bahasa Inggris untuk komunikasi, alasannya dua, kami bisa Bahasa Inggris dan belum menguasai Bahasa Rusia. “Tentu saja tidak. Bukankah kamu tahu bahwa ini adalah tempat favoritku?” Jawabku seadanya. Ku tutup buku yang tengah ku pegang kemudian menyeruput minumanku. Hm, rasanya nikmat, seperti biasanya. “Hari ini dingin, seperti biasanya. Setelah ini ayo membeli hiasan untuk natal. Kita harus menghias kamar kita” Ucap Christ. Aku mengangguk menanggapinya. Natal memang akan segera tiba, terbukti dengan ornamen-ornamen yang menghiasi toko-toko serta jalan-jalan, ditambah diskon-diskon yang mulai bertebaran.

Setelah menghabiskan minuman yang kami pesan, Christ pun pergi untuk membayar. Dia mengatakan akan mentraktirku kali ini, kubiarkan sajalah, lumayan. Sambil menunggu Christ membayar, aku mulai membereskan barang-barang yang ku bawa dan beranjak dari tempat duduk. Kami melangkahkan kaki menuju swalayan terdekat, hanya untuk membeli beberapa ornamen sederhana, seperti lentera dan Chistmast wreath. Ya, hanya untuk dipajang di kamar agar suasananya seperti natal. Tahun ini kami tidak bisa pulang. Tak lupa pula aku membeli kado untuk diberikan kepada Christ, hanya sebuah buku. Aku tahu dia tidak terlalu suka membaca, tapi dia adalah orang yang menghargai pemberian orang lain. “Sudah?” tanyanya padaku. Aku mengangguk dan  kami pergi dari swalayan setelah membeli barang-barang yang kami perlukan.

Kami tiba pukul 8 malam di asrama. Setelah membereskan barang-barang yang di beli, kami duduk sejenak untuk melepas penat. Christ pergi untuk memanaskan makanan yang sempat kami beli di perjalanan pulang sebagai makan malam. Kami membeli ukha, semacam sup seafood khas Rusia. Saat Christ Kembali, aku sudah mengatur tempat untuk makan. Kami sering berbagi ketika makan bersama. Makhlum, kita berbeda jurusan sehingga tidak banyak bertemu ketika di kampus.

“Aku rindu rumahku” Christ memulai ceritanya sesaat setelah sesuap sup masuk ke mulutku. “Setiap malam natal, aku dan kakak ku akan saling berebut untuk menghias pohon natal. Ayah seringakali marah ketika mengetahui ulah nakal kami. Pernah suatu kali, Ayah marah besar karena aku dan kakak ku mematahkan pohon natal. Kami sampai harus memecahkan celengan untuk mengganti pohon itu. Hahaha. Itu adalah kenangan yang lucu” cerita Christ panjang lebar sembari tertawa di sela-sela ceritanya. “Bagaimana denganmu? Kenangan apa yang kamu miliki ketika natal tiba?” tanyanya kepadaku.

“Aku tidak punya banyak hal untuk diceritakan. Tapi natal yang paling berkesan dalam hidupku adalah ketika kami sekeluarga jalan-jalan bersama. Tidak ke luar negeri memang, hanya di dalam negeri saja, seperti Bali, Malang, dan tempat-tempat lain. Kakekku adalah pecinta alam. Dia pernah bergabung dengan komunitas pecinta alam ketika masih muda. Hal itu yang membuat kami sering kali mengunjungi banyak tempat ketika natal tiba. Walaupun kakekku sudah meninggal, tapi itu sudah seperti tradisi bagi kami” ceritaku.

“Kakek mu sungguh orang yang menarik. Lalu apalagi? Ceritakan lebih banyak tentang kakekmu” tanya Christ dengan raut wajah yang penasaran.

“Kakek suka sekali mendaki ketika masih muda. Aku bisa mengatakan bahwa seluruh gunung di pulau Jawa sudah pernah di pijak. Dengan semangat kakek akan menceritakan pengalamannya sembari menatap senja di teras ketika aku masih muda. Ketika sinar-sinar surya menembus udara dingin di Bromo, ketika angin berhembus kering di Welirang, ketika menapakkan kaki pertama kali di Lawu. Bagaimana indahnya danau di Semeru dan bagaimana segarnya air terjun di Rinjani. Semua itu masih terekam jelas di ingatannya” ceritaku.

“Selain gunung, kakek juga sering ke pantai bersama para komunitasnya untuk sekedar menikmati indahnya laut, atau ketika komunitas mengadakan acara bersih-bersih laut. Semacam agenda rutin yang mereka lakukan setiap bulan untuk membersihkan laut-laut dari sampah-sampah masyarakat. Haha. Pantai yang paling berkesan baginya adalah  Pantai  Klayar. Karena selain pemandangannya yang menyejukkan mata, disanalah dia pertama kali bertemu dengan nenekku. Dia berkata bahwa nenek terlihat cantik ketika terpaan angin laut menyapa wajahnya. Aku selalu tertawa ketika dia menceritakan bagian itu” lanjutku.

“Dari ceritamu, aku dapat memhami betapa kagumnya kakekmu pada negerimu. Dia sepertinya telah mengujngi banyak tempat dan banyak pulau ya? Ah, aku iri. Kapan-kapan ajaklah aku ke negerimu, agar aku dapat melihat apa yang kakekmu kagumi” tanggap Christ pada ceritaku.

“Ya, tentu saja. Aku akan mengajakmu berkeliling Bali untuk melihat keindahan pantainya. Kemudian menapaki indahnya gunung-gunung di Jawa Timur, dan membuat mulutmu kenyang akan cita rasa makanan khas Indonesia” Jawabku sambil tertawa dengan keras.

“Semakin kau berkata begitu, aku semakin rindu New York. Aku rindu rasa pizza yang di jual di dekat apartementku. Bibi disana sangat baik, dia sering kali memberiku potongan harga” ucap Christ sambil menendokkan potongan ikan ke dalam mulutnya sembari cemberut.

“Tidak apa-apa. Kita masih bisa membeli pizza itu di Tomsk, ada di ujung jalan asrama kita. Walaupun rasanya pasti tidak sama, tapi itu mungkin dapat meringankan rasa rindumu” ucapku sembari menepuk pundaknya pelan. “Dan kau? Apa yang kau rindukan?” tanyanya.

Apa yang aku rindukan? Apakah itu hamparan pasir pantai Ubud? Ataukah danau Bromo, gunung yang pertama kali ku tapaki? Apakah aku rindu kuah kuning papeda yang sering dimasak tante Elen sahabat ibuku? Ataukah rindu rendang khas buatan ibuku? Hal yang ku kuketahui adalah, aku merindukan semuanya. Aku merindukan negeriku, Indonesiaku. (Dee)