Aku Azkia Beril mahasiswa semester lima, program studi Teknik Mesin di Universitas Melati. Seperti kebanyakan mahasiswa teknik lainnya, aku banyak menghabiskan waktu di laboratorium untuk menyelesaikan tugas praktikum yang tidak ada habisnya. Benar saja, saking banyaknya tugas aku pun tidak punya waktu berpacaran. Untungnya, aku selalu ditemani oleh sahabatku. Trisha dan Kumbang, namanya.

Trisha, sahabatku yang super imut dan pendiam, tentu saja aku lebih imut dari dia. Kalau Kumbang itu tampan, pendiam, dan dekat hampir ke semua dosen. Karena Kumbang adalah duta baca di fakultas dan salah satu penjaga ruang baca tentunya. Kalau aku ekstrover dan aktif organisasi di bidang taekwondo.

Satu bulan yang lalu, bulan September tepatnya sebelum semester lima dimulai. Trisha tiba-tiba mengambil cuti sakit. Waktu pertama kali dia mengambil cuti, bahkan sampai bulan kesepuluh,  sahabatku itu tidak bisa dihubungi. Aku menelpon orangtuanya di Kalimantan. Mereka mengatakan, kalau Trisha tidak pulang ke rumah. Aku juga mengunjungi pondok pesantren tempat dia tinggal untuk menjenguk Trisha.

“Santri Trisha sudah tidak tinggal disini, katanya mau pindah ke tempat lain. Kemarin dia juga tergesa-gesa, terlihat gelisah, dan matanya sembab. Saat saya tanyai, Trisha tidak menjawab,” kata Kyai pemilik pesantren.

Sudah satu bulan aku dan Kumbang mencari Trisha, tapi hasilnya nihil. Nomor teleponnya tidak bisa dihubungi, bahkan Trisha menonaktifkan sosial media. Di penghabisan tanggal bulan Oktober, aku sudah buntu, tidak ada ide untuk mencari Trisha kemana lagi. Akhir-akhir ini Kumbang seperti tidak ingin kuajak mencari Trisha. Katanya Kumbang lagi sibuk sama kegiatan di ruang baca. Entah apa yang dia lakukan, sebab ruang baca fakultas selalu sepi.

Alhasil, aku sendiri yang mencari Trisha di sela-sela kesibukanku sebagai mahasiswa. Meskipun aku sibuk praktikum, tetapi aku tidak pernah absen untuk latihan taekwondo. Sebab Trisha merupakan motivasi kuat aku tetap berlatih. Kalau saja aku bertemu Trisha lagi, akan aku tendang dia sampai mengatakan alasan mengenai hilangnya yang tiba-tiba.

Pukul tujuh malam, aku selesai latihan taekwondo. Basecamp organisasiku ada di lantai lima gedung fakultasku. Saat aku hampir sampai di lantai dua, aku memperlambat langkahku. Benar saja, aku melihat Kumbang di depan ruang baca. Jadi, pintu ruang baca di fakultasku hampir lurus dengan tangga. Sehingga, aku bisa mengintip ruang baca dari tangga dengan aman. Didukung dengan pencahayaan yang minim di tangga, tempat aku berdiri saat ini.

Memang sebelum kejadian ini, aku sudah pernah melihat Kumbang di fakultas pada malam hari. Katanya dia sedang merapikan buku di ruang baca. Pada saat itu, aku tak acuh tentang hal tersebut. Namun, sekarang agak mencurigakan. Lantaran aku mendengar suara Kumbang dan cekikikan perempuan. Tak mungkin suara hantu, sebab suara perempuan itu diiringi obrolan mengenai pengaman dan upah orderan.

Aku tidak paham topik obrolan mereka. Sehingga aku memilih menuruni tangga lain dan pulang ke kos. Dalam hati aku memikirkan Kumbang yang pendiam menjadi begitu humble dan punya banyak teman, bahkan teman perempuan. Aku sangat tahu, Kumbang tidak suka berinteraksi dengan perempuan. Karena berisik, katanya. Apakah Kumbang memiliki pacar yang begitu banyak, dan berkencan di ruang baca? Tetapi, aku menepis segala asumsi buruk mengenai Kumbang.

Pertengahan bulan November, Kumbang mengajakku berpacaran. Aku tidak menduga, bahwa Kumbang memiliki rasa yang sama sepertiku. Cinta bertepuk sebelah tangan berakhir di bulan kesebelas. Iya, memang aku menyukainya sejak semester satu. Tak kusangka, perasaanku terjawab di semester lima.

Sore itu aku diajak Kumbang berkencan di ruang baca. Kebetulan juga saat itu Kumbang ada jadwal jaga ruang baca. Karena bosan menonton film, akhirnya Kumbang keluar beli makanan. Ponsel Kumbang tertinggal disini dan tak lama ada notifikasi masuk. Aku tidak sengaja membuka pesan WhatsApp Kumbang dengan pak Bambam. Pesan mengenai transaksi ayam kampus.

“Mbang, bapak sudah transfer 250 ribu buat DP. Nanti jam 17.00 di ruang gelap, ayam kampus yang kemarin bapak pilih ya. Jangan lupa,” isi pesan yang kubaca di ponsel Kumbang.

Aku membeku dan tidak berani menanyakan hal tersebut. Dari ruang baca, aku langsung pulang dan mengakhiri kencan begitu saja. Bahkan aku tidak berani melapor, karena Kumbang adalah sahabatku dari semester satu sekaligus pacarku sekarang. Saat tiba di kamar kos, aku mencoba memejamkan mataku dan berharap hal buruk tentang Kumbang hanyalah mimpi.

Esoknya aku masuk kuliah seperti biasa. Aku bertemu Kumbang di kelas dan ia duduk disebelahku. Aku mencoba bersikap romantis seperti biasanya. Kumbang pun begitu. Saat kelas berlangsung, Kumbang meminta tolong untuk menjaga ruang baca sebentar, karena dia akan asistensi praktikum setelah kelas berakhir. Aku menuruti maunya dan tak banyak bertanya.

Ternyata Kumbang tidak sebodoh itu, sepertinya dia tahu bahwa aku membuka pesannya dari pak Bambam. Sebab, tiba-tiba pak Bambam masuk ke ruang baca dan mengunci pintu rapat-rapat. Kumbang menjebakku, dia menjualku ke pak Bambam. Karena kaget, badanku lemas dan dengan mudahnya aku diseret ke sebuah ruangan. Di balik rak buku, ada sebuah pintu yang menuju ruang tersembunyi fakultas. Tempat yang dibicarakan pak Bambam melalui WhatsApp tempo hari.

Saat terbangun, aku sudah berada di kamar kosku. Entah bagaimana aku bisa berjalan tertatih semalam dan sampai disini. Hari ini aku bolos kuliah dan memilih untuk menemui pak Purno, dosen pendampingku. Tentu saja untuk melapor kejadian tidak senonoh yang dilakukan pak Bambam. Setelah melapor, tentu saja aku merasa tenang. Karena kata pak Purno, Kumbang dan pak Bambam akan segera dilaporkan pihak yang berwajib.

Setelah tiga hari aku membolos kuliah, akhirnya aku masuk ke kelas seperti biasanya. Aku masih mencoba menghubungi Trisha, tetapi tak kunjung ditanggapi. Namun, hal tak terduga terjadi lagi. Kumbang duduk tepat di sebelahku dan pak Bambam mengajar kuliah seperti biasanya. Memang hari ini adalah jadwal kuliah pak Bambam, pikirku akan digantikan dosen lain. Sebab aku sudah melaporkan mereka beberapa hari lalu.

Selama kelas berlangsung, aku merapal doa. Berharap tidak terjadi hal menakutkan, seperti di ruang baca. Aku juga sudah menyiapkan mental untuk kabur dari kelas. Aku bingung, sebab aku duduk di pojok kelas dan ada Kumbang di sebelahku. Seakan dia sedang memojokkanku. Hal yang aku takutkan terjadi. Aku tidak bisa meminta tolong ke temanku yang lain. Karena mereka tahu, aku dan Kumbang sedang berpacaran. Tetapi, tanganku sudah mengepal, siap meninju Kumbang apabila dia menghalangiku.

Saat mencoba kabur, aku meninju wajah Kumbang. Tak kusangka, kakiku dijegal Kumbang dan kepalaku terbentur kursi. Sepertinya kepalaku berdarah banyak, karena tak lama aku hilang kesadaran. Saat terbangun, aku sudah berada di ruangan gelap seperti hari lalu.

Menggunakan sisa tenaga, aku mencoba kabur dari tempat itu. Ternyata di luar ruangan ini terdapat pintu kamar lain. Aku menghiraukan itu. Darahku mengalir dari kepala, membasahi baju putihku. Di ruang baca, aku mendapati Kumbang dan pak Bambam mengobrol. Mereka panik dan pak Bambam bergegas membawa aku kembali dalam ruang gelap itu. Aku menendang kepala pak Bambam, dan berhasil menampik tangannya. Kumbang menghalau aku menuju pintu. Sepertinya darahku sudah membasahi sekujur tubuhku. Aku tidak bisa berkutik lagi.

Namun, tiba-tiba pintu ruang baca terdobrak. Lalu munculah Trisha bersama orang berseragam polisi, dan beberapa perempuan entah siapa. Di sudut mataku, terlihat Kumbang mencoba kabur melalui jendela. Naas, kakinya ditembak polisi dan tak berhasil kabur. Setelah itu, Trisha langsung memelukku dan aku tidak ingat apapun setelahnya.

Setelah dua hari menginap di kamar VIP rumah sakit Surabaya dan aku terbangun dari tidurku dan menangis sejadi-jadinya. Trisha pun juga begitu. Orang tuaku juga menangis, tidak menyangka bahwa hal seperti ini terjadi kepadaku. Bahkan aku sempat disuruh cuti kuliah, tetapi aku tolak. Tentu saja aku juga mengurungkan niat untuk menendang Trisha, karena dia sudah mengakui kemana saja selama ini.

Setelah orang tuaku mengurus administrasi rumah sakit, mereka bergegas pulang karena ada keperluan mendesak di rumah. Kala sunyi itu, Trisha bercerita mengenai hal yang dialaminya dua bulan yang lalu, awal bulan September. Melalui story WhatsApp, Trisha tahu kalau Kumbang sedang merapikan buku di ruang baca. Sore itu dia ke gedung fakultas untuk meminjam buku sekaligus ingin ngagetin Kumbang di ruang baca. Alhasil, Trisha dikagetkan dengan memergoki Kumbang membuka sebuah pintu yang berada di balik rak buku. Trisha tidak melapor ke siapapun. Sebab dia berpikir bahwa ruangan gelap itu pasti ada kaitannya dengan orang-orang di fakultas. Lantaran pasti bukan secara kebetulan ruangan itu dibuat.

Kumbang tahu kalau Trisha mengetahui ruang gelap di ruang baca fakultas. Akhirnya Kumbang menjual Trisha menjadi ayam kampus. Kala itu Trisha dibuat tak sadarkan diri dan dibawa ke ruang gelap. Saat terbangun, dia sudah berada di ruang kelas. Trisha mencoba lapor ke salah satu dosen. Kasusnya sama sepertiku, Kumbang tidak terjerat hukum.

Trisha bercerita bahwa di balik rak buku paling belakang, ada sebuah pintu tersembunyi. Di dalamnya terdapat ruang gelap, Trisha merasakan dinding-dindingnya dipasangi tirai  suara yang sangat tebal. Jadi, Trisha yakin kalau ruang gelap itu kedap suara. Dan di dalam ruang gelap itu, terdapat dua pintu lagi. Trisha dibawa ke pintu sebelah kanan.

Trisha bersumpah akan meringkus seluruh jaringan ayam kampus, setelah satu kali kejadian itu dan melihat bahwa melapor ke dosen tidak mempan. Dia akhirnya mengambil cuti, karena takut dijebak Kumbang dan sudah hilang kepercayaan dengan pihak fakultas. Sialnya di ruang baca itu tidak dipasangi CCTV, sehingga Trisha tidak memiliki bukti langsung untuk melaporkan kelakuan Kumbang. Namun, dia memiliki bukti video Kumbang masuk ke ruang gelap dan rekaman suara saat Kumbang dan pembeli melakukan transaksi. Trisha mengaku bahwa dia diteror oleh Kumbang dan beberapa nomor tidak dikenal. Selama dia menghilang tanpa kabar, Trisha mencari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) untuk meringkus jaringan itu.

Sangat sulit menemukan LBH yang mau mendampingi Trisha. Namun, Trisha menemukan LBH Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (APIK) dan melapor ke Komnas Perempuan terkait kasus pelecehan ini. Setelah itu aparat penegak hukum berbondong-bondong menuju fakultasku. Akhirnya Trisha bisa menyelamatkan korban selanjutnya yaitu aku. Dia kaget saat aku hampir terkapar bersimbah darah.

Setelah diusut lebih dalam, tak kusangka pembeli ayam kampus dari Kumbang adalah kebanyakan dosen di fakultasku. Bahkan dosen luar fakultas juga banyak yang terjaring. Dosen pembimbing, tempat aku melapor juga salah satu pembeli ayam kampus. Aparat penegak hukum berhasil meringkus seluruh orang yang terlibat jaringan ayam kampus di Universitas Melati. Tentu saja Kumbang pun ikut dimejahijaukan. Ruang baca akhirnya ditutup, diberi garis kuning.

Aku merasa kesal tidak mengetahui apa yang dilalui sahabatku itu. Karena saat itu liburan kuliah, aku pulang ke Surabaya dan menghubungi Trisha melalui WhatsApp saja. Trisha tidak bisa pulang, karena dia sudah berjanji ke orang tuanya. Kalau tidak akan pulang ke Kalimantan sebelum membawa gelar. Bahkan aku tidak menyangka kalau sahabat dekatku, Kumbang berkelakuan bejat. Aku menyesal telah menitipkan Trisha saat liburan semester empat kepada Kumbang.

Bulan November menjadi bulan yang kelam dan cerah bagiku. Kelam sebab aku mengalami hal buruk beberapa kali. Menjadi cerah karena bisa bertemu dengan Trisha kembali. Hari-hariku di kampus tak lagi sama. Aku dipandang berbeda oleh teman-temanku, bahkan perempuan di kelasku berperilaku sama. Beberapa dari mereka menjauh. Kecuali Trisha, sahabatku. Namun, Trisha juga diperlakukan sama seperti aku. Mereka yang menjauh adalah mahasiswa yang berpikiran kolot, pikirku. (Az)