“Permisi! Apa ada orang? Aku dari kantor pos. Ada surat untuk anda.” Pintu dengan nomor kamar 208 terbuka. Seorang pemuda muka bantal membuka pintu sembari menguap. Petugas berbaju orange itu menyerahkan sebuah amplop coklat dan menyodorkan nota penerimaan barang. Pemuda itu menandatanganinya, tanpa permisi dia menutup pintu dan membiarkan petugas itu pergi tanpa pamit.

“Surat Peringatan ke-4 dari London” ucapnya lirih “Aish! Mereka benar benar mengusikku sekarang! Apa mereka tidak punya kerjaan lain? Dasar cunguk!” kemudian dilemparnya surat itu ke meja belajarnya.

“Hey! Apa kau sudah bangun?” seorang gadis membuka pintu dan masuk tanpa permisi “Hey! Kenapa mukamu jelek begitu?” sambungnya. Tanpa sengaja dia melihat amplop coklat di meja. “Surat peringatan ke-4 dari London” lirihnya. “Mereka mengirimnya lagi?” kali ini dia memasang wajah terheran-heran.

Pemuda itu berdiri dan mengambil segelas air lalu meneguknya.

“Tinggal satu surat lagi. Apa kau masih melanjutkan investigasimu?” seruak gadis itu.

“Iya. Tinggal satu surat lagi dan Neni bisa tenang,” jawabnya “Investigasiku sudah 85%, tinggal sedikit lagi.”

Memori pemuda itu terpaksa diingatkan lagi oleh kematian Neni, adik yang paling dia sayangi. Pada saat itu usianya baru 17 tahun, yang ditemukan tewas di kamar kosnya. Neni mendapat beasiswa pertukaran pelajar SMA ke London. Baru 3 bulan dia menempati kamar itu.

Pemuda itu membuka amplop coklat itu. Berisi sebuah foto mercusuar dan sebuah kapal nelayan yang bersandar.

“Kurasa itu ada di sekitar kampus Neni, bukankah kampusnya dekat dengan laut,” gadis itu melihat sekilas. “Mungkinkah itu tempat terakhir yang di kunjungi Neni sebelum dia meninggal? Jika iya, apa yang dilakukannya disana?” gadis itu mengerutkan kening.

Pemuda itu membuka laci dan mengambil 3 amplop berwarna sama, amplop pertama berisi foto sebuah pohon, amplop kedua berisi foto tepi pantai, sedangkan amplop ketiga berisi foto seorang pria yang berdiri memandangi ombak yang saling bersautan.

Pemuda itu menata foto tersebut secara berurutan, foto tersebut memang saling berkaitan.

“Siapa orang itu?” tanya gadis itu.

“Entahlah! Apa mungkin dia yang membunuh Neni? Atau dia kunci dari investigasi ini,” jawab pemuda itu, “Apa kamu ikut aku ke London?” sambungnya

“Aku?”

Pemuda itu mengangguk, gadis itu menggelengkan kepala, “Aku banyak urusan, skipsiku tinggal bab terakhir. Aku harus menyelesaikannya,” tolaknya

“Baiklah! Akan ku kabari setealah aku sampai disana,”

“Eumm.. Aku pergi dulu. Ada kelas 2 jam lagi.” Pamitnya

“Ratna!” panggil pemuda itu saat gadis itu akan menutup pintu

“Iya?”

“Hati-hati ya! Jaga dirimu.” Gadis itu mengangguk.

Pemuda itu membuka lagi amplop yang ke-4, dia menemukan sebuah tiket pesawat dan kertas bertuliskan alamat sebuah losmen. Sesegera mungkin dia mengemasi barang-barangnya dan pergi ke bandara soekarno-hatta.

●●

Sudah 2 hari pemuda itu di London, namun surat terakhir belum dikirim. Pagi tadi seorang pria menemuinya dan meminta pemuda itu menemuinya di taman dekat losmen tersebut.

“Marco!”

“Ardy! Sudah datang rupanya kamu. Aku dengar adikmu dimakamkan di Indonesia,”

“Iya! Apa kamu sudah lama menungguku?”

“Sedikit, tapi bukan masalah,”

“Apa kamu yang selama ini mengirim surat perintah itu?” ucap Ardy dengan mengerutkan kening. Pria itu mengangguk.

“Aku bertemu Neni saat kelas Biologi, kami satu kelas saat itu, kami juga sering pergi bersama. Namun saat hari kematiannya, aku tidak bertemu Neni seharian bahkan di kelaspun dia tidak kelihatan. Saat aku mendengar berita kematiaannya, tubuhku serasa gemetar.”

“Lalu siapa pemuda yang ada di foto tersebut?”

“Sebenarnya aku juga tidak terlalu mengenal pemuda itu, setiap foto itu aku ambil dari buku rahasia milik Neni, seorang polisi memberikannya padaku. Eumm.. kurasa aku membawanya,” Pemuda ini menyodorkan buku rahasia itu, “Petunjuk terakhir disana,” dia melihat jam tangannya, “Sepertinya aku harus pergi, kelas akan dimulai 1 jam lagi, Thanks untuk hari ini, aku akan menghubungimu jika aku temukan petunjuk yang lain.” Pemuda itu memakai tasnya kemudian meninggalkan Ardy.

“Baiklah, Take care!”

Pemuda ini memutuskan untuk kembali ke losmen sembari melanjutkan investigasinya. Sesampainya di losmen, dibacanya setiap lembar yang dituliskan Neni. Yang membuat Ardy tertarik adalah lembar terakhir, dimana Neni hari itu memang diikuti oleh seseorang. Disitu Neni tidak menjelaskan siapa yang mengikutinya tapi beberapa hari terakhir sebelum kematiannya, dia sering diikuti oleh seorang gadis. Pada hari yang sama dia juga menerima bunga mawar putih dengan inisial nama “R”

Pemuda itu mengambil ponselnya,

“Marco, apa di sekolah Neni sering mendapat bully?”

“Tidak, Neni orang yang sangat humble dan ceria. Tak satupun orang membencinya, Neni juga gadis yang pintar.”

“Lalu inisial “R”?”

“Tentang itu, polisi sudah menginvestigasi setiap anak di sekolah yang memiliki nama “R” tetapi hasilnya nothing,”

“Thanks marco, lanjutkan aktivitasmu.”

“Baiklah Ardy!”

Pemuda ini menutup ponselnya, dia melempar tubuhnya ke kasur sembari mengingat dengan siapa saja Neni pernah bertengkar.

“Ratna!”

Ratna memang sempat bertengkar hebat dengan Neni, entah apa perkaranya Neni tidak bercerita banyak pada Ardy. Jika bukan teman-teman Neni yang di London ada kemungkinan teman-teman Neni yang di Indonesia yang mempunyai dendam tersembunyi.

Ardy mengambil ponselnya,

“Ratna! Bisakah kamu kirimkan sidik jarimu?”

“Bukankah aku sudah memberikannya sebelum kamu berangkat ke London”

Ardy kemudian menutup ponselnya dan segera mengobrak-abrik map yang berisi hasil investigasi. Selain buku rahasia Neni, Marco juga memberikan sebuah map hasil investigasi. Dicocokannya sidik jari pelaku dengan sidik jari Ratna.

“Beda?” ucap Ardy.

Sebelum pergi ke London, Ardy sudah menginvestigasi setiap sidik jari orang-orang terdekat Neni. Ardy mencocokan setiap sidik jari, namun hasilnya nothing.

Drrttt…

“Halo Ardy! Apa kita bisa bertemu sekarang? Polisi sudah menemukan siapa pelakunya. Datanglah ke kantor polisi!”

“Baiklah, Marco”

Ardy segera memakai jaket dan syalnya, cuaca hari ini sangat dingin. Tak sampai 30 menit Ardy sudah sampai di Kantor Polisi, sepertinya dia melaju cukup kencang. Marco sudah menunggu di depan ruang investigasi.

“Apa kamu sudah lama menungguku?” ucap Ardy

“Cukup lama tapi tidak masalah. Ayo! Polisi sudah menunggu,”

Mereka masuk di ruangan yang cukup gelap, hanya jendela diatas pintu sumber cahayanya.

“Tuan Ardy, dimana anda saat itu?” Polisi itu menatapnya tajam

“Apa ini? Bukanlah kalian sudah menemukan pelakunya. Dimana dia sekarang? Aku akan menghajarnya” bantah Ardy

“Pelakunya ada di depanku. Bukankah anda sendiri yang membunuh adik anda? Bukankah sebelum hari kematian adik anda, anda ada di London?”

“Anda jangan asal bicara. Apa anda tidak punya etika? Aku kakaknya, mana mungkin aku membunuh adikku sendiri,”

“Kamera cctv di jalan yang dilewati adik ada, menunjukkan anda mengikuti adik anda,”

“Kenapa polisi di London sangat gila?”

“Komandan, tangkap pemuda ini. Dia telah membunuh adiknya.”

“Apa maksud anda? Aku tidak membunuh adikku.” Polisi memborgol paksa Ardy dan membawanya ke sel tahanan.

Keesokan harinya, Ratna tiba di London dan langsung datang ke kantor polisi. Marco-lah yang menghubungi Ratna.

“Marco dimana dia sekarang?” Wajah Ratna sangat panik, Marco mengantarkan Ratna ke sel Ardy. Ardy terlihat memprihatinkan. Dia duduk ketakutan di pojok sel. Wajahnya sangat kusut.

“Dia mengalami syndrom yang cukup tinggi, rasa memilikinya sangat besar. Menurut tes kesehatan yang dilakukan dia memiliki beberapa gejala psycopath. Syndromnya mengarah ke adiknya. Dia mencintai adiknya. Alasan kenapa dia membunuh adiknya karena dia mengajak Neni untuk menikah, Neni menolak. Amarahnya memuncak dan tidak terkontrol,” Ujar Marco

Ratna yang tidak tega melihat hal ini memutuskan untuk keluar dari kantor polisi. Marco mengikutinya, dia takut terjadi apa apa pada Ratna.

“Bisakah kita minum kopi sebentar? Ada kedai yang menjual kopi di daerah sini.” Ajak Marco

“Baiklah!”

Mereka berjalan beriringan menuju sebuah kedai di seberang jalan kantor polisi.

●T A M A T●