Rintik gerimis menjadi hal yang manis ketika sudut hati menangis. Menyesap aroma kehidupan yang mungkin nampak miris. Merasakan setiap bagian luka yang teriris. Menyisakan senandung rhapsody yang terdengar ironis. Ketika suara mengalun, air mata mengalir, dan segenggam rasa yang terkikis. Gerimis, adalah rangkaian ketenangan yang bisa membuat hatinya begitu nyaman. Di tengah ketidakpastian, apakah rintik akan berhenti dan menjadi pelangi ataukah semakin menderas menjadi hujan. Dengan rengkuhan angin yang berlabu sementara. Terlalu lama terdiam, yang terasa hanyalah dingin menusuk persendian.

“Hei Saci, kenapa terdiam di situ?”

Kepalanya tertoleh perlahan, ketika suara membuyarkan lamunan. Ketenangan gerimis memudar seiring dengan tatapan lembut seseorang. Dia berdiri tak jauh dari pintu kamarku, dan mulai beringsut mendekat.

“Kak Rasy, tidak ada, hanya sedang menikmati hujan,” ucap Saci.

“Kenapa belum tidur, ini udah malam Dek, nanti kamu sakit,”

“Hanya memikirkan sesuatu yang mengusik pikiran, Kak,”

“Tau nggak Dek… Hujan itu sebuah euphoria yang terkadang membingungkan, disaat kamu memikirkannya dalam dua sisi yang berbeda, maka akan menempatkanmu dalam dua situasi. Entah senang atau sedih yang kamu rasakan. Jangan pernah ragu untuk melangka, karna Kakak akan selalu ada di sampingmu,”

“Aku takut melangkah Kak, aku tidak bisa.”

Kak Rasy tersenyum menatapku, mengelus kepalaku dengan sirat kasih sayang. Kupejamkan mataku menikmati euphoria yang diberikannya. Merengkuh tubuhku dalam dekapan hangat seorang kakak, seolah tak membiarkan siapapun mengusikku. Buliran air mata mulai mengalir di pipiku, mengeratkan pelukanku ke tubuh tegap kakakku. Dalam keheningan malam yang menyapa, aku sudah berada di dunia mimpi dalam dekapannya. Kemudian dia mengangkat tubuh ringkih ini, dan menidurkanku di atas ranjang. Mengecup pelan dahiku penuh sarat akan cinta.

“Selamat tidur dek, mimpi indah.”

Pagi sudah menjelang, sesekali hujan akan datang memberi basah di tengah gersangnya padang ilalang. Sesekali angin akan berhembus memberi sejuk saat panas menerjang. Sesekali bunga akan berkembang dan mekar mengharumkan udara yang bergelung di sekitar. Tapi itu hanya sesekali, tak akan berlaku untuk selamanya.

Aku terbangun di pagi yang masih sangat berembun. Ku buka jendela kaca yang menampilkan keindahan kota. Terasa sangat dingin saat udara menembus permukaan kulit yang hanya terbalut pakaian rumah sakit.

Tuhan, aku takut…

Aku tidak ingin sakit. Ada banyak harapan tertumpu di pundakku. Aku tidak ingin meninggalkan kesedihan terhadap orang-orang yang menyayangiku. Aku ingin sehat.

Tapi sakit kepala ini mengapa datang tiba-tiba. Membuatku semakin kalut tak karuan.

“Astaga, Saci!!”

Tubuh ini mendadak lemas tak ada tenaga. Padahal aku baru saja bangun tidur. Ku lihat Kak Rasy masuk ke dalam kamar dan menghampiriku secepat dia bisa. Dengan selembar tisu yang baru saja ia cabut dari wadahnya di atas meja, dia menyeka darah yang meleleh di wajahku. Aku tau aku mimisan, tapi tangan terasa lemah hanya sekedar untuk menyeka saja. Maafkan aku Kak Rasy jika aku merepotkanmu.

Dia rebahkan tubuhku perlahan di atas ranjang pesakitan. Lalu menekan tombol yang ada di atas ranjangku untuk memanggil dokter. Multiple myeloma, penyakit yang bersarang di tubuhku semenjak satu tahun lalu. Multiple myeloma adalah jenis kanker darah yang terbentuk dari sel plasma ganas. Sel plasma menghasilkan antibodi yang membantu tubuh menyerang dan membunuh kuman.

Dokter telah pergi meninggalkan ruang inapku setelah melakukan pemeriksaan dan memberikan injeksi obat kepadaku.

“Apa kamu kelelahan? Jangan terlalu banyak pikiran Dek.”

Suara samar itu masih bisa kutangkap telinga. Walau mata sudah terpejam dan tak kuat lagi untuk terbuka. Telingaku masih bisa mendengar ucapan Kak Rasy. Kata-katanya sangat lembut, dan membuat hatiku merasa nyaman. Ahh, mengapa aku harus sakit.

Sudah dua minggu aku dirawat. Dan kakakku yang selalu menemaniku. Jangan tanyakan di mana orangtuaku, mereka sibuk bekerja untuk mengumpulkan kekayaan sebanyak yang mereka inginkan.

“Kak, aku ingin ke Pasar malam,”

“Adek kan belum sembuh, nanti kalau sudah sembuh Kakak bakal ajak Adek ke sana,”

“Nggak mau Kak, aku maunya sekarang,”

“Adek, inget tadi pagi kan habis drop. Baru juga baikan.”

Setelah melakukan perdebatan panjang, akhirnya Kak Rasy membawaku ke Pasar malam. Dengan persetujuan Dokter tentu saja.

Berjalan menyusuri keramaian di bawah bintang-bintang. Entah apa yang terjadi, tapi rasanya hati ini menyejuk. Tautan tangan tak pernah terlepas, seakan takut kehilangan. Hanya rasa yang saling berbicara. Menumpahkan segala huru-hara dalam hati.

“Kak, aku ingin naik bianglala,” tunjukku ke arah bianglala.

“Oke, siap.”

Entah apa yang membuatku tersadar. Ketakutan akan suatu hal memenuhi relung hatiku. Sorot mata yang mengungkapkan akan sebuah perpisahan.

Bianglala mulai berputar pelan menapaki roda kehidupan. Melihat keindahan kota malam tanpa kaca penghalang. Ku sandarkan kepalaku di bahu Kakakku, menggenggam tangannya erat seakan tak kan ada kali kedua. Rengkuhannya membuatku candu. Aku telah sampai di atas, takkan ada yang sanggup menggapai. Rasanya kepalaku mulai berat, rasanya tak sanggup menopang tubuhku sendiri.

“Kakak, aku menyayangimu. Jangan beranjak dari sisiku sampai kapanpun, karna hanya Kakak yang aku miliki,” senyum terukir di bibir pucatku, sarat akan kesakitan.

“Kakak nggak akan pernah ninggalin Adek, Adek harus bertahan ya…”

Habis di dalam kehangatan setelah hujan yang telah mengundang bianglala malam. Hanyut di dalam keindahan dan kepasrahan. Entahlah, tapi aku merasa mataku mulai memberat. Pelukan hangatnya akan selalu aku rindukan, kasih sayang yang selalu aku rasakan takkan pernah ku lupakan.

Lagu rindu senandung pilu terlantun dalam relung hati yang membeku. Ribuan anak panah sarat akan cinta, mengharu-biru meletakkan ujung runcingnya di ujung rasa rindu. Tatkala gerimis di penghujung senja merintik syahdu. Pelangi tak muncul dan kolong langit pun masih kelabu.

Terhitung tiga bulan kepergian sang Adik tercinta.  Menyisakan luka-lara yang membekas. Di sebuah tempat peristirahatan abadi, yang terukir jelas nama yang dirindukan.

“Dek, tunggu Kakak ya… Semoga kamu bahagia di sana. See you my beloved sister.”

Ending

 

Tulisan dan Ilustrator : Dini Wulan

Editor : Yhepi & Zi’