Mengenang kembali bulan Ramadan adalah waktu yang sangat penting bagi umat Muslim di seluruh dunia, di mana mereka berpuasa dari fajar hingga senja sebagai bagian dari ibadah mereka. Menjaga toleransi selama bulan Ramadan adalah langkah penting untuk memperkuat persatuan antar agama yang berbeda. Sangat penting bagi semua individu terlepas dari agamanya untuk bisa menumbuhkan rasa toleransi dengan menghormati dan mendukung mereka yang menjalani puasa.

Salah satu kegiatan yang dilakukan oleh umat Muslim di bulan Ramadan adalah tarawih. Tarawih adalah salat sunnah yang dilakukan oleh umat Islam selama bulan Ramadan. Salat ini dilakukan setelah salat Isya’ dan dapat dilakukan secara berjamaah di masjid atau secara individual di rumah. Tradisi tarawih telah menjadi bagian penting dari ibadah selama bulan Ramadan dan memiliki signifikansi yang mendalam bagi umat Muslim.

Dilansir dari kompas.com, tarawih berasal dari kata Arab “Taraweeh”, yang berarti “Istirahat” atau “Istirahat di antara dua periode”. Ini merujuk pada praktik Rasulullah SAW untuk beristirahat sejenak setelah melakukan beberapa rakaat salat malam. Ketika Rasulullah SAW memperkenalkan tarawih kepada umat Islam, beliau mengajarkan agar dilakukan dalam bentuk rakaat-rakaat yang terdiri dari jumlah yang genap, biasanya dua rakaat per sesi.

Beberapa orang mengganggap tarawih menjadi hal yang biasa dilihat atau dilakukan, namun beda halnya dengan daerah yang mayoritas penduduknya menganut agama non-muslim, tentu tidak terbiasa dengan kegiatan tarawih. Dalam kegiatan tarawih pula pastinya ada jamaah yang sangat banyak berkumpul dalam satu tempat tertentu sehingga pengunaan backsound yang sangat keras atau nyaring diperlukan.

Dilansir dari CNN Indonesia, perayaan hari raya Nyepi pernah terjadi secara bersamaan dengan hari puasa Ramadan, hal tersebut mengakibatkan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Bali mengeluarkan seruan bersama dengan menghimbau umat Muslim di Bali untuk melaksanakan salat Tarawih di rumah masing-masing selama hari raya Nyepi berlangsung. Karna hari raya Nyepi merupakan salah satu ibadah umat Hindu di Bali yang menghabiskan harinya dalam kesunyian, bermeditasi, berdoa, dan merenung. Sehingga seluruh aktivitas diberhentikan, tidak ada lampu yang dinyalakan, tidak ada suara yang terdengar, bahkan bandara pun ditutup.

Sayangnya, dilansir dari kilat.com, seruan tersebut menimbulkan beberapa perdebatan yang terjadi di laman medsos x/twitter. Salah satu cuitan tersebut mempermasalahkan himbauan terkait pelaksanaan Nyepi di Bali untuk salat tarawih di rumah, dengan alasan tidak sepantasnya umat Muslim ikut dalam merayakan hari raya Nyepi. Tentu cuitan tersebut dibalas oleh umat Muslim Bali setempat yang menegaskan bahwa keberagaman umat di Bali sudah terjaga dengan baik dan justru cuitan tersebut akan menjadi provokasi antar umat beragama.

Penulis memahami bahwasanya himbauan oleh FKUB tersebut diturunkan guna menghormati agama Hindu di mana pada hari raya Nyepi umat Hindu melakukan ibadah dengan tenang tanpa adanya suara maupun keramaian. Semua perbedaan agama haruslah diselesaikan dengan mengingat dasar-dasar atau norma-norma pancasila yang ada di masyarakat guna menciptakan persatuan di tengah perbedaan dengan berlandaskan semboyan Bhineka Tunggal Ika “Walaupun berbeda-beda tetap satu”. Dari pandangan tersebut penulis setuju dengan himbauan FKUB yang juga telah disetujui oleh masyarakat asli daerah setempat dan tidak ada pengaruhnya terhadap masyarakat luar oleh peraturan daerah bali yang tetap dilakukan.

Dalam landasan yang dicantumkan pada Pancasila, tidak ada kepentingan agama yang diutamakan di atas kepentingan agama lainya, dimana pada kasus di atas mengambil studi kasus antar agama Islam dan Hindu. Meskipun mayoritas agama penduduk Indonesia beragama Muslim dengan tetap menjujung Pancasila dalam hati, penulis meyakini bahwa hal tersebut dapat membawa persatuan, keadilan, dan kesejahteraan bagi masyarakat beragama Indonesia.

Dengan demikian, kita dapat melihat bahwa bangsa Indonesia hidup berdampingan dengan berbagai perbedaan yang sangat banyak terlebih khususnya dalam kegiatan keagaamaan. Sebagai bangsa yang menjunjung tunggi kesejahteraan dan damai dalam persatuan perlu untuk kita menghargai satu sama lain bukan saling menjatuhkan. Disisi lain, studi kasus yang kita amati dapat pula memberikan dampak yang baik bagi Bali khususnya umat Muslim, dimana mereka dapat menjadikan kejadian tersebut sebagai kesempatan untuk memperkuat ikatan masyrakat dan meningkatkan hubungan antar agama, serta menciptakan suasana yang lebih intim dalam ibadah. (Hura)