Pada terik matahari yang panas, di tengah-tengah padang rumput yang hijau. Duduklah seorang gadis kecil pemegang tongkat. Ia mengenakan kaos polos berwarna hijau yang longgar dan sedikit lusuh. Bongkahan batu pun menjadi tempatnya bersinggah. Tak jauh dari anak itu berada, ada segerombolan domba yang tengah menikmati rumput hijau yang segar. Hanya dengan angin semilir yang menemani si gadis berjaga.

Dengan kamera bututku yang tergantung di leher, aku berjalan menghampirinya. Sesekali ku ambil gambarnya. Wajah yang sangat Indonesia sekali. Raut wajah mungilnya terkadang menampakkan ekspresi berubah-ubah. Wajah yang letih, kesal, cemberut, tertawa lepas, dan masih banyak ekspresi yang di ulaskannya.

Matanya terfokus dengan alis yang saling bertaut miliknya, menyambutku dengan heran. Aku berjongkok di hadapannya. Dan hal itu membuatnya bertambah bingung.

“Ingin es krim?” tanyaku

Gadis kecil itu, tampak ingin mengambil apa yang ku tawarkan. Tapi ia masih saja bungkam. “Kamu akan mendapatkannya secara percuma jika kamu tidak keberatan memberitahuku siapa namamu, boleh ?”

Matanya bergantian menatapku dengan es krim di tanganku. Wajahku menampakkan seulas senyum tipis. “Namaku Rinjani.” Gumamnya pelan. Senyum di wajahku merekah sedikit lebar.

Aku memenuhi ucapanku, yang akan memberikan es krim padanya setelah ia memberitahuku siapa namanya. Nama yang cantik yang sangat cocok dengan wajah Indonesianya. Tapi sayang, gadis kecil sepertinya sedang menjaga domba di sini. Sendirian. Di tengah teriknya panas matahari. Bukankah anak seusianya kini harus sekolah.

Milikmu rinjani ?” tanyaku dengan menatapnya yang antusias dengan es krimnya. Ia menoleh menatapku. “Bukan, kak. Mereka milik juragan kaya di desa ini.” Jelasnya.

“Oh ya ?” memancingnya bercerita tidak apa-apa, bukan ?

“Ya” singkatnya.

“Kenapa kamu yang menjaganya ? tidak adakah anak lelaki yang dapat melakukan ini ? kamu kan anak gadis, masih kecil lagi.” Mendengar hal itu Rinjani tersenyum menatapku.

“Nanti akan ku ceritakan. Tunggu sampai aku selesai menjaga domba-domba ini selesai makan. Bagaimana ?” tawarnya. “Baiklah. Aku juga akan menemanimu di sini Rin.” Gadis kecil itu tertawa.

Siang itu kami saling bersenda gurau. Tertawa mengenai leluconku dan juga tertawa mengenai leluconnya. Dia gadis cilik yang memiliki rasa humor yang tinggi. Tak banyak ku temukan anak kecil seperti Rinjani. Kami menghabiskan waktu dengan menjaga domba, berbaring bersama, bermain tebak lagu, menyanyi bersama, bermain teka-teki, mengepang rambut, dan masih banyak lagi. Hingga waktu telah berlalu dengan cepat.

“Bukankah sekarang waktunya kamu pulang Rinjani ?” aku duduk di sebelahnya. Ia tertunduk kemudian matanya menatapku. “Ya, kau benar, kak. Pukul 3 adalah watunya aku pulang dan mengantar domba-domba ini kembali ke kandang mereka.” Tuturnya.

“Kamu mengantarnya juga ke kandang ? tidak ada orang lain kah yang mampu menggiring mereka Rinjani ?” lagi-lagi gadis kecil itu tersenyum.

“Hal ini sudah menjadi rutinitasku kak. Aku yang akan mengerjakan ini. Ya sudah, jangan tanya lagi. Aku sudah bilang pada kakak, aku akan menceritakannya setelah aku sampai rumah. Jadi, mari kita membawa mereka kembali” Rinjani adalah gadis yang tenang.

“Baiklah, sepertinya aku menjadi orang yang tidak sabaran jika berada di sampingmu”

Sore itu, Aku dan Rinjani berjalan ke rumahnya sambil menggiring domba-domba milik juragan kaya di desanya. Menuju kandang terlebih dahulu lalu pulang ke rumah Rinjani.

Setelah sampai di sebuah kandang domba yang katanya milik Juragan Kaya itu. Rinjani menyerahkan semua domba kepada seorang pemuda tinggi kurus berkulit sawo matang. Domba-domba itu beralih di tangan si pemuda. Dan Rinjani menerima imbalan dari seorang bapak yang sedikit berumur. Setelah itu, Rinjani menoleh ke arahku dengan tersenyum. Menunjukkan sederet gigi putihnya. Ia berlari kecil menujuku.

“Sudah selesai hmm ?” tanyaku. Ia mengangguk. “Ayo ke rumahku. Nanti aku kenalkan dengan abangku.”

“Kamu punya abang Rin ?” kami mengobrol sambil berjalan pulang ke rumah Rinjani.

“Ya, namanya bang Septa.”

Tak lama Aku dan Rinjani sampai di sebuah rumah yang lumayan layak huni. Gadis itu menggenggam tanganku, mengajakku masuk ke dalamnya. “Bang Septa, Jani pulang. Hari ini ada tamu, bang” panggilnya pada abangnya. “Masuk aja ni, abang di belakang.” Sahutnya.

“Ayo kak, masuk.” Aku tersenyum dan mengangguk pada ucapannya.

Tak lama seorang pemuda keluar dan membawa secangkir air putih dari dalam. “Silahkan di minum, kak. Maaf hanya punya ini” aku tersenyum menanggapinya. “Tenang, ini sudah lebih dari cukup. Terima kasih. Oh ya, mana Rinjani”

“Sebentar, akan ku panggilkan.” Septa melenggang masuk ke dalam. Tak lama Rinjani keluar.

“Kamu berhutang penjelasan denganku bukan ? jadi, kenapa menjaga domba menjadi sebuah rutinitas untukmu Rin ?” Rinjani tersenyum.

“Aku bekerja, apapun. Selama hal itu masih bisa menghasilkan uang, aku akan melakukannya. Dan yang terpenting adalah halal. Aku dan bang Septa hanya tinggal berdua saja. Orang tua ku sudah meninggal. Karena kapal yang mereka tumpangi tenggelam entah kenapa. Aku dan bang Septa tidak tahu apapun. Yang kami tahu, mereka datang dengan tidak bernyawa. Walaupun kami tidak terima dengan apa yang telah terjadi pada mereka, kami tidak bisa melakukan apapun. Yang bisa kami lakukan hanya menerimannya dengan lapang dada. Walau kami tahu, itu adalah hal yang sangat menyakitkan untuk di rasakan. Sudah beberapa bulan berjalan. Masa kami harus terus menerus bersedih. Lalu kami ingat. Jika kami harus membanting tulang untuk saling memenuhi kebutuhan. Terutama kebutuhan pokok. Seperti makan. Kami bisa makan secara rutin pun sudah sangat bersyukur, tidak sekolahpun tidak apa. Semua orang juga tahu, kak. Biaya sekolah akan menjadi beban bagi kami, terutama bagi bang Septa. Sudah cukup untukku makan 3 kali sehari bersama bang Septa, aku tidak ingin melihat abangku susah pontang-panting mencari biaya untukku sekolah. Bukan aku tidak ingin bersekolah seperti anak yang lain, hanya saja aku melihat situasiku yang sekarang. Begitulah, jadi apalagi yang harus ku ceritakan pada kakak hmm ?” bibir mungil milik Rinjani menjelaskan semuanya. Semuanya yang memang ku maksud.

Kini gadis kecil itu memandangku dengan lekat. Berulang kali ia melambaikan tanggannya di depan wajahku. “Kakak, kau baik-baik saja, kan ?” celetuknya. Lalu, aku tersadar dari lamunanku. Dan tersenyum kearahnya.

“Tentu saja, aku baik-baik saja. Kenapa hmm ?”

“Tidak, hanya saja kakak melamun tadi. kakak mendengarkan aku kan ?”

“Tenang saja, aku mendengarkannya dengan teliti kok.”

“Baguslah.”

“Jadi, apa yang akan kamu lakukan selanjutnya Rin ?”

“Melakukan rutinitasku seperti biasanya. Lagipula, kakak tidak usah khawatir. Aku sama bang Septa udah biasa kok kayak gini. Kami juga udah menerima dengan lapang dada kepergian ibu sama ayah.”

“Kamu kuat yah, Rin. . .” ucapku lirih.

“Tidak sekuat apa yang kakak pikir kok. Terkadang kehilangan seseorang akan membuat kita menyadari bahwa hidup, tidak selalu bergantung pada orang lain. Dan hanya bergantung pada Tuhan.”

Tutur Rinjani sambil memelukku yang sedikit meneteskan air mata, setelah mendengar semua yang di ucapkan oleh gadis yang berusia jauh lebih muda dariku. Mendengar semua ucapannya, membuatku merasa kecil dan ciut saat berada di sampingnya. Dan pada intinya, aku telah belajar banyak dari seorang gadis kecil bernama Rinjani. (Fi)