Cerita ini berawal saat aku masih duduk di bangku sekolah SMA kelas sebelas. Saat aku bertemu dengan seseorang teman baru dari kota. Dia murid yang baru pindah sekolah sekaligus juga rumahnya, sebab ayahnya bekerja di kantor dinas dekat sekolahku. Hari itu, aku sudah berjumpa dengannya saat aku bekunjung ke rumahnya. Hari ini, aku bertemu dengannya lagi. Tatkala dia tengah mengayuh sepeda ke sekolah. Aku mengejarnya dengan kencang agar bisa mengobrol dengannya. Kebetulan kita adalah tetangga. Rumahnya hanya berjarak dua rumah dari rumahku. Setelah aku berhasil menyusulnya, aku mulai menyapa dirinya dengan ramah “Hai, selamat pagi,” kataku sambil melambaikan tangan. Dia pun menjawab sapaan itu “Selamat pagi juga, loh kamu?” tanyanya dengan mengerutkan dahi. Seolah dia tengah berusaha mengingat siapakah diriku. Sebelum dia menjawab dan mempertanyakan nama serta semua tentangku, aku segera menjawab semua teka-teki dalam dirinya, “Namaku Fifi, tetanggamu yang kemarin berkunjung,” jawabku sambil tersenyum. “Oh, iya. Sekarang aku ingat! Kamu yang kemarin datang ke rumah dengan Adikmu yang gendut itu kan?” sahutnya sambil tertawa kecil. Aku hanya mengangguk. Malam itu aku dan adikku telah melakukan tindakan konyol yang sangat memalukan. Kami meminum sebotol minuman yang berharga mahal. Minuman yang kukira disajikan untuk para tamu yang datang, akan tetapi tidak. Aku jadi tersipu malu sejak kejadian malam itu. Menangkis kejadian malam itu, aku kembali mengajaknya berbicara, “Oh, ya, namamu siapa? Kemarin aku belum sempat bertanya itu?” kataku sambil tertawa kecil. “Nanti saja, saat perkenalan di kelas,” jawabnya dengan memberikan teka-teki yang membuatku semakin penasaran. Dia pun melaju mendahuluiku. Sambil mengayuh sepeda aku menerka-nerka siapakah namanya. Setibanya di sekolah, aku memarkir sepeda di tempat parkiran sepeda yang dekat dengan kelasku. Rupanya, anak baru itu sudah sampai di sekolah dan dia sudah ditunggu oleh keluarganya di depan gerbang. Orang tua anak baru itu mengendarai mobil mewah. Memang bukan menjadi hal yang biasa jika seorang pejabat naik sebuah mobil mewah. Tapi hal yang membuatku heran. Kenapa seorang anak pejabat yang kaya raya memilih untuk mengayuh sepeda daripada naik mobil mewah? Aku melihat mereka berjalan menuju ruangan kepala sekolah. “Mungkin ada surat-surat yang belum lengkap,” pikirku sambil menoleh ke arah mereka berjalan. Saat bel masuk berbunyi, seluruh siswa masuk ke dalam kelas masing-masing. Dilanjutkan dengan menyematkan do’a sebelum belajar dan menyanyikan lagu Indonesia Raya sebagai lagu kebangsaan. Seluruh siswa bernyanyi dengan penuh semangat. Kali ini aku lebih bersemangat, karena aku sudah tahu kalau akan ada anak baru yang sebentar lagi masuk ke kelas. Apalagi kita adalah tetangga, pasti akan lebih seru jika mengerjakan kerja kelompok bersama. Aku selalu melihat ke arah pintu untuk menunggu kedatangannya ke dalam kelas. “Di mana dia? Kenapa masih belum masuk?” ucapku dalam hati.

Tiba-tiba aku dikejutkan oleh suara kaleng bekas dari luar kelas. Kaleng itu rupanya berasal dari guru olahraga sekaligus yang menjadi wali kelasku. “Grobyaakk…Grobyakkk…” Suara kaleng yang dibunyikan oleh pak Sur, ”Selamat pagi putra-putri kebanggaan bangsa Indonesia. Tetaplah memiliki semangat juang 45. Jangan mudah menyerah untuk belajar sebab belajar punya manfaat yang besar. Betul?” tanyanya dengan penuh semangat perjuangan, serentak murid menjawab “Betul… betul… betul,” jawab semua murid yang ada di kelas, “Bagus, hari ini Bapak sebagai sang proklamator yang telah menjadi veteran tapi belum sempat jadi, akan memperkenalkan prajurit baru yang akan menuntut ilmu dan berjuang demi masa depan negara. Jadi tolong berkawanlah dengan baik, jangan ada yang bersikap jahat seperti penjajah, paham?” ujar Pak Sur. Semua murid bertanya-tanya siapakah anak baru itu dan berasal dari sekolah mana? Termasuk temanku sebangku ku, Tita. Dia bertanya kepadaku, “Kira-kira, anaknya baik gak ya?” tanya Tita padaku. Aku hanya membalasnya dengan senyuman. Pak Sur mempersilahkan masuk seorang gadis yang sudah menunggu di depan pintu kelas. Langkah kakinya perlahan mulai menginjak lantai ruangan kelas. Semua murid memandangnya, seolah langkah kakinya menjadi sebuah pusat perhatian. Bau dari parfumnya bak kembang sari, segera mengudara ke segala sudut ruangan kelas. Benar dugaanku saat itu, dia adalah tetangga baruku. Aku melambaikan tangan padanya dan dia membalasnya dengan lengkung bulan sabit di bibirnya. Pak Sur mulai mempersilahkan anak baru itu untuk memperkenalkan diri, “Hai semua, namaku Kiki. Aku baru pindah dari Bandung dan bertempat tinggal di perumahan Asri Blok R-12. Semoga kalian bisa menerimaku sebagai teman baru di kelas ini,” katanya dengan nada penuh kelembutan. Semua anak menjawab sapaan darinya. Setelah dirasa cukup, Pak Sur langsung menyahuti suasana kelas saat itu “Bapak rasa, perkenalanmu sudah cukup. Silahkan kamu memilih tempat duduk yang masih kosong!” kata Pak Sur. Kiki hanya membalasnya dengan anggukan, sembari berjalan mencari bangku yang kosong. Saat itu, sebenarnya aku ingin dia duduk denganku, namun tidaklah mungkin sebab aku sudah duduk dengan Tita. Tapi tak apa, dia duduk tepat di belakang bangku kami. Jadi, aku masih bisa mengajaknya berbicara. Saat aku menoleh ke belakang aku menyapanya dengan sedikit candaan “Hai, tadi mengapa kamu duluan?” tanyaku dengan nada sedikit sebal, dia menjawab “Aku buru-buru karena sudah ditunggu. Lagian kita juga akan bertemu di kelas,” jawabnya dengan santai. Aku pun hanya bisa mengangguk-angguk saja mendengar jawabannya. Saat jam istirahat, semua siswa mengeluarkan bekal makan dari rumah masing-masing.

Seperti biasa aku sering bertukar lauk pauk dengan teman sebangku ku Tita. Namun, sekarang tidak hanya Tita yang aku tawari lauk pauk, akan tetapi juga dengan Kiki. Setiap kali aku menawarkan bekal atau makanan apapun dia selalu saja menolak. Entah mengapa dia seolah tidak ingin berbagi makanan dengan semuanya. Tapi di sisi lain, dia malah lebih suka membagi makanan yang dibawanya dari rumah untuk diberikan kepada yang lain. Memang bukan hal biasa bagiku, sebab dia lebih mudah bergaul dengan orang baru. Selain ramah, dia juga dermawan dengan semua orang. Walaupun begitu dia tidak sombong sekali pun dia mempunyai harta yang melimpah ruah. Dia juga mudah bergaul dengan siapa saja tidak pernah membeda-bedakan pergaulan dengan status derajat keluarganya. Yang paling aku suka darinya, selain baik dia juga pintar apalagi bersyair. Syair-syair yang dia ciptakan sudah banyak. Namun, dia tidak menyombongkan kelebihan yang dia punya. Pernah waktu itu aku membaca karyanya yang bertema tentang kehidupan. Isinya sangat indah, syair itu berisi tentang perjuangan bangsa dan seorang gadis tak berdaya namun penuh dengan semangat.

Aku berucap padanya, “Eh Kiki, mengapa punya banyak karya kalau hanya kamu simpan? Coba saja kamu kirimkan pada penerbit, biar bisa dibaca orang lain. Nantinya kamu akan terkenal,” kataku. Tita juga mengatakan hal demikian, namun Kiki malah menolak tawaran itu. Dia berkata, “Kalau aku sudah terkenal aku mau ngapain?” tanyanya sambil meringis. “Kamu akan bisa apa saja nanti, kemana pun kamu pergi akan dikenal orang dan dihargai,” jawabku. “Selain itu, jika terkenal kamu tinggal tanda tangan dan mau diajak berfoto, begitu saja kan?” sambung Tita. “Percuma saja jadi terkenal lalu hanya bisa menjadi terkenang. Aku tidak mau hanya menjadi terkenang tanpa suatu jasa, itu akan menjadi sia-sia. Untuk jadi penulis bukan hanya sekedar menulis cerita bukan? Kita juga harus mengikuti alur cerita dalam kehidupan nyata.” Ujar Kiki. Kita hanya bisa mendengar jawaban bijak dari Kiki. “Jadi orang besar itu punya aturan dan selalu terikat oleh aturan. Sebuah aturan itu semakin meningkat bukan melemah. Negara ini sudah banyak orang berbakat tapi masih minim orang yang menjunjung harkat martabat bangsa. Aku punya cita-cita menjadi orang hebat, sama seperti seorang veteran.” Katanya sambil berseri-seri, seolah sedang berkhayal menjadi seorang pahlawan wanita sungguhan.

Sontak kami langsung bertepuk tangan “Wah, hebat ya? Punya cita-cita bukan sekedar menulis syair tapi juga ikut berperang. Semoga kamu bisa mencapainya,” kata Tita sambil menepuk bahunya. Seketika wajah Kiki berubah menjadi pesimis. Matanya yang penuh semangat berubah menjadi kesedihan. Aku dan Tita saling bertatap mata seolah sedang bertanya apa yang sudah terjadi. Tidak mau berlarut-larut dalam kebingungan, kita mulai mengganti topik pembicaraan. Sejak saat itu aku mulai mengenal karakter dari si Kiki. Dia memiliki jiwa nasionalisme yang tinggi. Tidak hanya itu, dia juga paham tentang hukum-hukum yang ada di Indonesia. Aku masih mengingat suatu kejadian lucu yang sekaligus membuatku terkagum-kagum atas keberaniannya. Bagaimana tidak, Kiki pernah bertengkar dengan seorang polisi yang sedang berjaga di Pos lalu lintas. Waktu itu adalah jam pulang sekolah, aku dan Kiki sedang bersepeda di jalan raya untuk membeli buku di toko seberang jalan raya. Tiba-tiba, kami diberhentikan oleh seorang polisi yang sedang berjaga. Kiki menanyakan alasannya mengapa kami diberhentikan? Saat mendengar alasan pak polisi tersebut sontak Kiki malah marah-marah dan berkata “Astaga Pak, dari milyaran alasan yang ada di dalam galaxy dan bumi ini, rupanya Bapak tidak sanggup mengambil alasan yang logis. Jika alasan Bapak itu a..u..i..e..o saja, seorang pengemis juga berhak memberhentikan orang yang sedang melaju di jalan!” kata Kiki dengan tegas “Seharusnya, Bapak malu dengan seragam yang Bapak kenakan. Akan tetapi Bapak hanya duduk diam di tempat teduh. Lalu, jika bosan tinggal memberhentikan orang yang lewat dengan alasan ini dan itu. Apa jadinya negeri jika semua aparat hukumnya seperti ini?” sambung Kiki. Seorang polisi itu membentak Kiki, “Hei! Jika kamu tidak bisa bicara sopan dengan polisi kamu akan di penjara,” kata pak polisi itu. Dengan segera Kiki langsung menangkis ucapan dari polisi itu “Hah? Apakah bapak bicara mengenai pencemaran nama baik? Apakah pantas jika seorang aparat yang keparat tidak cinta bangsanya sendiri itu salah, jika di ingatkan oleh rakyat jelata?” jawab Kiki dengan percaya diri. Aku yang saat itu berada di tempat kejadian hanya bisa terdiam. Melihat perdebatan antara seorang siswa dengan aparat hukum. Aku juga menjadi saksi kebisuan dari pak polisi yang mendengar jawaban Kiki. Seolah tidak mau bersikap kurang ajar, dia segera meminta maaf pada pak polisi “Maaf Pak, saya lancang dan berbicara kasar. Bukan maksud saya meragukan kinerja anda. Sesama warga negara Indonesia seharusnya kita saling menjaga, Bapak cinta Indonesia bukan?” tanya Kiki dengan penuh sopan, “Tentu saja saya bangga jadi Indonesia,” ujar pak polisi. Setelah perdebatan itu, kami pun berdamai dan meninggalkan tempat itu. Di sepanjang jalan aku bertanya pada Kiki bagaimana dia bisa berani seperti itu, “Kok kamu bisa berani banget gitu sih? Itu tadi kan seorang polisi, aparat hukum yang bisa membuatmu dipenjara?” tanyaku dengan heran, “Tenang aja, kalau aku kena hukuman penjara sebab mengkritik polisi mungkin saja di dalam iklan tidak akan ada lagi tulisan (berikan kritik dan saran)” jawab Kiki. Kami pun tertawa begitu kerasnya di jalan saat itu, “Lagipula, negeri ini di bangun bersama, akan tetapi hanya orang terpilih saja yang bisa mengatur jalannya sebuah aturan Negara. Tapi yang bertugas menjaga itu adalah kita semua bukan? Jadi, bukan masalah kan Bel, kalau kamu memikirkan yang seperti itu malah dijebloskan penjara. Kalau dijebloskan penjara, berarti penjara adalah tempat untuk orang benar dan baik bukan lagi tempatnya orang salah. Bener gak?” kata Kiki dengan tegas. Disitulah logikaku mulai bekerja, saat Kiki berbicara seperti itu artinya aku juga harus berpikir panjang tentang nasib bangsa Indonesia ke depannya. Jika semua para pemuda-pemudi berpikir seperti Kiki, maka persatuan Indonesia akan tetap terjaga. Selama berteman dengannya, aku mulai memahami semua tentangnya. Pasti sudah terpikirkan di benak kalian juga. Bagaimana sosok dari Kiki. Bagiku, dia adalah Kartini masa kini. Bagaimana tidak, uang jajan Kiki selama ini diberikan kepada sekolah-sekolah pelosok desa untuk menyekolahkan anak-anak kurang mampu. Tidak jarang pula dia sering membantu mengajar di sekolah itu. Aku merasa begitu bangga dengannya. Aku pernah bertanya tentang apa yang dia harapkan atas semua itu dan dia pun menjawabnya dengan tenang, “Semua yang aku lakukan ini bukanlah untuk pujian atau agar menjadi terkenal. Tapi aku berharap ini semua bisa cukup menenangkan dan memberikan kehidupan yang layak bagi bangsa ini kelak. Dia adalah harapan bangsa dan biar semua yang menjadi milikku akan menjadi milikmu, Indonesiaku,” jawabnya. Hampir saja aku menjatuhkan air mata mendengarnya. Dia berbicara seolah-olah sedang berjuang demi bangsa. Sementara aku, hanya mampu memberikan semangat. Sebab aku belum bisa melakukan apapun untuknya.

Pada suatu malam aku berniat hendak belajar bersama di rumahnya. Tapi tanpa aku duga, aku mendengar suara keributan dari dalam rumahnya. Aku mendengar suara Kiki dengan ayahnya. Namun, seperti orang yang sedang bertengkar. Aku pun menjadi sangat penasaran sebenarnya ada apa dengan mereka. Hatiku bimbang apakah benar jika aku menguping pembicaraan orang lain, tapi aku terkejut setelah mendengar suara gadis menangis, “Kenapa Yah, kenapa?” ucap seorang gadis itu. Aku pun mulai mendekat pada sebuah jendela kaca rumah Kiki. Rupanya itu adalah Kiki dan ayahnya yang tengah bertengkar hebat dalam rumah, “Kenapa Ayah lakukan semua ini? Kenapa Ayah bisa melakukan tindakan korupsi di kantor itu? Ini adalah uang rakyat kecil Ayah, mengapa Ayah lakukan?” teriak Kiki sambil menangis tersedu. Sang ayah yang saat itu tepat di hadapannya pun berkata ïtu semua untukmu Kiki, untuk biaya pengobatanmu agar kamu masih tetap bisa hidup dan bersama kami. Jika tidak melakukan itu bagaimana dengan nasibmu nanti,” jawab ayah Kiki dengan suara yang terkapar lemah. Mendengar dialog antara Kiki dengan Ayahnya itu. Aku menyadari bahwa aku telah mendengar rahasia besar dalam kehidupan Kiki yang terlihat begitu bahagia dan baik-baik saja. Aku kembali dengan mata yang masih tidak percaya. Aku masih tidak menyangka apa yang aku dengar malam itu. Aku masih bertanya-tanya apakah yang terjadi dengan Kiki, dia sedang dalam keadaan yang darurat, tapi apa? Semua pertanyaan itu menumpuk dalam benakku. Aku merasa khawatir dengannya. Selain itu, rahasia mengenai ayahnya yang seorang koruptor juga hanya aku yang menjadi saksinya. Aku tidak habis pikir, bagaimana bisa seorang anak koruptor bisa menjadi sebaik dan sedermawan dirinya. Tapi di sisi lain Kiki juga tidak tau bahwa ayahnya seorang koruptor kelas kakap. Aku mencoba membuat semua keadaan menjadi terlihat baik-baik saja.

Esok harinya ternyata Kiki tidak masuk sekolah. Tertulis dengan keterangan sakit di dalam suratnya. Aku menjadi sangat pendiam hari itu, sebab aku tidak biasa menyembunyikan sebuah rahasia pada ibuku. Namun kali ini aku harus benar-benar menutupi semuanya. Sikapku menjadi aneh dan linglung. Ditambah Kiki tidak masuk hari ini, aku semakin tidak bersemangat untuk sekolah sebab biasanya Kiki lah yang membuat suasana menjadi sangat menyenangkan. Beberapa hari berlalu setelah kejadian malam itu. Ternyata berita tentang ayah Kiki sudah menyebar luas di perumahan dan juga di sekolah. Aku semakin khawatir dengan keadaan Kiki yang entah kemana. Para murid tengah membicarakan ayah Kiki, “Bagaimana bisa seorang anak koruptor bisa bersikap seperti Kartini,” kata Tita. “Jangan menghakimi seorang anak sebab kesalahan orang tuanya kasihan Kiki, dia tidak tau apa pun soal ini,” jawabku. Tita yang mendengar jawaban dariku menjadi diam. Sepulang sekolah aku melewati rumah Kiki yang sampai saat ini masih terlihat sepi. Sudah satu minggu Kiki tidak masuk sekolah. Pada hari ke delapan, pak Sur datang ke kelas dengan raut wajah yang sedih. Tidak seperti biasa dia langsung masuk ke kelas dan langsung duduk di meja guru. Pak Sur mengatakan, “Bapak akan menyampaikan sesuatu tentang Kiki, dia sedang sakit parah dan sedang dirawat di rumah sakit. Dia mengidap sakit leukimia.” Pak Sur tiba-tiba mengusap air matanya. Aku yang mendengar berita itu langsung lemas dan tak bertenaga, rupanya selama ini orang yang sering memberikan diriku semangat, justru dia yang membutuhkan semangat dari orang sekitarnya. “Apakah kita tidak menjenguk Kiki, Pak?” tanya Tita, “Tentu saja, besok kita berangkat kesana bersama-sama. Berikan dia semangat karena dia akan menjalankan operasi kemoterapi. Kankernya sudah berada di stadium 4 atau stadium akhir. Hanya tersisa sedikit waktu untuknya berjuang” ujar Pak Sur.

Esoknya kami menjenguknya untuk memberikan semangat pada Kiki. Sesampainya di rumah sakit, aku langsung memasuki ruangan dengan pakaian yang sudah steril. Saat itu dia tengah terjaga seolah menunggu kami. Aku mendekat padanya, aku yang tidak tega melihatnya pun menangis. Dia berkata, “Terima kasih” ucapnya sambil terbata-bata. Setelah semua memberikan semangat, Kiki menarik tanganku untuk memberikan sebuah surat yang bertuliskan “Simpanlah puisi-puisiku. Jagalah kehormatan bangsa ini, jangan pernah menyerah untuk apa pun itu. Semua milikku, akan menjadi miliknya (Indonesia),” pesannya. Setelah aku selesai membaca, dia tersenyum padaku dan itu menjadi senyuman terakhirnya. Semenjak hari itu aku melaksanakan semua amanat yang diberikan Kiki padaku. Semoga dengan ini menjadi ketenangan dirinya di alam sana. Walaupun dia tidak ikut berjuang bersamaku, setidaknya kita sama-sama membantu membangun bangsa Indonesia, untuk menegakkan keadilan dan berbuat kebajikan antar sesama. Bentuk perjuangan sederhana, namun besar dampaknya. (ghio)