Suatu sore

“Itu foto siapa Nak?”

“Pacarku Bu, ganteng kan?,” Ibu semakin melotot ke arah layar laptopku.

“Dia itu hobinya fotografi, warna favoritnya biru, makanan kesukaannya Burger, dia lahir di Surabaya, 3 Mei 1984. Oh iya, dia juga suka kue brownies Bu, Ibu bisa bikin kan? ajari aku dong,” Ibu mulai kelihatan bingung dan heran.

“Dulu itu, waktu Ibu masih muda dan mulai suka sama Ayah rasanya malu sekali bercerita ke orang lain apalagi ke orangtua. Nah ini kamu, kalau cerita kayak lagi lewat jalan tol, lancar tanpa hambatan,” celoteh Ibu yang hanya bisa aku jawab dengan tertawa ngakak.

“Ibu percaya kalau dia pacaraku?,” Tanyaku sambil senyum-senyum.

“Memang cocok ya sama aku? Aku cantik dan dia ganteng. Klop,” kini aku mulai berkhayal sedang jalan berdua dengannya, bergandeng tangan, saling bercanda mesra.

“Kok malah ngelamun. Dia anak mana? Siapa namanya? Sekolah atau kerja?,” Tanya Ibuku lagi. Aku lagi-lagi tertawa, bahkan makin keras.

“Kamu ini kok malah tertawa lagi? Dia serius tidak pacaran sama kamu? Jangan suka main-main, lihat ada banyak perempuan jadi korban kriminal karena salah pilih pacar,” Ibuku mulai kelihatan cemas. Aku lagi-lagi tertawa terpingkal-pingkal.

Ibuku kemudian diam dan duduk di tempat tidurku. Meskipun begitu, amarahnya terlihat belum mereda. Aku hanya bisa tersenyum sekarang.

“Via,” hanya sepatah kata yang diucapkan Ibuku. Kemudian Ibu berdiri dan kembali ke depan rumah. Lalu aku terdiam, bingung, dan kembali membuka koleksi foto di laptopku. Ibuku masih duduk santai di depan rumah, seperti yang selalu dilakukannya setiap sore. Rutinitas harian yang seakan membuat hari Ibu tidak lengkap jika rutinitas itu tidak dilakukan. Pernah suatu sore hujan lebat, dan angin bertiup kencang, Ibu tetap duduk di kursi teras. Aku meminta Ibu untuk masuk, karena takut kalau nanti dia masuk angin, akan tetapi tidak digubris sama sekali. Baru setelah petir menyambar-nyambar, Ibu mau masuk rumah. Namun, tetap membawa kursi teras masuk ke rumah dan meletakkannya di belakang jendela ruang tamu. Ibu kembali duduk santai memandangi jalan seperti biasanya. Aku duduk di kursi yang ada di samping Ibuku. Ibuku hanya diam.

“Ibu marah sama aku?,” Tanyaku. Karena tak ada respon, aku kemudian menyeret kursi dan duduk di depan Ibu.

“Ibu kenapa diam?”

“Via”

“Iya?”

“Siapa yang ada di foto tadi?,” Aku tersenyum.

“Dia idolaku Bu. Dia bukan pacarku, tapi kadang aku suka berkhayal seandainya saja jadi pacarku”

“Buat apa kamu sampai tau makanan kesukaannya bahkan sampai ingin membuatkan kue brownies untuk dia?”

“Ya, siapa tahu suatu saat aku ketemu dia dan bisa beneran jadi pacarnya”

“Cukup Via! Kamu boleh mengagumi tapi jangan berlebihan!”

“Aku cuma mengaguminya lewat dunia maya dan dunia khayalan, juga tidak mengganggunya? Apa itu berlebihan?”

“Dia tidak akan terganggu, bahkan juga mungkin dia tidak akan tahu kalau ada seorang Via yang sangat mengidolakannya, yang setiap hari memandangi laptop hanya untuk berkhayal dengan foto-fotonya, dan yang punya khayalan bisa menjadi pacarnya.”

“Selama aku tidak mengganggunya berarti tidak jadi masalah Bu?”

“Kamu yang akan terganggu, Nak”

“Maksud Ibu?”

“Jika kamu hanya sibuk dengan dunia maya dan dunia khayal, lalu bagaimana dengan dunia nyata? Tidak pernahkah kamu berfikir kalau di sekitarmu ada lelaki yang menyukaimu? Atau tidak pernahkan kamu berfikir bagaimana temanmu merasa bosen dan muak dengan khayalanmu?,” nada Ibu mulai meninggi.

Aku dan Ibu saling berpandangan. Posisi duduk kami masih sama, hanya napas kami yang terdengar tidak beraturan. “Ibu hanya tidak ingin kamu seperti Ibu. Biarlah Ibu yang begini, tidak punya teman bicara selain kamu. Biarlah hanya Ibu yang merasakan kesepian. Ibu ingin kamu tetap bisa bergaul dengan temanmu, itu saja.”

Aku berdiri meninggalkan Ibuku. Di kamar, aku berbaring dan kembali mengingat kapan awalnya aku mulai mempunyai idola. Dulu, aku tidak pernah mempedulikan artis-artis yang ada di TV, internet ataupun majalah. Aku hanya peduli dengan Ibuku, kami selalu berdua. Kami saling membutuhkan satu sama lain. Jika tidak ada aku, maka Ibu tidak punya teman bicara dan hanya duduk di teras, memandangi para tetangga yang bergerombol menggosip tanpa ikut bergabung dengan mereka. Sebelumnya Ibuku bagian juga bagian dari mereka, sambil menunggu aku pulang sekolah, dia bergabung dengan tetangga dan mengobrol berbagai macam hal. Semua  berubah ketika Ayahku mengirimkan surat secara tiba-tiba. Ibuku terkejut dan bingung sehingga menyuruh semua tetangga pulang dan sejak saat itulah Ibu menjadi tertutup dan hanya memiliki aku. Begitupun denganku, aku menjadi tertutup dengan teman-temanku. Sampai aku masuk SMP dan aku bertemu teman baru yang begitu mengidolakan artis itu.

“Kamu suka gak sama dia? Ganteng ya?,” tanya Nabila sambil menunjukkan foto seseorang dalam HP-nya.

“Memang siapa dia?”

“Kamu tidak tahu? Dia kan artis sinetron yang ada di TV setiap malam. Coba deh nanti malam kamu lihat, nanti pasti kamu langsung suka,” bujuk Nabila teman sebangkuku

Demi bisa mempunyai topik mengobrol dengan Nabila, aku pun kemudian menjadi penggemar sinetron remaja itu. Selain itu, aku juga mengidolakan  pemain yang juga diidolakan Nabila. Kali ini, aku sudah menyalakan laptopku. Aku lihat lagi foto-foto dalam laptopku. Foto-foto artis itu jauh lebih banyak daripada fotoku. Tiba-tiba aku merasa muak. Sebenarnya ini bukan pertama kalinya aku merasa begitu, aku sering merasakan hal seperti ini. Namun, ketika rasa itu datang, aku selalu berusaha untuk mengusirnya hanya karena aku tidak mau kehilangan temanku Nabila. Rasa muak itu mencapai puncaknya saat ini. Aku ambil HP dan menelepon Nabila.

“Halo, Bil, aku mau berhenti punya idola”

“Kenapa?”

“Bosan aja rasanya, capek!”

“Iya aku juga udah mulai bosan”

“Jadi kamu juga mau berhenti?”

“Iya, sampai kapan kita mengidolakan orang yang tidak pernah tahu kalau kita ada untuk dia. Kita sering bermimpi menjadi pacarnya, bahkan menkhayalkan kalau suatu saat akan menikah dengannya”

“Iya ya, lucu juga ternyata. Tiap hari aku mengikuti aktivitasnya dari dunia maya, bahkan seringkali aku mengikutinya agar dapat merasakan apa yang dia rasakan. Tapi, dia bahkan tidak pernah tahu ada aku yang sangat mengidolakannya”

“Oke kita berhenti ya? Aku akan menghapus semua fotonya di laptop dan HP-ku”

“Setuju”

“Oke, kita mulai setelah menutup telepon ini ya? Kita mulai hidup baru!”

“Oke, siap!”

Kemudian aku menutup teleponku, dan menghapus semua foto dia di HP dan laptopku. Setelah selesai, aku berjalan ke teras menghampiri Ibu. Akan tetapi, Ibuku tidak ada. Aku mencarinya di kamar, tetapi juga tidak ada. Di kamar mandi dan dapur pun tidak ada. Aku takut, badanku mulai gemetar. Aku takut Ibu marah dan meninggalkanku. Aku duduk di ruang tamu, air mataku mulai mengalir. Aku benar-benar takut kehilangan Ibuku.

Aku berlari ke luar rumah, menoleh ke seluruh penjuru berharap menemukan Ibuku.

“Via, kamu sedang apa?,” Tanya seorang tetangga. Aku tidak mempedulikannya, air mataku masih tetap menetes.

“Via, kamu kenapa kok menangis?,” Tanya tetangga yang lain.

“Kamu kenapa menangis Via?,” Tanya seseorang sembari berjalan dari rumah tetanggaku. Kali ini aku mengenali suara itu.

“Ibu”

“Sini, kenapa kamu menangis?,” Tanya Ibuku. Aku kemudian menghampirinya.

“Ibu sedang apa di sini?”

“Kami sedang minta Ibumu mencicipi kue yang kami buat bersama, Via. Ibumu kan pandai membuat kue, jadi bisa memberi masukan kepada kita,” kata salah seorang tetanggaku. Ibuku tersenyum.

“Kamu kenapa menangis, Via?,” Tanya tetanggaku yang lainnya.

Aku menggeleng lalu memeluk Ibuku dan kami berdua tersenyum bahagia. Kami berhasil keluar dari genangan masalah yang kami buat sendiri. Kami siap memulai hari baru. (olv, Yep)