Aku lelah. Aku muak dalam hidup ini. Kurasa aku tak kan lagi sanggup memendamnya. Cukup sekali ini aku diam. Menerima sumpah serapah yang kau lontarkan. Aku merasakan kemarahan ini telah membuncah. Hingga mata ini tak lagi mampu menahan desakan air di dalamnya.

Aku minta maaf. Mungkin bagimu akulah biang dari semua masalah ini. Akulah dalang yang terpuruk atas kesadaranku sendiri. Akulah orang yang selalu menjadi buah bibirmu didepan orang lain. Tapi kali ini tidak, aku benar-benar lelah dengan segala drama yang tak pernah sirna ini.

Dari segala rasa hormat yang ku miliki. Ku mohon.. jangan lagi kau usik kisah yang baru aku mulai. Jangan sesekali kau mendekat dan ganggu aku untuk menikmati senja ini dalam diam.

 

Hari ini begitu berat bagiku. Seolah sandiwara ini tak akan pernah sirna. Aku lagi-lagi terlibat dalam masalah seseorang yang begitu dekat namun sangat kubenci kehadirannya.

Namaku Nurlaila. Kamu bisa memanggilku Nela. Sedikit melenceng memang. Namun nama ini juga sangat pas untukku. Nama ini tersemat saat aku mulai duduk di bangku SD kelas 5. Seperti kebanyakan anak SD pada umumnya, teman laki-laki SD-ku terjail, Rifky namanya, ia sering mengejekku. Dia bilang, nama sedalam itu sama sekali tidak cocok untuk seseorang dengan sifat garang dan wajah kaku sepertiku. Hingga munculah istilah Nela, sebagai kependekan dari Nenek Lampir, menjadi julukan serta nama panggilan seumur hidupku.

Kini aku adalah seorang remaja. Tumbuh dengan bertambahnya umur sama sekali tidak dapat merubah sifat harimau yang melekat pada diriku.

Saat-saat duduk di bangku SMA adalah saat yang paling berkesan dan tak terlupakan. Namun itu semua tidak berlaku pada hidupku. Justru masa SMA adalah masa yang kini ingin sekali kulupakan. Dan jika saja waktu dapat diputar kembali, aku tak ingin berada pada masa dimana semua orang pergi meninggalkanku.

 

– – – 4 tahun lalu – – – –

 

“Pagi Mah..”, sapa gadis cantik itu dengan ceria. Gadis itu memiliki sifat yang ramah, Bertubuh proporsional bak seorang model. Berpenampilan menarik. Dan unggul dalam pelajaran. Gadis itu adalah kakak-ku, Nurtatiana.

Sejak kecil aku merasa senjadi orang asing dalam keluarga itu. Kamarku tepat dibelakang. Bagian dimana kamar-kamar untuk pembantu, supir dan satpam rumahku. Yah.. aku adalah anak orang berada. Ayahku tak lain pemborong yang berpenghasilan tumpah meruah. Bertubuh kekar, berwajah garang tapi hati bak permaisuri. Dan Mamaku adalah wanita dengan karir yang gemilang. Berparas ayu nan anggun membuat karirnya menjadi bintang pun berjalan mulus. Kecantikan mamaku sebagian besar dan bahkan semuanya diturunkan kepada kakakku. Tak sedikitpun gen yang membawa kecantikan mamaku iku nempel padaku. Dan beginalah jadinya. Aku menjadi anak yang tak terurus dan kurang kasih sayang.

“Pagi sayang, sini duduk sarapan dulu,” balas mamaku dengan mengecup kedua pipi kakakku itu.

Sejujurnya aku cemburu. Sangat. Aku iri mengapa aku tak pernah diperlakukan dengan hangat oleh keluargaku. Bahkan melihat kearahku pun mereka tak sudi.

Di rumah ini mungkin hanya Bi Sani, asisten rumah tangga di rumah, yang sangat baik padaku. Aku tak tahu apa sebenarnya salahku mengapa aku berbeda dengan kakakku.

Hingga suatu ketika saat aku pulang dari sekolah, aku tak sengaja mendengar pertengkaran hebat dari ruangan kerja ayahku.

“Buang saja anak haram itu, Laila hanya akan terus menjadi beban untuk keluarga ini!

 

– – –

 

Namun kini tak lagi sama. Aku tak lagi ada di rumah itu. Mungkin bisa disebut istana. Karena memang tak pernah benar-benar menjadikan rumah untukku. Seorang sepertiku dulu rasanya tak pantas walau hanya melihat rumah itu dari jauh.

Aku sekarang sudah bahagia. Walau bahagia menurutku adalah bisa makan dan menghidupi keluargaku.

Yah aku sudah menikah. Usiaku menginjak 26 tahun bulan lalu. Dengan seseorang yang sempat mempunyai image buruk menurutku. Orang itu tak lain adalah Rifky, suamiku tercinta, yang dengan teganya menyematkan nama Nela “Nenek Lampir” saat aku kecil dulu.

Ceritanya rumit mengapa aku bisa berakhir dengannya.

Berawal dari acara seminar yang diadakan oleh sebuah kampus di Jawa, di situlah aku bertemu dengannya. Saat itu aku tengah di undang oleh salah satu temanku untuk menjadi moderator untuk acara seminar yang diselenggarakannya. Dan suatu kebetulan yang biasa orang sebut dengan takdir, Rifky adalah pembicara di acara seminar tersebut. Ia diundang karena telah sukses menjadi CEO perusahaan makanan di usianya sejak menginak 20 tahun.

Harus ku akui awal mula aku bertemu dengannya, aku terpesona dengan penampilannya. Bahkan aku hampir tak mengenalinya jika bukan dia yang lebih dahulu mengingatkanku pada kepanjangan nama yang kini melekat di diriku.

Singkat cerita, sejak hari itu aku terus berkomunikasi dengannya. Saling berbalas chatt, bertemu hanya untuk menghabiskan weekend di kedai kopi. Bahkan saling menertawakan tingkah masa kecil yang jauh dari kata normal.

Hingga satu tahun berjalan dengan intensitas komunikasi yang semakin sering. Rifky memperkenalkanku pada orang tuanya. Dan yah begitulah, akhirnya aku menikah dengan Rifky tak lama setelahnya.

Rifky sebelumnya memang tahu mengenai permasalahanku dengan orang yang selama ini ku sebut keluarga. Aku bahkan tak pernah sanggup menyebut Ayah dan Mama sebagai orang tua. Sebelum hari pernikahan ku yang indah pun Rifky memohon izin pada mereka. Pernikahanku berlangsung, namun tak sedikitpun Aku melihat mereka. Aku tak tahu apa yang mereka katakan pada Rifky saat Rifky berkunjung. Acara pernikahanku pun terus berlangsung, meski tanpa doa dan restu mereka.

Hingga bertahun-tahun berlalu aku tak pernah tahu bagaimana kondisi mereka. Terakhir ku dengar dari Rifky mereka pindah ke Riau, kampung halaman Ayah. Entahlah, semenjak aku melangkah keluar dari rumah itu Aku tak lagi ingin menjalin hubungan barang sedetikpun dengan mereka.

– – –

“Sayang, ayo masuk sudah malam,” ucap Suamiku super lembut sambil mengusap punggungku.

Aku menoleh ke arahnya. Ku lontarkan senyuman termanisku padanya.

“Terima kasih ya mas, sudah mau menerima ku. Mendampingi ku dikala semua orang tak mau melihat kearah ku,” ucap Ku berterima kasih atas asa yang telah Dia berikan selama ini.

“Sama-sama, percaya sama Aku. Tuhan memberikan semua pada hambanya sesuai dengan porsinya. Jangan dibawa beban. Cukup hadapi dan syukuri apa yang ada dalam hidup ini,” jawabnya lembut bahkan membuatku lagi-lagi jatuh cinta padanya. (Far)