Sudah sebulan lebih, sejak diterapkannya Work From Home (WFH) dan School From Home (SFH). Karena Indonesia terdampak virus pandemik, yang menyebabkan kita harus menjaga jarak satu sama lain, agar memutus rantai penularan virus tersebut.

Tidak berbeda dengan kampus yang lain, kampusku juga menerapkan SFH selama 1 bulan penuh dan pengumuman terakhir ditambah 2 bulan. Kembali ke rumah tentunya membuatku senang pada waktu itu. Dengan semangatnya setelah mendengar pengumuman bahwa akan diterapkannya SFH, aku bergegas pulang ke rumah bersama dengan temanku.

Bruummmm… suara klakson kapal yang siap mengangkutku menuju pulau seberang. Menuntut ilmu di pulau orang memang hal yang menarik. Ya, kebanyakan orang menyebutnya dengan kata merantau ke pulau seberang.

Namaku Mai, aku termasuk mahasiswa baru yang masuk semester 2 pada tahun ini, artinya sudah setengah tahun ku habiskan di pulau ini. Tentu saja banyak suka dan duka yang terjadi. Awalnya menegangkan sekali, seorang diri datang ke tempat yang asing. Maksudnya kamu berada di pulau orang tanpa memiliki teman yang akrab denganmu, tentu menakutkan.

Dari semester 1 sampai sekarang aku tinggal di asrama kampus, dari sinilah membuatku mengenal banyak teman. Ya, diantaranya aku memiliki 5 teman sekamar dengan sifat dan karakter yang berbeda. Mereka, Januara, Febri, Mareta, April, dan Juni. Kamar menjadi kacau sekali ketika kita semua berkumpul, berkeluh kesah tentang mata kuliah yang sulit, dosen killer, hingga menjadi budak program kerja (proker).

Kita sering, tertawa sekeras-kerasnya seakan hanya kita yang ada di dalam gedung asrama. Menghabiskan banyak waktu dan kegilaan bersama, layaknya pertemanan wanita di luar sana. Tapi tak memungkiri juga ada cekcok diantara kita. Hal-hal itu, membuatku rindu saat-saat seperti itu, aku berinisiatif menghubungi mereka lewat grup chat.

“Hello eperibadi,” celetukku mengetikkan pesan grup.

“Kalo ga bisa bahasa inggris ga usah sok deh,” April menjawab pesanku.

“Ada yang kangen tapi bukan Dewa 19,” Januara.

“Lah, ini grup apa?,” tanya Juni.

“Ah, kamu kelamaan di rumah makin meningkat ya pinternya, Juni.” Febri.

“Kalian ganggu jam tidurkuuu,” Mareta.

“Apa kalian tidak bosan rebahan mulu?,” kataku.

“Mana ada bosan rebahan? Aku bosan dengan tugas yang selalu menumpuk tak tau waktu ini, huh!” terdengar nada kesal Febri dari pesannya.

“Hah? Bosen rebahan? Perasaan kamu kalo di asrama juga rebahan mulu deh mai,” balas April yang pasti ditujukan untukku.

“Ya.. tapi kan beda konsepnya kali ini, April. Kalo biasanya sering rebahan pun kita juga masih bisa tuh keluar buat main, kuliah, ngopi-ngopi gitu. Sekarang kan ga boleh, physical distancing tau!” ucapku panjang lebar.

“Yauda, mau ku ajak main ga Mai?” Januara.

“Kemana jan?,” sahutku.

“Oke, sekarang kalian semua ikutin kataku,” perintah Januara pada kami.

“Awas aja kalo becandanya ga lucu,” April.

“Lah emang, semua pada mau ngikutin kamu Jan?” kali ini Febri yang menjawab.

“Sudahlah, ikuti saja, pasti seru kok.” Perintah Januara lagi dengan pemaksaan.

“Kalian pada pegang hp kan?” tanya Januara.

“Ya iyalah pegang maemunah, kalo engga gimana bisa bales chatnya!,” Mareta mulai emosi.

“Yauda sekarang search di maps kalian, Candi Borobudur, kita ketemu disana lewat maps,” kata Januara.

“Yeeuuuu, untung kamu ga ada di depanku, kalo iya uda ku tendang kau Jan,” ujarku.

“Ehh.. ehh.. gais, sini deh ku kasih tau, aku lagi kepikiran sesuatu,” Juni.

“Jangan becanda kek Januara lagi ya kamu Juni,” April.

“Apaan Juni?” tanya Mareta kepada Juni.

“Bajuku disana belum aku cuci kemarin, huwaaaa, bayangin kita SFH nya diperpanjang sampai dua bulan lagi kan. Apa kabar bajukuuuu?” ucap Juni tampak khawatir.

“HAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHA,” semua membalas dengan ketawa.

Begitulah kira-kira interaksi kita jika berada di asrama, mereka tidak berubah, tetap tidak jelas dan tidak waras. Tetapi rasanya berbeda jika bercanda dengan mereka saat bertatap langsung dan lewat chat seperti ini.

Huft, benar kata Febri tadi, tugas ini terus berdatangan dan menumpuk tak tahu aturan, tak tahu waktu, bahkan saat tanggal merah pun mereka datang seperti ingin mengajakku bermain dengan mereka saja tanpa mempedulikan hal lain.

“Dik, apa ga capek dari pagi, siang, sore, malem, liat laptop mulu, liatin apasih dik?” Ibu datang menengok ke kamarku.

“Ini bu, adik punya temen baru namanya tugas, dia ga pernah mau ditinggal sama adik, dia dateng terus bu, padahal pas uda selesai satu yang lainnya datang lagi dan lagi,” ujarku dengan wajah masam.

Memang beginilah aktifitasku yang seorang mahasiswa fakultas teknik. Tidak ada hentinya tugas selalu ada tiap harinya. Tugas setiap mata kuliah, belum lagi terkadang masih ada saja tugas praktikum dengan deadline yang hampir berdekatan. Capek? Tentu saja, tapi mau bagaimana lagi jika memang kampus sedang menerapkan pembelajaran daring seperti ini. Berbeda dengan saat kuliah di kampus.

Triiiinnnnggggg…

Tiba-tiba hpku berdering menunjukkan ada yang sedang menelfonku, dia April, teman yang menelfonku.

“Halo pril, ngapa dah? Kamu ganggu aku nugas tau ga!” ucapku agak membentak.

“Ya mana tau, lagian kalo tau ya bodo amat juga. Biar aku tebak, pasti kamu lagi ngedumel di kamar ngomong sama laptop karena programmu error terus kan?” sahut April dengan nada mengejek.

“Sok tau. Tapi bener juga,” balasku malas.

“Kamu ga rindu aku Mai?” pertanyaan random dari April.

“Lah? Tiba-tiba? Ya rindu lah, rindu gebukin kamu, rindu ketawa-ketawa ga jelas, rindu pas subuh-subuh kamu teriak ngebangunin aku, rindu ngebully kamu juga hahahahaha.” Aku tertawa dengan keras.

“Yang jelek-jelek aja kamu rindunya hmm…” April terlihat tidak puas dengan jawabanku.

“Yauda yang bagus-bagus nih, rindu beli telur gulung malem-malem, rindu tahu bulat, sotong, sate ayam, nasi goreng, bakso, ayam geprek, siwil, seblak, bebek sinjay, dan semua yang pernah kita beli bareng pas disana,” ucapku.

“TERSERAH MAI TERSERAH,” balas April kesal.

Setelah itu April mematikan telfonnya secara sepihak.

“Huft, capek juga ngerjain tugas ini, oke mari kita rebahan sebentar,” ucapku pada diri sendiri.

Aku menatap langit-langit kamarnya, membayangkan bagaimana rasanya ketika pandemi ini berakhir. Bisa bertemu dengan teman-teman, bercanda gurau tanpa adanya jarak karena physical distancing.

Tiba-tiba aku mendengar ada yang teriak memanggil.

“Hei! Mai bangun woi, ini uda mau maghrib tidur mulu!” sontak aku terkejut melihat April ada di depan matanya.

“Loh, kamu.. kok bisa kita sudah di asrama lagi? Kan ini masih di masa pandemi?!” tanyaku yang masih bingung.

“Pandemi sudah berakhir Mai sayang, coba lihat di luar, mereka semua merayakannya,” jawab April dengan senyum mengembang sempurna.

Aku bergegas ke arah balkon untuk melihat apa yang barusan dibilang oleh April. Benar saja, aku terbelalak melihat dunianya sudah pulih kembali, banyak yang berpelukan, berjabat tangan memberikan ucapan terima kasih dan rasa syukur.

Harapanku terwujud. Akupun sujud syukur dan berpelukan dengan April. Dia menangis, tidak bisa berkata-kata, akhirnya pandemi ini berakhir.

Aku menangis tersedu-sedu, terasa air mata ini terus menetes semakin deras. Tanpa sadar aku terbangun.

“Oh, ternyata hanya mimpi. Ahh, seperti nyata saja, aku sudah menangis seperti ini. “ Ucapku seraya menghapus air mata yang mengalir deras di pipinya.

“Mimpi yang sangat indah. Tuhan ku harap mimpiku segera menjadi nyata.” Kali ini aku berdoa dengan penuh keteguhan hati.

Tidak tahu lagi sudah sebesar apa rinduku pada pulau seberang, semoga pandemi ini segera berakhir. Aku pun kawan-kawanku bisa kuliah seperti biasa. Melihat dunia yang indah, semua orang yang berkumpul tanpa menggunakan masker atau alat pelindung lainnya. Hanya keinginan sederhana dari Mai untuk buminya. Semoga lekas pulih bumiku.

Penulis : Anggi Nor Fauziah

Editor : …