Kian hari kian berani, Belanda mengkudeta tanah warga secara paksa, merampas harta dan hasil panen warga. Meneror dan membunuh siapapun yang melawannya, bahkan pemerintah Belanda berani mengultimatum pejuang Porong untuk menyerahkan senjata pada pemerintah Belanda. Tanpa rasa takut, kapten Amin sebagai pimpinan pejuang Porong secara terang-terangan mengabaikan ultimatum tersebut dan membuat pemerintah Belanda merasa geram karena merasa dipermalukan.

Hingga malam hari tiba, kapten Amin dikejutkan dengan suara tembakan peluru yang terdengar cukup keras dari luar rumahnya. Dengan sangat terkejut, kapten Amin melihat tubuh pembantunya tergeletak bersimbah darah di depannya. Di samping mayat pembantunya terdapat tulisan pada tanah yang ditulis menggunakan darah segar. Tentara Belanda menuliskan pesan peringatan atas penolakan kapten Amin dan pasukannya untuk menyerahkan senjata pada Pemerintah Belanda.

Kejadian malam itu membuatnya sangat marah, kapten Amin pun mengirim kopral Yoga untuk pergi memata-matai markas Belanda sekaligus bekerja sama dengan Bung Tomo di markas besar untuk menyusun siasat penyerangan. Kapten Amin berniat untuk menyerang balik markas Belanda, melihat di daerah lain sudah terjadi banyak perlawanan terhadap Belanda, dirasa saat ini adalah waktu yang tepat untuk melakukan penyerangan sebelum pasukan Belanda pulih kembali. Namun, ada satu hal yang membuatnya gelisah, hatinya gusar memikirkan seseorang yang jauh di sana. Untuk mengobati gelisahnya, Ia mengirimkan surat untuk seseorang tersebut.

“Teruntuk kasihku, Suster Hana nan jauh di sana.
Apa kabar kau di sana? Maaf, sekian lama tak berkabar denganmu. Kuharap kau baik dan rindu padaku juga. Di sini Belanda kian merajalela, kami rasa perlu ada perlawanan untuk menghentikan mereka. Berat tuk mengatakan dan mungkin kau akan marah setelah membaca surat ini, pernikahan kita bulan depan harus tertunda untuk persiapan pertempuran! Semoga kau megerti akan kondisi ini. Kuharap kau tetap sabar menantiku. Hanya itu yang ingin ku sampaikan, jaga dirimu baik-baik di sana. Dariku yang selalu merindukanmu, Kapten Amin”.
_______________________________

Kapten Amin dibuat khawatir oleh kopral Yoga yang belum terdengar kabar sedikit pun semenjak pergi meninggalkan Porong.

“Lama sekali, sudah tiga hari surat belum juga datang! Apa Kopral Yoga tertangkap Belanda? Kalau sampai tertangkap, serangan ke markas Belanda di Sidoarjo akan gagal!”

Di tempat lain, kopral Yoga berusaha untuk bertahan hidup setelah kaki kanannya tertembak tentara Belanda, syukurlah ia masih sempat meloloskan diri. Ia beruntung katena gelapnya malam itu memudahkannya bersembunyi di semak-semak. Pendarahan yang dialaminya cukup parah, hingga membuat tubuhnya terkuai lemas. Kopral Yoga ditemukan dalam kondisi pingsan oleh penduduk sekitar, kemudian dibawa ke posko kesehatan yang tak jauh dari pemukiman warga.

Kondisi kopral Yoga berangsur membaik, di posko tersebut kopral Yoga dirawat oleh suster yang tak asing lagi baginya. Dia adalah suster Hana, calon istri kapten Amin. Merasa sudah saling megenal, suster Hana tak sungkan lagi untuk membuka pembicaraan

“Bagaimana kondismu saat ini, kopral? bagaimana kau bisa terluka parah seperti ini ?” tanya suster Hana sembari mebalut luka kopral Yoga dengan perban.

“Kondisi ku jauh lebih baik saat ini suster Hana. Semalam aku hampir tertangkap pasukan Belanda saat memata-matai markas mereka, aku beruntung bisa lolos dari mereka,” jawab kopral Yoga sembari menggerakan tubuhnya yang terasa sakit dan kaku.

“Oh, semoga kau lekas sembuh dan secepatnya bisa menyelesaikan tugasmu. Aku rasa kaptenmu sedang menunggu informasi darimu untuk menyusun siasat perang.”

“Tunggu, bagaimana anda bisa tau tentang siasat itu? Bukankah bulan depan kalian akan menikah? Jika pertempuran ini terjadi, berarti pernikahan kalian gagal? Astaga, maafkan aku suster, tak seharusnya aku lancang bertanya seperti itu padamu.”

“Bukan gagal tapi ditunda sampai pertempuran selesai. Kopral jika kau berkenan tolong sampaikan pada kapten Amin, bahwa ia tak perlu khawatir tentangku. Fokus saja pada tugasnya dan sampaikan pula bahwa aku akan selalu setia menantinya.”
___________________________

Setelah sehari semalam dirawat, kopral Yoga memaksakan diri untuk kembali ke Porong. Meski sempat dilarang oleh beberapa suster di sana karena lukanya belum sembuh. Kopral Yoga tetap memaksa untuk pulang. Ia merasa tugas di pundaknya lebih penting dibanding rasa sakit ditubuhnya. Setelah perjalanan yang melelahkan, tibalah Kopral Yoga di Porong dan ia langsung menemui Kapten Amin.

“Merdeka!“ salam sapa kopral Yoga untuk kapten amin

“Kopral Yoga, apa yang terjadi? Mengapa kakimu terluka?” Kapten Amin terkejut dengan kondisi kopral Yoga yang terluka dan kelelahan.

“Siap Kapten… Saya hampir tertangkap tentara Belanda di perbatasan Ketintang sana, saya dikepung satu kompi! Tapi akhirnya saya lolos dan sembunyi di rawa-rawa Ketintang dengan luka tembak di kaki saya!”
“Lalu, ada pesan apa dari markas besar?!”
“Bung Tomo hanya berpesan, supaya markas kecil dan pos-pos Belanda harus segera dilumpuhkan sebelum pasukan Belanda pulih kembali. Kita secepatnya menggempur terus-menerus, sampai Belanda betul-betul menyerah! Oh iya, suster Hana juga menitipkan pesan bahwa dia bersedia menunggu Kapten sampai kapanpun.”
“Benarkah, bagaimana kamu bisa bertemu dengan suster Hana, apakah dia baik-baik saja?”
“Dia baik-baik saja Kapten, suster Hana yang sudah membantu mengobati lukaku beberapa hari lalu.”
“Terima kasih Kopral, kau sudah melaksanakan tugasmu dengan sangat baik. Sekarang beristirahatlah di kamar, nanti malam kita akan mengadakan rapat bersama prajurit yang lain. Sekarang, biar kubantu untuk mengganti perban lukamu.”
___________________________

Denting jam menjukkan pukul delapan malam, rapat pun dimulai dan dihadiri oleh kopral Dayat, kopral Yoga serta beberapa perwakilan prajurit. Kapten Amin mulai memimpin rapat dan menjelaskan rencana penyerangan. Pada saat rapat terdapat sedikit perdebatan antara kapten Amin dengan kopral Dayat.
“Penyerangan akan kita lakukan pada tiga puluh satu Desember setelah sholat subuh,” terang kapten Amin kepada semua yang hadir dalam rapat.
Tiba-tiba kopral Dayat bersuara, “Mengapa tidak sebelum sholat subuh saja kapten, bukankah kita bisa memiliki waktu yang lebih banyak untuk menyerang?”
“Aku tau itu, selain membela negeri ini kita juga punya kewajiban lain yakni menunaikan ibadah. Kita harus menghormati saudara muslim kita, agar mereka tetap bisa beribadah. Bagaimanapun tanpa restu Tuhan kita tidak bisa berbuat apa-apa.”
“Kalau begitu kita serang markas mereka malam hari saja, jauh sebelum subuh tiba.”
“Jangan, pada pertempuran yang lalu, peyerangan dilakukan di malam hari. Pada saat ini mereka dimungkinkan menjadi lebih waspada ketika malam hati. Kita serang mereka setelah subuh saja, saat mereaka lengah dan mengira bahwa kita tidak akan menyerang di waktu seperti itu”
“Baiklah kapten, kami sekarang sudah paham, pertempuran ini pasti akan berlangsung sangat lama dan pasti kita mebutuhkan banyak persiapan!”
“Tentu saja, kita butuh persediaan bahan pangan dan stok senjata yang cukup, dan kita sudah siapkan semua itu. Hanya saja kita tidak memiliki tenaga medis yang cukup. Kopral Dayat, tolong kirimkan surat ke markas besar, kita membutuhkan bantuan tenaga medis dan sampaikan juga bahwa penyerangan kita lakukan pada 31 Desember
”Siap kapten, besok pagi saya akan langsung megirimkan pesan ke markas besar.”
___________________________

Dua hari berlalu, surat yang dikirim kapten Dayat ke markas besar telah sampai dan diterima langsung oleh Bung Tomo. Dengan suka rela Bung Tomo bersedia mengirimkan bantuan tenaga medis ke daerah Porong sesuai dengan jumlah yang dibutuhkan oleh pasukan kapten Amin. Sekelompok perawat telah tiba di porong, seminggu setelah surat Kapten Amin dibalas oleh Bung Tomo. Kapten Amin menyambut kedatangan kelompok perawat di rumahnya. Kapten Amin mempersilahkan rumahnya yang luas menjadi tempat tinggal para perawat itu hingga pertempuran dan tugas mereka selesai.
Sepersekian menit kapten Amin mengamati kelompok tersebut. Ia merasa ada yang janggal dari sekelompok perawat itu, ia seolah tertarik mendekati seorang suster bertubuh tinggi dan berkulit bersih dengan wajah yang tertutup sehelai selendang. Betapa terkejutnya kapten Amin ketika selendang itu tersingkap oleh angin, ia melihat wajah cantik yang telah lama dirindukannya.

“Sus… Suster Hannnaaa? Kau ada disini?” tanya kapten Amin sedikit gagu karena terkejut sekaligus tak bisa menahan rasa bahagia dalam hatinya. Keduanya tersipu malu sembari melempar senyuman. Dehem buatan kopral Yoga memecah kesunyian diantara mereka berdua. Kapten Amin yang mulai sadar langsung mempersilahkan sekelompok perawat tersebut untuk masuk rumah setelah sekian menit mereka semua hanya diam melihat kapten Amin dan suster Hana saling bertatapan.
___________________________
Di malam hari setelah sholat isya berjamaah, kapten Amin menemui suster Hana di taman. Mereka duduk berdua sembari menatap langit yang penuh akan taburan bintang. Banyak sekali yang ingin mereka katakan. Namun, mereka bingung harus memulai dari mana. Hingga kapten Amin memberanikan diri untuk memulai pembicraan .

“Maafkan aku, suster Hana!” dengan suara pelan namun jelas Kapten Amin mulai bicara
“Maaf, untuk apa kau meminta maaf?” tanya suster Hana sedikit bingung dengan permintaan maaf kapten Amin padanya. Hingga ia harus merubah posisi duduknya yang semula menatap langit, menjadi menghadap wajah kapten Amin yang tampan.

“Maaf, karena aku harus menunda pernikahan kita”
“Ohh, ku kira ada apa sampai wajahmu serius seperti itu. Kau tak perlu minta maaf karena hal itu. Bagaimanapun juga, kepentingan negeri ini diatas segalanya” jawab suster Hana santai

“Kau benar, bahkan aku tak akan menyesal jka harus mati di medan pertempuran demi membela negeriku “

“Apa yang kau katakan kapten, kau harus selamat dari pertempuran itu. Tidakkah kau ingin menikah dengan ku!” Suster Hana sedikit kesal dengan ucapan Kkapten Amin yang melantur dan membuatnya berfikir yang tidak-tidak.

“Tentu saja aku ingin bersamamu, sekali lagi terima kasih kau mau mengerti kondisiku dan aku sangat bersyukur memilikimu. Sekarang sudah malam kembalilah ke kamarmu, beristirahatlah” Kapten Amin meminta suster Hana kembali ke kamarnya untuk beristirahat. Mereka berduapun kembali ke dalam rumah.
______________________________

Hari berganti dengan cepat, tak terasa tiga puluh satu Desember telah tiba. Semua persiapan perang telah matang. Hanya saja dua kompi pasukan bantuan dari markas besar belum juga tiba. Ternyata dua kompi pasukan bantuan tersebut dihadang oleh pasukan Belanda ketika memasuki perbatasan. Pasukan kapten Amin tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Jika mereka tetep menunggu pasukan bantuan maka semua rencana akan gagal. Tepat setelah sholat subuh, pasukan pejuang Porong bergerak menyusuri pos-pos dan markas Belanda. Mereka semua bertempur habis-habisan, termasuk kelompok perawat. Hanya saja mereka ditempatkan pada posko kesehatan di sekitar medan tempur untuk menolong pejuang yang terluka.

Di ujung jalan markas Belanda, pasukan kapten Amin mengendap-endap, menunggu isyarat dari kapten Amin untuk menyerang. Beberapa detik kemudian kapten Amin mulai memerintahkan untuk menyerang.

“Serbu….!!! Allaahhuakbar….. Allaahhuakbar…..!!” seru kapten Amin dengan lantang dan gagah berani. Satu persatu tentara belanda mulai tumbang ditangan kapten Amin dan pasukkanya.
Di bagian timur medan pertempuran, pasukan kapten Amin mulai berkurang. Kopral Dayat melaporkan hal itu pada kapten Amin. Bahkan mereka masih sempat berdebat di tengah baku tembak yang terjadi.

“Lapor kapten, pasukan kita di bagian timur dipukul mudur oleh tentara Belanda dan pasukan bantuan dari markas besar belum juga tiba,” laporan kopral Dayat kepada kapten Amin.

“Pecah saja kompiku menjadi dua pasukan untuk membantumu di bagian timur.”
“Tidakkah itu beresiko kapten?”
“Sudahlah kita tidak punya banyak waktu, tinggalkan saja empat penembak jitu untuku, sisanya bawa saja ke pasukanmu, cepat lakukan!” sambil menembaki tentara Belanda, kapten Amin meminta kopral Dayat untuk bergerak cepat.

Meski jumlah pasukan kapten Amin tidak sebanding dengan pasukan Belanda, tidak sedikitpun terbesit niat mereka untuk menyerah. Pasukan kapten Amin kini semakin berkurang, satu per satu mulai gugur. Perawat silih berganti menandu pejuang yang terluka untuk dibawa ke posko. Termasuk suster Hana yang sedang membopong prajurit yang terluka. Hati suster Hana terasa tercabik melihat aksi saling tembak di medan tempur. Ia memang tak ikut terluka namun Ia bisa merasakan sakitnya luka para pejuang.

Dan tiba-tiba suara tembakan yang begitu keras muncul “ DUARRR…” Suster Hana terkejut dan langsung membalik badan untuk melihat siapa yang tertembak. Tulang Suster Sana seakan remuk, saat mengetahui orang yang tertembak dan terkulai lemas di tanah adalah kapten Amin. Dari kejauhan suster Hana hanya bisa menangis, matanya seakan berteriak meminta kapten Amin untuk bangkit kembali. Ikatan batin mereka, membantu kapten Amin menemukan sorot mata suster Hana yang sedang menangis melihatnya. Ia tersenyum sambil memandang suster Hana. Tak lama kemudian, kapten Amin bangkit kembali dengan luka tembak di lengannya. Ia mengaggukkan kepala mengisyaratkan bahwa dia baik-baik saja. Suster Hana membalas dengan anggukkan yang sama. Kemudian ia melajutkan tugasnya membawa pejuang dalam boponganya memasuki posko keselamatan.

Suster Hana bergegas mengobati pasukan yang terluka tad. Ia ingin secepatnya menyelesaikan tugasnya agar bisa menemui dan mengobati kapten Amin yang terluka. Selesai membalut luka para korban, suster Hana bergegas berlari keluar tenda. Kali ini dia tak mampu lagi menahan dirinya untuk berteriak, ia melihat kapten Amin tertembak tepat di depan matannya.

“Tidakkkkkk, hentikan ku mohon hentikan…!” teriak suster Hana sembari menangis dan berlari menuju ke arah kapten Amin. Tanpa peduli kondisi di sekelilingnya yang mengancam nyawanya.

Suster Hana langsung memeluk tubuh kapten Amin yang berlumuran dengan darah. Kapten Amin tertembak tiga peluru, dua peluru di dada dan satu peluru di lengannya. Melihat kekasihnya terluka, suster Hana menangis sejadi-jadinya di pelukan kapten Amin, tanpa peduli wajah putihnya berubah memerah terkena lumuran darah. Tiba-tiba suster Hana berteriak memanggil suster Nanik.

“Suster… Suster Nanik, tolong bantu aku!” teriak suster Hana sambil memeluk tubuh kapten Amin yang semakin lemas.
Mendengar teriakan suster Hana, suster Nanik bergegas menghampiri suster Hana ditemani dengan beberapa perawat lain sambil membawa tandu dan peralatan medis lainnya.

“Kapten terluka parah, kita bawah saja ke posko” Suster Nanik ikut panik melihat kondisi Kapten Amin

“Buang-buang waktu saja jika harus membawanya ke posko. Sekarang kita harus hentikan pendarahannya terlebih dulu, sebelum dia kehabisan darah. Suster, tolong bantu aku memindahkannya ke pingir jalan” tubuh kapten Amin ditandu dan dipindahkan ke pingir jalan yang lebh sepi untuk dibalut lukanya.

“Suster Nanik, tolong bersihkan luka di lengannya. Biar aku yang membalut luka di dadanya”

Tiba-tiba tangan kapten Amin menyetuh pipi suster Hana dan berkata “Aku tak perlu ditolong, suster Hana. Aku hanya ingin melihatmu tersenyum untuk yang terakhir kalinya”

“Sudahlah, kau diam saja. ini bukan saatnya bercanda!” Suster Hana merasa tercekik mendengar ucapan kapten Amin. Namun ia tetap mebalut luka kapten Amin.

Kapten Amin menaraik tangan suster Hana, berharap suster Hana berhenti mengobatinya. Suster Hana pun berhenti membalut luka kapten Amin karena tidak bisa bergerak dan memberanikan diri untuk menatap mata Kapten Amin.

“Maafkan aku, aku tak bisa menepati janji ku untuk menikahimu. Aku harap kau tak marah padaku. Kau tahu kan, sebentar lagi aku akan mati, setidaknya tersenyumlah sedikit saja agar aku bisa pergi dengan tenang.” Kapten Amin terbata-bata mengucapkan pesan terakhirnya kepada suster Hana

“Aku tak peduli dengan janjimu untuk menikahiku, saat ini aku hanya ingin kau selamat dan itu sudah cukup bagiku. Bukankah kau ingin melihat Indonesia merdeka? Maka bangunlah, selamatkan negerimu ini dari penjajah.” rayu suster Hana, agar kapten Amin tetap optimis untuk bertahan hidup

Di tengah percakapan mereka tiba-tiba pasukan bantuan dari markas besar tiba, hingga membuat pasukan Belanda kalang kabut. Kondisi saat ini berbanding terbalik dengan kondisi beberapa menit yang lalu, dimana jumlah pasukan kapten Amin lebih banyak dan kemampuannnya jauh lebih unggul daripada pasukan Belanda. Tentara Belanda mulai berhamburan melarikan diri dari medan pertepuran.

“Kau lihat itu, pasukan bantuan telah tiba dan mampu memukul mundur pasukan Belanda. Satu impianku sudah terpenuhi Indonesiaku akan merdeka, hanya satu lagi yang belum terpenuhi dan hanya kau yang bisa memenuhinya, kumohon tersenyumlah!”Aku akan tersenyum tapi berjanjilah bahwa kau akan bertahan hidup dan kemabli ke rumah bersamaku

Melihat kondisi kapten Amin yang semakin payah, suster Hana menuruti permintaan kapten Amin untuk tersenyum. Suster Hana pun tersenyum. Namun, matanya tetap tak berhenti meneteskan air mata. Samar-samar penglihatan kapten Amin masih bisa melihat suster Hana yang tersenyum. Kapten Amin pun ikut tersenyum sambil berkata.

“Aku mencintaimu dan selamat setidaknya kau masih bisa melihat negerimu ini merdeka” beberapa saat kemudian mata kapten Amin mulai terpejam di pangkuan suster Hana. Kapten Amin telah tidur dengan tenang untuk selamanya.

“Tidaaakkkk, kau tak boleh pergi kapten! Bagaimana aku bisa menikmati kemerdekaan ini seorang diri? Kita telah berjuang bersama, seharusnya kita juga menikamtai kemenangan kita bersama” tangisan suster Hana pecah melihat kapten Amin meninggal di pangkuannya.

“Sabar Nona, ikhlaskan. Kapten meninggalkan kita untuk panggilan bangsa dan negara. Beliau mati syahid. Membela kebenaran dan menumpas kemungkaran” ucap suster nanik yang mencoba untuk menenagkan suster Hana. Dikarenakan tak kuasa menahan tangis suster Hana pun pingsan.

Keberhasilan pejuang Porong mengusir Belanda mungkin menjadi kemenangan terbesar bagi masyarakat Sidoarjo kala itu. Namun, hal ini berbeda dengan suster Hana. Hariri itu adalah kegagalan terbesar baginya, karena tak mampu menyelamatkan nyawa orang yang paling dikasihinya. Akhir gerakan perlawanan pejuang Porong pada 31 Desember, sekaligus menjadi akhir kisah cinta kapten Amin dan suster Hana yang tumbang di medan pertempuran masyarakat Porong, Sidoarjo, Jawa Timur.

 

Penulis : Kharisma Intan S.