Pahlawan?

Ya, aku sangat mengagumi mereka. Terutama Bung Tomo dan Bung Karno, yang semangat mudanya berapi-api dan sepertinya mereka menurunkan itu padaku. Hei, aku ini bukan keturunan Bung Karno atau Bung Tomo tapi mungkin saja sebelum meninggal mereka melemparkan semangatnya entah kemana dan kebetulan sekali aku yang menangkapnya. Mungkin begitu. Mereka adalah pahlawan sesungguhnya. Bagiku, pahlawan hanya sebutan bagi orang  yang berperang tanpa bayaran hanya demi kemerdekaan dan kebebasan bangsa dari penjajah. Tentu saja itu sudah berlalu, saat ini tidak ada lagi yang namanya pahlawan. Yang zaman ini mengatasnamakan pahlawan, itu hanya bullshit bagiku. Aku hanya berpikir mengapa mereka menganggap diri mereka sendiri pahlawan padahal kenyataannya mereka membela rakyat hanya karena imbalan yang berupa uang, mengambil uang rakyat seenak udel mereka. Emang rasa udel enak? Hmm.. harus dicoba ini. Seandainya mereka –yang mengaku sebagai pahlawan- membela rakyat tanpa imbalan, mungkin aku bisa mempertimbangkan mereka untuk kusebut sebagai pahlawan. Hahaha…

Getaran dari saku celana menyadarkan lamunanku dan membuatku sadar bahwa aku masih menunggu bus di halte tak jauh dari kampusku. Kurogoh saku celanaku, dan menemukan sebuah nama muncul di layar ponselku. Segera saja kugeser layar untuk mengangkat panggilan itu.

“Assalamualaikum, mak. Ada apa?”tanyaku langsung pada penelepon yang ternyata ibuku.

“walaikumsalam jun, kamu dimana? Kenapa belum pulang”Tanya ibuku dengan panik. Eolah aku ini diculik atau mungkin dibawa kawin lari oleh bencong perempatan.

“iya mak, ini lagi nunggu bus”jawabku singkat dengan nada malas. Aku berasa anak emak jika begini. Apabila pulang telat sedikit, langsung dicari mungkin kalau bisa sampai lapor ke polisi.

“ya sudah, langsung pulang ya, jangan kemana-mana” perintah ibuku langsung menutup telponnya padahal aku belum sempat menjawabnya. Aku mendengus setelahnya. Emakku ini selalu begitu, perintahnya itu bagai perintah presiden yang harus selalu dilaksanakan. Aku langsung masuk kedalam bus, begitu bus itu berhenti dihadapanku.

Perkenalkan dulu, semua orang memanggilku Jun. Ya namaku adalah Juna, Junaedi tepatnya. Hanya Junaedi, tidak ada lengkapnya karena itu sudah lengkap. Nama itu pemberian ibuku 22 tahun silam. Aku langsung memasuki kamarku begitu tiba dirumah, sengaja untuk menghindari omelan ibuku yang panjangnya mengalahkan rel kereta antar provinsi. Oke itu lebay, mungkin hanya sepanjang jalan kenangan. Ups…

Begitu masuk kedalam kamarku, wajah-wajah pahlawan Indonesia langsung menyambutku dan segera kusapa mereka “Assalamualaikum Bung Karno, Bung Tomo, dan Bung-Bung sekalian”ucapku sembari melambaikan tangan kekanan dan kekiri bak Miss Universe. Kalian pasti heran, mengapa mereka berada dikamarku sedangkan mereka sudah meninggal. Bukan arwah mereka tentu saja, hanya poster. Kamarku memang tidak terlalu kecil, namun beberapa poster yang memenuhi tembok itulah yang membuatnya kecil. Namun, poster yang paling besar tentu saja poster wajah Bung Tomo dan Bung Karno. Sudah sedari kecil aku mengoleksi poster – poster pahlawan, hingga ibuku selalu mengomel karena kamarku terlihat berantakan akibat poster-poster itu.

Aku hanya bisa berkata dengan berapi-api “Mak, mereka itu pahlawan kita. Merekalah yang telah membebaskan kita dari belenggu pengkhianatan eh maksudnya belenggu penjajahan. Kalau bukan kita yang mengenang, siapa lagi? Tidak mungkin mantan yang akan mengenangnya, karena mantan hanya akan menginggatkan kita tentang belenggu pengkhiatan”. Dan selanjutnya, kepalaku terasa panas karena tempelengan emakku.

Aku segera memasuki kamar mandi tentu saja untuk mandi. Ya kali, masuk kamar mandi malah masak. Aku dan teman-teman ku akan bertanding sepakbola melawan anak RT sebelah di lapangan desa yang telah kusewa tanpa bayaran jauh-jauh hari karena lapangan desa bagaikan GBK yang setiap hari dipakai. Yang membedakan GBK dengan lapangan desa adalah penggunaan lapangan desa yang serbaguna entah untuk pertandingan bola, pertandingan bulu tangkis, atau bahkan digunakan untuk perlombaan makan rumput antar sapi maupun antar kambing. Setelah mandi, aku segera memakai atribut pemain bola, yaitu sepasang baju bewarna pink lembut hingga sepatu kebanggaanku yang berharga 60 ribuan yang juga bewarna pink mencolok.

I’am a handsome boy”kataku sembari mengedipkan sebelah mataku pada cermin didepanku. Begitu selesai berpakaian dan sebagainya, aku segera menuju poster-poster ku yang berada disisi tembok kamar.

“Bung-Bung sekalian, doakan aku agar aku menang. Ini giliranku untuk berjuang demi harga diri bangsa eh harga diri RT maksudku. Akan ku libas mereka semua dengan jurus mautku.”ujarku berapi-api sembari membentuk kepalan tangan keatas. Bertandingan berlangsung mudah untuk tim lawan karena timku hanya bisa saling berteriak dan merebut bola dari lawan maupun dari timnya sendiri. Pertandingan ini membuatku pusing, karena semuanya saling berteriak. Teriakan dari pemain dan teriakan dari supporter yang berjumlah 8000 orang, eh salah 8 orang maksudnya. Memang terlihat bahwa bertandingan ini tidak seimbang, terlihat di akhir pertandingan 5 gol yang dicetak oleh lawan sedangkan timku sendiri tidak mampu membalas 1 pun gol ke gawang lawan. Aku pulang dengan lemas, dalam hati aku bergumam “maafkan aku bung-bung sekalian, karena aku kalah dalam perang dikandang sendiri. Lain kali aku akan berjuang hingga titik darah pengabisan demi harga diri RT dan harga diri bangsa Indonesia” itu janjiku dan sumpahku yang akan kutepati suatu saat nanti. (R)