Ini kisah dari aku, entah kenapa aku ingin menuangkan kisah ini dalam bentuk tulisan. Nama aku Mila, mahasiswi aktif di salah satu Universitas terkenal di Surabaya. Hobbi aku memang menulis tapi menulis untuk diri sendiri, aku tidak pernah ingin membagikan tulisan dan kisahku kepada orang lain karena prinsip aku menulis adalah sebuah kisah yang harus di abadikan bukan karena ingin sebuah ketenaran. Tapi entah dorongan dari mana, aku ingin membagikan kisah ini. Mungkin karena aku terlalu ingin membuat orang-orang sadar bahwa perbedaan itu sudah biasa.

     Semuanya berawal dari aku yang mengikuti matakuliah Jaringan Komputer. Awalnya semuanya baik-baik saja, sampai tiba dosen pengajar datang. Dia datang dalam keadaan diam, menatap mahasiswa-mahasiswinya dari depan kelas lalu duduk di tempat yang memang tersedia. Suasana kelas begitu hening, tapi aku yakin di dalam hati teman-teman aku pasti berteriak-aku ingin pindah kelas. aku bisa menebaknya karena aku sendiri juga melakukannya.

     “Assalamualaikum semuanya,” sapa dosen itu yang biasa disapa Bapak Hadi tapi mahasiswa-mahasiswanya sering menyapanya dengan sebutan Pakdi. Pakdi adalah salah satu dosen Teknik Komputer, dia dikenal dengan kegarangannya. Entah kenapa bisa begitu, tapi ini adalah baru pertama aku di ajar oleh Pakdi, yang aku dengar dari cerita kakak tingkat (Kating), Pakdi ini di kenal karena sangat amat jarang meluluskan mahasiwa-mahasiswanya.

     “Waalaikumussalam,” jawab serampak mahasiswa-mahasiswi dikelas ini.

     “Oke kita langsung saja ya ke kontrak kuliahnya, saya akan baca. Tolong ditelan baik-baik,”kata Pakdi.

     “Dikuliah saya ada beberapa kriteria penilaian yaitu, tugas 25%, ujiuan tengah semester 25%, ujian akhir semester25%, dan tatak ramah25%, dan satu lagi saya tidak ingin ada tawar-menawar karena ini kelas bukan pasar” tuturnya tidak bisa dibantah.

     “Peraturan-peraturan dikelas saya,”jedanya. seketika mahasiswa-mahasiswi dikelas langsung tegang, suasananya seperti di bioskop saat menonoton film horror.

     “Peraturan yang pertama dengarkan ini kaum hawa telan betul-betul, yang pertama wajib pekek rok,ciput rambu, dan kaos kaki. Peraturan yang kedua dilarang memakai makeup atau yang bisa menarik perhatian lawan jenis. Inget ya betul-betul buang cara berhijab kalian yang mengikuti model-model millennial sekarang. Itu bukan hijab yang sebenarnya, itu adalah hijab jahiliyah. Ini benar ada hadisnya, saya bisa mempertanggung jawabkan ini di akhirat,” ceramahnya. Aku langsung berkeringat dingin mendengarnya, peraturan macam apa ini? Bahkan dosennya pun tidak bertanya apakah mahasiswa atau mahasiswinya ada yang berbeda agama. Matilah nilai aku, aku tidak berkerudung.

     “Dan untuk kaum adam dengerkan jangan masuk kuping kanan keluar kuping kiri. Saya tidak suka jika kalian menjawab dengan suara lebih lantang dari pada saya, dan saya tidak suka jika ada mahasiswa saya yang menegor saya. Ingat ya baik-baik, saya disini orangnya mudah tersinggung jadi jaga tatak rama anda kepada saya” Tuturnya panjang. Saya melihat teman-teman yang duduk lemas seakan dia pasrah untuk mengulang matakuliah jaringan Komputer ini dan akan mengambilnya tahun depan dengan dosen pengajar yang berbeda, ya semoga aja dosen berbeda.

     “Ada yang ingin ditanyakan?” Hening, semuanya diam tidak berani membantah bahkan teman aku saja yang bisa di bilang aktifis dan yang sering berorasi kiut di kelas ini.

     “Hallo tidak ada? Oke kalau begitu perkuliahannya saya sampai disini dulu, kita lanjutkan minggu depan. Assalamualaikum,” tutupnya. Akupun melihat teman-teman yang marik nafas berat dan lega, berat karena satu semester ke depan akan bertemu dosen garang-Pakdi, lega karena Pakdi sudah keluar dari ruangan ini.

     “Gue tau perasaan lo,” itu Juan, teman dekatku saking terlalu dekatnya semua orang akan mengira kalau aku dan Juan Pacaran.

     “Gue masih belum siap, Juan,”jawabku lemas.

     “Gue tau Mil, tapi apa salahnya dicoba dulu. Siapa tau ini hidayah dari Tuhan yang melalui Pakdi,” tutur Juan meyakinkan.

     “Lo pikir makanan bisa dicoba-coba, gue tidak punya prinsip seperti itu,” aku menjawab dengan kesal atas pernyataan Juan, menyambar tas di kursi lalu pergi tanpa pamit. Aku mualaf, baru setengah tahun aku masuk islam tapi aku belum siap untuk menuntup aurat. Bagiku menutup aurat itu harus dari hati, bukan karena sindiran orang lain. Aku masuk islam karena aku tertarik disetiap kali mendenger lantunan bacaan ayat-ayat suci Al-Qur’an saat berjalan di dekat masjid, dari situlah Akku memantapkan diri untuk masuk dan belajar islam.

     Banyak yang mencerca Aku karena Aku tidak memakai hijab meskipun sudah jadi mualaf, ada yang bilang,

     ‘lo pindah agama lagi ya,’

     ‘masuk islam kok setengah-setengah,’

     ‘eh lo islamnya hanya ktp ya,’ dan masih banyak lagi cercaan yang masih bersarang di otakku hingga sekarang. Berbeda dengan dulu sebelum masuk islam, dulu tidak ada yang berkata seperti itu kepada aku tapi dulu aku di jauhin oleh teman-temanku. Entah dengan alasan apa, aku tidak ingin menduga terlalu jauh.
aku melempar tas ke sembarang arah, lalu menjatuhkan tubuhku ke atas kasur. Hari ini rasanya aku ingin berteriak sekencang-kencangnya, aku kesal dengan orang-orang hari ini. Kenapa orang-orang mudah melihat perbedaan dari pada persamaan. Aneh memang, sering kali perbedaan selalu di perdebatkan, apa yang salah dari perbedaan? Bukannya negara Indonesia ini dikenal karena adanya keragaman bukan keseragaman? Tapi aneh orang-orang di dalamnya belum bisa melihatnya.

     Aku memejamkan mataku, mencoba menenangkan diri meskipun pikiran masih menyelimuti diri. Aku hanya ingin mengistirahatkan pikiranku sejenak sebelum bertemu dengan Juan lagi malam nanti. Padahal perasaan kesalalku masih belum selesai, tapi apalah daya jika tidak menemuin Juan tugasnya tidak akan selesai.

     Sore telah berganti petang, Aku bersiap-siap untuk bertemu juan. Dengan celana jeans dan kaos hitam, dan rambut yang dibiarkan digerai. Aku mencoba mengecek handphone untuk melihat apakah Juan membalas pesanku atau tidak. Sepertinya jawaban kedua lebih cocok, Juan memang sengaja tidak melihat pesanku karena alasan tidak mau membalas pesanku, mungkin. Aku memukul kepalaku sendiri entah kenapa aku selalu berfikiran negatif akhir-akhir ini. Aku hanya berharap Juan datang agar aku tidak sia-sia untuk berjalan begitu jauh dari tempat tinggalku.

     Setelah sampai di tempat tujuan aku menolehkan kepala ke kanan dan kekiri untuk mencari sosok Juan, aku bersyukur ternyata Juan sudah datang. Aku tersenyum bahagia dan menang melihat dia, aku yakin dia tidak akan bisa menolak permintaanku. Tapi saat aku ingin melewatin meja-meja cafe untuk sampai ke Juan, Aku tidak sengaja menyenggol meja dan berhasil menumpahkan minuman di meja itu. Semua orang-orang mengalihkan pandangannya kepadaku, Aku malu menjadi pusat perhatian. Aku segera meminta maaf kepada laki-laki yang sudah secara tidak sengaja ku tumpahkan minumannya. Saat Aku ingin menggatinya dia secara langsung bilang tidak, alhasil Aku tidak jadi mengeluarkan uang double untuk malam ini.

     Aku menghampirin Juan yang hanya duduk dan menatap atas kejadian memalukan tadi.

     “Udah puas ngeliatin gue maluin diri gue sendiri,” kataku kesal, kekesalanku semakin bertambah saat melihat Juan ketawa terbahak-bahak. Ingin sekali aku memasukkan mulutnya dengan sepatuku.

     “Lo ceroboh, masak meja sebesar itu nggak keliatan,” katanya sambil tertawa.

     “Fokus gue dari awal datang itu ke lo bukan ke meja,”kataku.

     “Iya iya gue tau, titik fokus lo kan emang ada di gue,” candanya dengan tawaan yang masih bertahan. Pipiku tiba-tiba merah seperti tomat matang, astaga aku sedang kenapa? Jangan sampai aku terbawa perasaan oleh Juan. Aku segera meyadarkan diri sebelum ini terlalu jauh,dengan menegakkan tubuhku.

     “Juan, lo mau nggak ngajari bahasa pemrograman ke Mila yang cantik, manis dan baik hati ini,” ucapku membujuk dia. Juan mendengus, dan aku hanya bisa tersenyum semanis mungkin agar dia mau membatu aku, meskipun senyumku tetap saja tidak manis.

     “lo kalau ada maunya ke gue, kalau gue ada maunya lo tinggalin,” ucapnya, Mila hanya menyengir kuda.

     “kita bahas itu nanti aja ya, sekarang bantuin Mila belajar ya,” ujarku sambil membuka tas untuk mengambil laptop. Semuanya berjalan lancar saat aku belajar dengannya, tidak ada pembahasan yang aneh-aneh selain tentang Bahasa pemrograman, hingga semuanya selesai, Juan membuka suara. Aku tau dari tadi melihat gelegat Juan yang sepertinya ingin mengungkap sesatu tetapi selalu di tahan olehnya.

     “Ekhm gue, gue minta maaf ya buat yang tadi siang. Tapi gue bener-bener nggak bermaksud apa-apa, gue cuman pengen yang terbaik buat lo,” ucapnya sambil menunjukkan wajah bersalahnya. Aku tahu Juan tidak akan menghakimi aku seperti orang-orang lain, bahkan di saat semua orang menjauh justru dia memilih mendekat. Aku tidak tahu pasti apa yang ada di pikirannya tentang Aku, tapi dia begitu baik bahkan terlalu baik bagi Aku.

     “Gue tau kok, lo cuman pengen biar gue lebih baik dan supaya nggak ada omongan buruk kan tentang gue? Tapi semuanya butuh proses Juan, gue belum siap,” kataku lembut kepadanya agar dia bisa lebih mengerti dan paham maksudku.

     “Proses? Mau nunggu sampek kapan lagi? Kalau lo bisa mempercepat proses kenapa harus memperlambatnya?”jawabnya dengen pelan seakan ingin menjaga ketersinggungan hatiku.

     “Gue cuman mau itu atas keinginan dari hati gue sendiri, seperti dulu saat gue memutuskan ingin jadi mualaf,” jawabku. Juan menghembuskan nafas beratnya, memang benar semuanya tidak bisa dipaksakan.

     “Gue tau ini bukan hal kecil Mil, tapi apa lo nggak pengen liat diri lo memakai hijab? Apa lo tidak mau melihat diri lo tenang tanpa godaan-godaan mahasiswa lainnya setiap lo pulang malam? Apa lo nggak mau liat diri lo sendiri tanpa beban pikiran karena cercaan temen-temen lo? Setidaknya lakuin ini untuk diri lo sendiri Mil,” katanya dengan lembut. Aku hanya diam, mencoba memahami setiap kata yang Juan katakan padaku. Aku mengembuskan nafasku dengan kasar, mungkin omongan Juan ada benarnya juga. Meskipun tidak bisa merubah keteguhan hatiku yang masih belum siap untuk berhijab setidaknya Aku akan berusahan untuk merubah diri lebih baik. Dan benar apa salahnya dia belajar lebih baik selama itu masih di jalan Tuhan.

     “Gue akan lakuin, lo tenang aja. Sekalinya gue berhijab gue akan istiqomah,” balasku sambil tersenyum kepada Juan. Juan hanya diam dan hanya membalas senyumku.

     Hari sudah berganti menjadi minggu, minggu bergati menjadi bulan. Sekarang sudah di akhir semester dan aku masih belum memantapkan hati untuk berhijab. Di dalam kelas Pakdi pun, aku melanggar peraturan dan aku sudah siap untuk tidak lulus. Dosen itu sekali-kali dalam pelajarannya menyindir, terkadang mengeluarkan ayat-ayat suci Al-Qur’an hanya untuk menyadarkan aku. Entah setan apa yang merasuki diriku sehingga aku masih kebal dengan omongan orang-orang atas diriku.
Hari ini adalah hari terakhir aku di ajar oleh Pakdi, sekarang adalah Ujian Akhir Semester.

     Harusnyaaku tidak ikut, percuma saja jika hasil akhirnya sama dengan hasil awal yang aku pikirkan. Aku sedang tidak berfikiran buruk hanya saja semua teman-teman sudah menduga bahwa aku akan mengulang matakuliah ini di tahun depan.

     Aku tetap aktif dalam Matakuliah Pakdi, bahkan aku tidak pernah bolos tapi di nilai kehadiran absensi aku tidak pernah disebut oleh beliau. Aku tidak tahu kenapa itu tidak berpengaruh di mata Pakdi.

     Setelah hasil nilai keluar semuanya terlihat sangatlah nyata, Aku tidak lulus matakuliah jaringan komputer. Aku sudah mempersiapkan diri dari sebelumnya untuk hal ini, meskipun terkadang aku masih kesal dengan dosen yang hanya menilai dari penampilan terkadang dari paras wajahnya. Dunia perkuliahan adalah dunia yang penuh pembelajaran berharga, bukan hanya di dalam kelas tapi di lingkungan sekitarnya dengan pemikiran orang yang berbeda-beda.

     Perbedaan yang gampang untuk ditemui juga sulit untuk disatukan. Semua orang punya haknya masing-masing untuk mengambil jalan hidup yang akan di tempuh. Hasil akhir bahagia atau tidaknya tergantung dari masing-masing orang yang menjalani dan menikmati hidupnya.
Aku melihat diriku sendiri dalam pantulan cermin, dengan kerudung berwarna biru langit. aku tersenyum tanpa sadar, mungkin sekarang waktunya. Ini bukan karna siapa-siapa, tapi karena Aku dan Tuhanku.

     Perbedaan memang mengasikkan tapi jika diselingkan dengan sikap saling menghargai. Adakalanya kita harus memposisikan diri sebagai orang lain, agar kita tahu menjadi mereka itu tidak semudah yang kita pikirkan, dan juga menjadi diri sendiri agar diri kita tahu bahwa memperbaiki diri itu perlu.

     Dari sini aku belajar banyak hal, yang menggerakan sesorang itu dengan murni adalah hati. Bukan aku yang belum memantapkan diriku untuk berhijab, tapi karna diriku sendirilah yang keras hati dan hanya dikuasai oleh pikiran.

Penulis : Penulis Mila