Source : https://pixabay.com/id/photos/tapak-langkah-kaki-jejak-2353510/

Udara masih dingin dengan sisa-sisa malam yang mulai lenyap. Burung pipit mulai terlihat menyembulkan kepala diantara dedaunan pohon mangga. Menengok kesana kemari mengawasi burung dares yang beranjak pergi dengan lesuhnya. Dari lubang pohon mangga terlihat keluarga bajing mulai melompat mengejutkan burung-burung pipit yang spontan terbang kocar-kacir dibuatnya. Lampu-lampu masih menyala namun bisa terdengar suara dapur yang mulai bangun dengan asap yang mengepul keluar dari jendela-jendelanya sambil membawa aroma yang menggoda perut. Terlihat beberapa orang sudah mulai beraktifitas, seorang penjual sayur berbaju biru dengan handuk kecil yang disampirkan di pundaknya sedang sibuk melayani beberapa ibu-ibu yang kedengarannya sedang menawar dagangannya dengan harga yang kelewatan. Seorang pria berumur 50-an terlihat sedang mengendarai sepeda motor butut tahun 90-an yang sudah terlihat seperti bukan motor lagi sambil membawa rumput yang bertumpuk tinggi melampaui tinggi orang itu. Motor itu terdengar berderit diantara suara knalpot dan asap yang membumbung, jalannya terlihat limbung meskipun jalan yang dilalui lurus, orang-orang yang belum pernah melihatnya mungkin mengira pria itu sedang melakukan atraksi atau semacamnya.

Di depan sebuah rumah di ujung jalan terlihat seorang pria paruh baya sedang duduk sambil mengikatkan tali sepatunya, disampinnya nampak seorang anak kecil melompat-lompat tidak sabar menunggu bapaknya yang masih terduduk. “ayo pak cepat, keburu panas” kata anak itu sambil melakukan peregangan. “haha, iya-iya ini bapak sudah selesai” jawab  pria itu sambil berdiri dan melakukan peregangan juga. Bapak-anak itu mulai berlari menyusuri jalan kampung. Mereka berlari tidak terlalu cepat dan tidak terlalu lambat dengan ritme kaki sama melewati jalanan, pematang, tanjakan dan turunan sambil menyapa tetangga ataupun orang yang dilauinya. Matahari sudah menyingsing naik menampakkan pemandangan sekitar sambil membawa hangatnya pagi, mereka berhenti di depan pintu air sambil mengatur nafas. “ haha kau memang suka berlari ya mat” kata bapak membuka percakapan dengan nafas yang masih ngos-ngosan. “yaiyalah pak, tiap hari mat kan selalu lari waktu main atau ke sekolah. Mat kan juga anak paling cepat dikampung” kata mat dengan senyum mengembang sambil menunjuk diri sendiri dengan bangga. “hahah iya-iya anak bapak memang joss” jawab bapak sambil mengacak-acak rambut anak bujangnya itu yang kini akan menginjak kelas 4 SD. Perlahan bapak membuka tali sepatunya yang kusam. Sepatu bapak berwarna abu-abu yang mulai menghitam dengan logo merk yang tinggal separuh sehngga tidak bisa dikenali lagi merk aslinya,berbahan kain sepatu murahan yang terlihat sudah compang-camping dimana-mana. Bapak mengeluarkan kakinya dari sepatu sambil menggerakkan jari-jari dan pergelangan kakinya. Melihat hal itu mat terlihat penasaran pak kenapa gak beli sepatu baru saja? Kan sepatu bapak yang itu sudah jelek juga kata teman-teman mat kalua mau lari cepat harus pakai sepatu bagus pak” tanya mat sambil memasang wajah penasaran dengan polosnya. “mat, sekarang bapak tanya fungsi sepatu sebenarnya apa?” tanya bapak. “ya buat lari cepat pak” jawab mat. “hampir benar itu, Cuma fungsi sepatu yang benar itu Cuma buat melindungi kaki sama agar nyaman larinya jadi meskipun kamu nginjak batu atau kotoran kebo sekalipun kamu masih enak buat lari” kata bapak. Mendengar itu, mat hanya mengangguk-angguk seakan mengerti apa yang dikatakan bapaknya namun aslinya tidak sama sekali. Bapak tertawa kecil melihat ekspresi bujangnya yang terlihat masih kebingungan “ ya ya intinya sepatu itu memang penting tapi bukan yang paling penting buat lari” kata bapak. Perlahan bapak duduk di atas pembatas pintu air lalu mengangkat sebelah kakinya “nah mat, kalau kau ingin tahu yang paling penting saat berlari itu ini” kata bapak sambil menunjukkan telapak kakinya. “telapak kaki masud bapak?” tanya mat masih kebingungan. “haha ya gak gitu juga mat, yah nanti kalau sudah besar kamu pasti paham” kata bapak sambil perlahan berdiri sambil menjinjing sepatunya. Bapak menggandeng tangan mat kemudian berjalan pulang dengan bertelanjang kaki. Sesampainya di rumah ibuk sudah menunggu di ruang makan dengan makanan sudah tersaji di meja “cuci kaki tangan cuci kaki dulu gih, kotor banget anak bapak sama aja” suruh ibuk sambil mengacungkan sendok sayur. Mat dan bapak saling tertawa sambil menuju kamar mandi. Suasana sarapan pagi itu begitu hangat dengan iringan canda tawa dan cerita mereka bertiga.

Malam telah menyergap dengan suasana sunyi senyap, tidak biasanya kampung Nampak begitu gelap hanya lampu jalan lama yang menerangi meskipun jumlahnya tidak seberapa. Jam dinding sudah menunjuk angka 10, waktu telah larut bagi orang-orang kampung. Mat terengah-engah berlari menyusuri jalan. Keringat terlihat bercucur deras dengan nafas tersengal-sengal hebat. Mat berlari, terus berlari meskipun kakinya Nampak terluka. Satu-satunya yang dituju mat adalah sebuah rumah di ujung lain kampungnya, rumah satu-satunya dokter di kampungnya. Sesampainya di rumah itu, mat menggedor-gedor pintu. Tak lama kemudian pria muda berkacamata keluar. Mat menceritakan keadaan dengan panik, si dokter mengangguk-angguk paham lalu masuk kembali ke dalam rumah. Tak lama, dokter itu keluar dengan mengenakan pakaian putihnya dan membawa tas kulit dan stetoskop. Mereka bergegas ke rumah mat dengan motor milik si dokter. Sesampainya di rumah, dokter cepat-cepat masuk dan memeriksa bapak. Bapak terbaring di kamar dengan tubuh kurus lemas, matanya sayu redup menatap kosong. Mat dan ibuk menunggu di ruang tamu sambil menangis melihat kondisi bapa sekarang sambil ditenangkan oleh tetangga. Tak lama kemudian dokter pun keluar dari kamar lalu berbicara berdua dengan ibuk. Mereka berbicara pelan dan dokter terlihat menggeleng-gelengkan kepala. Tangis ibuk pecah tak tertahan begitu pula dengan mat mesipun tidak yakin dengan keaadaan saat itu namun yang mat yakini adalah dia tidak bisa lari pagi lagi dengan bapaknya. Dalam hati mat, dia sangat menyesal kenapa dia tak bisa lari lebih cepat. Mungkin, jika dia lari lebih cepat pasti bapak masih bisa tertolong. Anak kecil itu mengutuki dirinya sendiri dalam hati sambil menangis di dekapan ibuk. Gerimis turun perlahan seakan ikut berduka untuk keluarga ini.

6 tahun kemudian, Nampak seorang remaja berpakaian sekolah sedang duduk mengikat tali sepatunya yang butut, ya dialah mat yang kini sudah masuk dunia SMA. Dibelakangnya Nampak seorang wanita berumur 40-an yang sedang menyuapi seorang anak perempuan berambut Panjang dikepang dua. Ternyata saat itu ibuk sedang hamil muda saat ditinggal mati bapak. “buk berangkat dulu ya” kata mat sambil menyalami tangan ibuk. “ya lhe ati-ati” kata ibuk sambil mencium kening mat. “iwya mwas cwepwat pwulwang ya nwanti mwain lwagi swama jwah” kata adiknya manja dengan mulut penuh sehingga pipinya terlihat kembung. “yaya mandi dulu sana baunya loh” kata mat menggoda adiknya sambil mengibas-ngibaskan tangan didepan hidungnya seperti sedang menghilangkan bau tak sedap. “yee nggedabrus” ejek adiknya sambaing memonyongkan bibirnya. Mat tertawa sambil mengacak-acak rambut adiknya lalu berlari pergi.

Speaker sekolah berdenging, terdengar suara seorang guru memanggil beberapa nama siswa untuk berkumpul di kantor. Nama mat ikut dipanggil karena itu dia bergegas minta izin ke guru yang sedang mengajar di kelasnya untuk pergi ke kantor. Sesampainya di kantor mat melihat sahabat dekat mat yaitu bong sudah duduk di kursi. Pearawakan bong hampir mirip dengan mat dengan badan yang lebih besar. “sudah kumpul semua kan ya?” tanya pak mi guru olahraga dan pembina tim lari sekolah mat. “oke, jadi untuk kalian berdua bulan depan akan diadakan lomba lari tingkat nasional di kota provinsi. Jadi bapak ingin kalian selaku pelari andalan sekolah kita untuk bersiap-siap untuk lomba itu, rinciannya nanti bapak beri tahu untuk sekarang siapkan mental dan fisik” kata pak mi sambil menunjukkan pamflet lomba itu. “oke kalau kalian sudah paham kalian boleh pergi” kata pak mi. kemdian mereka pamit dan keluar dari kantor.

Jam istirahat tiba, mat sedang duduk di kantin sambil makan bekalnya. Tiba-tiba seseorang menepuk pundaknya yang membuatnya kaget hingga tersedak. Ternyata bong, “asem bong orang makan juga kau kagetin” kata mat sambil menepuk kesal bahu bong. “maaf lah, aku gak tau kamu lagi makan” kata bong seakan tidak berdosa sambil mengambil duduk di samping mat. “ he mat bulan depan pasti seru, nanti pasti banak pelari hebat di kota provinsi, jadi gak sabra aku” ungkap bong dengan mata berbinar-binar. Di kampung mat memang pelari tercepat tapi beda saat di sekolah, mat bahkan tidak bisa menyentuh punggung bong seklipun sejak SMP sampai sekarang. Meskipun demikian persahabatan mereka tetap dekat dengan canda tawa dan kompetisi kecil-kecilan yang kebanyaka nyeleneh. “yaya sabar dikitlah kan masih bulan depan, siap-siap aja belum kau” kata mat seolah sudah bosan dengan omongan bong. “yaelah masak kau gak ada rasa kayak deg-degan gitu?” kata bong sambil mencomot lauk mat. Mat seperti tak peduli kalau lau makannya diambil bong. Yang sedang mat perhatikan saat ini adalah beberapa anak yang sedang berbisik-bisik tentang dirinya. Mat memang berprestasi di sekolah, namun kebanyakan murid-murid lebih sering meremehkan mat dan mengatainya sebatas kebetulan. “menurutmu kita pantas ikut gak bong?” tanya mat lirih pada bong. “ha apa? Aku gak denger” kata bong dengan mulut penuh. “dahlah gak jadi. Heh bong kau makan semua bekal ku ?” kata mat kaget melihat bekalnya yang licin tak bersisa. “haha maaf lah, lapar banget aku” kata bong sambil memasang wajah tak berdosa.

Dua hari sebelum lomba, mat dan bong sudah berada di kota provinsi Bersama pak mi. mereka menginap di rumah kerabat pak mi yang kebetulan tinggal di kota provinsi. “nah kalian berdua sekarang istirahat dulu. Mau jalan-jalan ,beli-beli terserah kalian tapi jangan jauh-jauh. Ini juga sudah malam, Ingat lusa besok sudah hari H” kata pak mi lalu pergi meninggalkan mereka berdua. Selesai berbenah mat tiduran di Kasur sementara bong sedang sibuk mengacak-acak tasnya. Mat terlihat Lelah karena perjalanan berjam-jam dari kampung kesini. Mat hampir tertidur ketika bong menggoncang-goncang tubuhnya. “oe mat ayo makan, lapar aku” kata bong sambil memegangi perutnya yang kedengarannya sudah keroncongan. “kau makan sendiri aja aku ngantuk” kata mat sambil memendamkan wajahnya ke bantalnya. “yakin nih?” tanya bong. Mat mengacungan jempolnya, bong membuka pintu lalu membalikkan badan “bener yakin?” tanya bong lagi. Mat menjawab dengan erangan yang berarti mengiyakan. Bong keluar dan menutup pintu. Tak lama bong membuka pintu lagi dan menyembulkan kepalanya “yakin gak?” tanya bong lagi dengan nada menggoda. “ SUDAH PERGI SANA” kata mat kesal sambil melempar bantalnya. Terdengar dari luar bong tertawa terbahak-bahak. Suasana kamar yang sepi membuat mat cepat terlelap. Mat bermimpi bertemu dengan bapak. Wajah bapak terlihat berseri-seri. Mat berasa ingin menghambur dan memeluk bapak namun bapak melarang. Air mata mulai menetes dan mat sesenggukan. Bapak terlihat tersenyum “mat, bapak disini baik-baik saja disini jadi kau juga harus baik-baik disana. Mat kamu boleh bersedih, kamu boleh menangis tapi jangan melupakan tapak jejak mu mat. Meskipun orang-orang meremehkanmu biarlah tunjukkan pada mereka tapak jejak mu. Bapak akan selalu Bersama mu mat, selalu” kata bapak. Mat perlahhan terbangun dan menemukan bong sudah tidur tengkurap sambil mendengkur keras disampinnya. Waktu masih menunjuk angka 2 tapi entah kenapa mat tak bisa tidur, mengantuk pun tidak.

Tak terasa adzan shubuh sudah berkumandang saut-menyaut. Mat yang dari tadi tak bisa tidur berguling-guling karena kepalanya pusing. “oe bong ayo sholat, shubuh oe” kata mat sambil bangkit duduk. Tak mendengar jawaban dari bong, mat pun pergi keluar untuk sholat. Selepas sholat mat kembali ke kamar dengan tubuh menggigil karena dinginnya pagi. “oe bong, mau sampai kapan tidur? sholat oe” teriak maat sambil mengggosok-gosok tubuhnya saat melihat bong  yang terlihat masih berkemul selimut. “oe bong bangun” kata mat sambil menarik selimut bong. Mat terlonjak kaget, wajah bong terlihat pucat pasi. Ketika mat menyentuh badan bong terasa panas. “ oe bong kau kenapa? Bong..bong” seru mat panik. Mat lari keluar kamar dengan panik untuk memanggil pak mi. pak mi segera memeriksa kondisi bong lalu menelepon ambulan. Ketika ambulan datang, mereka segera membopong bong masuk ambulan lalu segera pergi ke rumah sakit. Bong masuk ICU, kata dokter dia kena tifus dan dipastikan tidak bisa ikut berlomba besok. Ingatan saat malam meninggalnya bapak tiba-tiba muncul di pikiran mat. “sudah-sudah, bong pasti baik-baik saja, sekarang kau tenangkan diri dan fokus saja dulu dengan lomba besok biar bong bapak yang temani” hibur pak mi pada mat. Namun dalam benak mat, dia benar-benar bingung tak karuan. Kini dialah satu-satunya andalan semua orang,dan melihat sohibnya sedang berbaring sakit tentu juga berat baginya. Pikiran-pikiran itu semakin membebani pikiran mat. Mat keluar dari ruangan bong dan duduk di bangku kolidor.  Mat sangat bingung apa yang harus dilakukannya dengan semua harapan yang ditujukan padanya. Tak lama berselang, seorang kakek-kakek berjalan ke arah mat. “nak boleh ae duduk disini?” tanya kaek itu dengan suara lirih. “oh iya kek silahkan “ kata mat mempersilahkan duduk dengan senyum yang sedikit dipaksakan. Si kakek duduk di sebelah mat, nafasnya terdengar berat mungkin karena factor usianya. “kanapa wajah kau murung begitu ? kakek lihat dari tadi kau duduk bermuram saja, ada apa?” tanya kakek itu membuka pembicaraan. “saya sedang bingung kek, besok saya ikut lomba lari di stadion. Tapi teman saya yang seharusnya ikut dengan saya tiba-tiba jatuh sakit. Jadi semua orang berharap pada saya untuk memenangi lomba besok tapi saya tidak yakin apa saya bisa” ujar mat pada kakek itu sambil meremas tangannya sendiri. Kakek memegang tangan mat, mat melihat perlahan padda kakek itu. Terlihat olehnya jelas guratan-guratan diwajah kakek yang terukir kejam oleh waktu, tapi yang membuatnya sedikit tenang adalah senyum di wajah tua itu. “nak, kalau kau ragu untuk memenuhi segala harapan orang-orang pikirkanlah nanti. Jangan hanya berjuang untuk orang lain, berjuanglah untuk dirimu sendiri. Jika kau masih ragu ingatlah tentang tapak jejak mu, segala yang kau persembahan untuk momen ini, semua keringat dan darah yang kau teteskan. Apapun hasilnya, setidaknya kau sudah berjuang untuk dirimu sendiri dan tapak jejak mu” ujar kakek sambil menenangkan mat. Mat mengingat kata-kata yang dulu pernah dikatakan oleh ayahnya. Senyum mulai terukir diwajah mat. “makasih kek” kata mat sambil menyalimi tangan kakek. “ngomong-ngomong kakek ini siapa?” tanaya mat yang baru menyadari kalau dia belum kenal dengan kakek ini. Kakek  hanya tersenyum menunjukkan barisan giginya yang sudah tidak lengkap.

Keesokan harinya, Stadion penuh dengan hiruk pikuk manusia yang sedang sibuk dengan tugasnya masing-masing. Para penonton memenuhi seluruh sisi. Melihat keramaian ini membuat mat canggung lagi, namun dia sudah memutuskan untuk melakukannya. Semua peserta mengambil posisi di garis awal. Suasana yang tadinya riuh kini terasa hening dan tegang. “satu..” wasit mulai menghitung, “dua…” belum juga lari tapi keringat mat sudah mengucur deras. “dorr” tanda dimulainya lomba, penonton kembali riuh meneriaki jagoannya. Semua peserta mulai berlari, mat merasa dunia di sekitarnya sedang berputar sehingga dia tertinggal. Keraguan-keraguan muncul kembali dibenaknya. Lalu wajah bapak teringat lagi oleh mat. Mat mulai berlari dengan mantap, makin cepat, makin cepat satu persatu peserta lain dilaluinya. Penonton bertambah riuh menonton persaingan yang memanas. Putaran terakhir, mat kini bersaing ketat dengan peserta lain mendekati garis akhir. Tidak ada satu pun yang ingin mengalah, keringat mereka mengucur deras dengan hentakan kaki yang menggebu-gebu. Sayang dengan perbedaan tipis, mat diposisi kedua. Mat terlihat membunguk bertumpu pada lutut dengan nafas yang masih terengah-engah. Sial..sial…aku tidak bisa menang sial teriak keras mat dalam batinnya. Tak terasa air mata mat mulai menetes. Pak mi menepuk pelan pundak mat,“sudahlah mat, yang penting kau kan sudah berusaha. Lagipula lihatlah” kata pak mi menunjuk ke arah salah satu bangku penonton. Terlihat bong melambaikan tangan ke arah mat. “wah tadi itu nyaris mat” kata bong sambil menepuk-nepuk punggung mat dan berjalan keluar stadion. “ngomong-ngomong kau kenapa bisa sampai sini? kau kan baru kena tifus” tanya mat dengan penasaran. “hm itu toh, tadi pagi kata dokter tubuhku sudah membaik dan boleh langsung pulang jadi dari rumah sakit aku langsung kesini meskipun gak bisa ikut lomba” ujar bong dengan nada kecewa. Dalam batinnnya, mat terheran-heran mana ada orang yang bisa langsung ngelawa seperti ini padahal sehari kemarin kena tifus. “oe mat ngomong-ngomong kaki mu berdarah tuh” kata bong sambil menunjuk luka pada kaki mat setelah melepas sepatunya. “gak papa” kata mat dengan senyum diwajah. Mat berkata dalam batinnya, karena ini adalah sesuatu yang penting bagiku, inilah bukti tapak jejakku,bukan begitu pak?.

Penulis : Zie

Editor : CAN