Noor Ifada, S.T., MISD., biasa dipanggil Bu Noor. Beliau adalah seorang dosen pengajar di Program Studi Teknik Informatika Fakultas Teknik Universitas Trunojoyo Madura (FT-UTM). Lahir di Kabupaten Nganjuk pada tanggal 17 Maret tahun 1978.

Bu Noor memiliki riwayat pendidikan studi S1 di ITS (Institut Teknologi Sepuluh November-Indonesia), Studi S2 di HAN University (Belanda), dan Studi S3 di QUT (Queensland University of Technology-Australia). Alasan Bu Noor memilih negara-negara tersebut, karena Australia merupakan negara non-asia yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa resmi, dan lokasinya berdekatan dengan Indonesia.

Bu Noor melanjutkan studi hingga ke jenjang S3, karena menurut beliau merupakan suatu kewajiban sebagai dosen untuk melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi. Saat ini memang kualifikasi akademik minimal bagi dosen yang mengajar S1, adalah dosen dengan jenjang pendidikan minimal S2. Namun, berikutnya kualifikasi ini akan ditingkatkan menjadi jenjang S3.

Dosen yang berasal dari Kabupaten Nganjuk ini memilih studi di luar negeri karena ingin membuka wawasan yang lebih luas.

”Memang banyak Perguruan Tinggi di Indonesia yang menyelenggarakan pendidikan S3 dengan kualitas yang bagus, contoh : ITB, UI, ITS, UGM. Namun bagaimana pun kulturnya akan tetap sama yaitu Kultur Asia,” pernyataan Bu Noor.

Bu Noor mempunyai tujuan melanjutkan studi bukan hanya untuk mendapat ilmu dan gelar. Namun, juga mempelajari dan mengadaptasi Kultur non-Asia yang memiliki kecenderungan budaya dan etos kerja yang lebih bagus.

Sebagai mahasiswa, Bu Noor melanjutkan pendidikannya dengan menggunakan beasiswa dari Pemerintah Indonesia (beasiswa Dikti). Namun, disamping mendapatkan dukungan finansial beasiswa, beliau juga mendapat dukungan finansial dari Kampusnya di Australia. Sebab, Bu Noor berusaha berperan aktif dalam berbagai kegiatan yang umum dilakukan oleh dosen-dosen di kampusnya.

Disisi lain, Bu Noor juga berupaya untuk tetap melaksanakan TRIDARMA Perguruan Tinggi di Kampus Australia. Kegiatan tersebut seperti melaksanakan pengajaran untuk mahasiswa S1 dan S2, penelitian sesuai dengan tugasnya sebagai mahasiswa S3 di Australia, dan pengabdian dengan menyelenggarakan workshop bagi siswa sekolah di daerah pinggiran yang ada sekitar kampus. Bu Noor memang tidak haya berfokus pada studinya saja, namun membaur sebisa mungkin dengan kegiatan akademik dan administratif di kampusnya.

Selain berbagai kegiatan akademik yang diperoleh, tentunya wawasan mengenai keberagaman manusia adalah sebuah bonus yang luar biasa. Seperti, tapak jejak pendidikan Bu Noor di QUT Australia, yang mampu membuka wawasan mengenai keberagaman manusia seperti kultur yang berbeda.

Setelah lulus S2 di belanda, Bu Noor sempat kembali mengunjungi negara kincir angin tersebut. Tujuan utumanya adalah melakukan short-course selama beberapa bulan di kampus yang berbeda dengan studi S2 nya. Lagi-lagi, dari kesempatannya itu menambah pengalaman dan wawasan Bu Noor. Semakin banyak orang dari berbagai negara yang beliau jumpai, kedisiplinan yang semakin terpupuk, dan memahami bagaimana cara kerja setiap kampus yang berbeda-beda.

Berangkat dari segudang pengalaman tersebut, Bu Noor turut menerapkan kedisiplinan belajar kepada mahasiswa-mahasiswa di Teknik Informatika FT-UTM. Namun, terkadang hal ini disalahartikan sehingga menjadikan image Bu Noor sebagai dosen killer. Menjadi dosen FT-UTM yang terkenal killer, Bu Noor tidak heran dan tidak mempermasalahkan akan stigma itu. Dikarenakan sudut pandang antar manusia berbeda, ada yang tidak dapat membedakan antara disiplin dengan killer.

“Maka saya bilang no problem dengan dosen killer, saya berusaha profesional dan menghargai mereka, tetapi bagi yang tidak dapat mengikuti cara kerja yang teratur dan disiplin, tentunya akan menjadi problem bagi mahasiswa yang bersangkutan. Karena didikan Belanda saya menjadi kental untuk masalah disiplin dan open,” ucap Bu Noor.

Awal mengajar di UTM Bu Noor, sempat mengalami shock culture, karena perbedaan yang mencolok antara mahasiswa ITS dan UTM. “Yang paling mencolok itu adalah raw material (kualitas mahasiswa), pola pikir, dan disiplin. Namun seiiring berjalannya waktu, kualitas mahasiswa meningkat, disamping saya juga selalu ingin belajar bagaimana menjadi dosen,” ujar Bu Noor.

Bu Noor cenderung tidak nyaman dengan kultur yang penuh dengan subyektifitas, jam karet, dan tidak teratur. Karena setiap orang pasti memiliki kehidupan yang berbeda-beda dan pantas untuk dihargai. ”Menurut saya hal yang paling simple adalah menghargai waktu orang lain. Dan saya tidak dapat berharap orang lain menghargai waktu saya, jika saya tidak berusaha sebisa mungkin menghargai waktu mereka. Namun, hal yang simple ini seringkali menjadi masalah bagi mahasiswa, karena pada prinsipnya beberapa mahasiswa cenderung belum mampu untuk menghargai waktu.” Ujar Bu Noor.

Setiap mengajar beliau selalu berusaha mengajarkan supaya mengungkapkan pendapatnya berdasarkan pemahamannya saat itu, bebas bertanya apapun mengenai perkuliahan, karena beliau percaya There Is No Stupid Question. Tujuan utama Bu Noor adalah menjadikan mahasiswanya percaya diri. Bahkan, beliau memahami kemampuan setiap mahasiswanya itu berbeda-beda. Waktu yang dibutuhkan oleh setiap mahasiswa untuk memahami yang sesuai pun juga berbeda-beda.

“Jika mereka percaya diri dan yakin bahwa mereka mampu, maka hal inilah yang akan membuat mereka berkembang dan memiliki daya saing dan daya juang dalam memahami sesuatu.” Ucap Bu Noor.

Dari segi fasilitas, karena histori tempat studi, maka tentu saja beliau menilai bahwa fasilitas di FT-UTM kalah jauh dan kurang memadai. Namun, jika dibandingkan dengan momen  ketika pertama kali mengajar di FT (tahun 2003), maka fasilitas yang ada pada saat ini sudah lebih baik dari sebelumnya. Menurut beliau fasilitas yang paling menggangu adalah LCD proyektor di ruang perkuliahan, yang tidak dipersiapkan dengan baik sehingga mengganggu jalannya perkuliahan. Selanjutnya adalah fasilitas AC di lab yang tidak memadai (banyak yang mati), sehingga lab terasa panas. Seharusnya lab adalah pendukung utama bagi FT. Bahkan sampai ada beberapa dosen lainnya yang mengeluarkan dana pribadi untuk memberikan fasilitas AC bagi lab.

Dari sisi birokrasi, jika dibandingkan dengan pengalaman studi di LN, tentunya birokrasi di kampus Indonesia penuh dengan tantangan. Bahkan jika dibandingkan dengan ITS, birokrasi di UTM lumayan lebih menantang. Dari segi akademik secara umum, mahasiswa di UTM memang terlihat kalah dengan mahasiswa-mahasiswa ditempat studi beliau sebelumnya. Namun, jika dilihat dengan seksama, kualitas mahasiswa di UTM juga bagus, bahkan ada yang melebihi kampus yang lebih ternama. Beliau melihat lebih kepada kurangnya daya juang, daya saing, percaya diri, dan dukungan dari kampus untuk memotivasi mahasiswa.

Dari segi non-akademik, mahasiswa UTM cukup aktif. Tetapi sama halnya dengan segi akademiknya, perlu motivasi lebih membuka wawasan untuk meningkatkan daya juang, daya saing, dan percaya diri.

Penulis : NA, O

Editor : CAN, Red