Saat itu februari, dan rembulan diangkasa sedang menyabit dengan sudut sembilan puluh derajatnya. Serta hujan yang turun dengan begitu indahnya, seolah menutupi ratapan kesedihan diantara kita. Juga tetes air mata yang jika tiada bias air hujan itu sangat nyata adanya. Tiada salam perpisahan atau pelukan serta kecupan manja saat itu. Bagaimana mungkin ada, toh kereta ini ialah kereta terakhir untuk menuju kota provinsi tempatku menuntut ilmu beberapa tahun kemudian. Oleh sebabnya aku merutuki stasiun ataupun tempat-tempat yang menjadi pemisah banyak insan lainnya.

Titik pertemuan pertama kita, kita habiskan untuk menikmati keindahan bentangan permadani semesta yang sangat alami adanya. Kau tampak begitu gagah dengan celana jeans kedodoranmu. Juga rambut yang nampak sedikit lebih panjang dari kodrat orang kebanyakan, tampak sedikit lebih mirip dengan sarang burung walet pada gua-gua tua di tengah hutan sana. Temanmu bukan satria baja berwarna kuning melainkan sepeda angin bermesin sama seperti orang kebanyakan. Aku tak masalah, asal bersamamu saja aku sudah sangat bahagia.

Saat itu, untuk pertama kalinya aku menjadi sedikit lebih banyak berbicara dari biasanya. Sementara kau juga tampak lebih banyak berbicara tentang apapun itu. Termasuk tentang jalan setapak menuju rumahmu bahkan juga tentang kehidupan petani-petani sayur yang ada di daerahmu. Juga Tentang deretan bukit hijau, birunya lembah sungai, serta tentang kehidupan kera yang masih lestari di alammu.

“Woy, heem gitu ye gua di cuekin karena udah lihat pemandangan.”

“Hehe sorry dah.”

“Suka banget ya, lihat tuh, mata lu langsung ijo lihat pemandangan.”

“Suka lah, mana mungkin gua nggak suka sama apa yang disajikan semesta untuk manusia.”

“Makanya lu pindah kuliah di sini aja, biar tiap hari bisa lihat pemandangan. Terlebih lagi lu bisa tiap hari ketemu dan jalan bareng gua.”

“Gombal lu,”

Begitulah perangai kami. Selalu bertengkar karena hal-hal kecil. Tetapi terkadang juga selalu bermesra-mesra tanpa adanya suatu alasan dan tentunya tanpa adanya suatu ikatan. Dia adalah Muh. Izzul, akrab di sapa Izzul atau Bang Zul. Tapi aku lebih suka memanggilnya “Alarm” kenapa ? karena dia selalu cerewet dalam mengingatkan ku tentang segala hal. Mulai dari makan, mandi, minum, nyuci bahkan memotong kuku sekalipun.

Setelah hari itu, tersisa genangan rindu yang teronggok di sudut jendela kamarku. Tersisa pula ucapan-ucapan rindu yang hanya bisa terungkap lewat media sosial WhatsApp atau yang semacamnya. Bagaimana mungkin aku tidak merasakan rindu, di saat kau telah rapi menyusun kenangan-kenangan indah di bawah senja dan hujan. Saat kau terpaksa tersenyum untuk sekedar menenangkanku, saat kau terpaksa tegar untuk sekedar menguatkanku. Bagaimana aku tidak membenci stasiun, di saat dia berhasil merenggut tanganmu dalam genngamanku. Ah sudahlah, aku hanya pergi sebentar, untuk sekedar meraih cita-cita. Tolong setialah Tuan, kelak aku akan kembali pulang dalam pelukanmu.

Setibanya di rantau, tiada tujuan lain selain seseorang itu. Seseorang yang berhasil membuat Izul sang “alarm” kesayanganku itu cemburu. Siapa lagi kalau bukan Mas Muhan, kakak kelas dua tingkat diatasku. Seseorang yang menjadi alasan sebenarnya untukku merantau ke ranah antah berantah ini. Mas Muhan pula yang menjadikan aku sastrawan gadungan dengan berbagai macam puisi-puisi picisan.

“Woy Ta, “

“Hay Mas.”

Begitulah awal mula pertemuan ku dengan Mas Muhan. Ya begitulah Mas Muhan memanggilku. Hanya dua huruf dari lima huruf yang disematkan oleh kedua orangtuaku tujuhbelas tahun silam. Anita, itu nama lengkapku. Dipanggil Ta oleh Mas Muhan, dipanggil Nitcil oleh Izul. Katanya Nitcil ialah singkatan dari Anita Kecil. Izul memang alay.

“Hello Anita, kenapa bengong ?.”

“Eh, nggak papa Mas.”

“Ta, em…”

“Kenapa Mas ?.”

“Maaf ya kamu harus naik angkot.”

“Nggak papa atuh Mas.”

Sejak saat itu aku tau kalau Mas Muhan tidak bisa mengendarai sepeda motor merk apapun.

“Tau nggak kenapa aku ngajak kamu naik kendaraan umum ?.”

“Emm… Karena murah, kan Mas anak kos hehe.”

“Karena kalau naik angkot aku bisa membaca buku dan bonusnya aku bisa memandang wajahmu.”

“Apaan sih Mas.”

Hawa hangat yang tadinya memenuhi ruang udara angkot seolah-olah berpindah  memenuhi hati lalu mengalir hebat dalam pikiran dan tanpa kusadari membuat pipiku meranum dan memerah bak buah tomat yang baru masak.

Rembulan telah beberapa kali menyabit untuk kemudian menjadi purnama atau yang semacamnya. Tanpa terasa diriku telah berada di ujung perantauan dalam rangka menuntut ilmu ini. Tanpa terasa pula kisah yang terjalin indah sejak awal perantauan ini perlahan usang bahkan hilang, seiring dengan menuanya semester yang telah terjalani.

Hari ini, tepat empat tahun aku menuntut ilmu. Pakaian hitam kedodoran tampak indah mewarnai gedung pertemuan bersamaan dengan riasan yang mewarnai wajah polosku. Bukan lagi Mas Muhan yang menemani diriku, melainkan pria yang dengan setia menemaniku sejak pertama bertemu. Dialah sang “alarm” bagiku. Pertemuan yang hannya satu kali itu seolah-olah tiada berarti apa-apa bagi kita. Tepat hari ini pula, Bang Zul untuk kedua kalinya mengajakku menikmati senja.

“Woy Cil, bagusan senja di tempatku atau di ranah rantau ini ?.”

“Emm… sama-sama indah sih Bang.”

“Senja memang indah, terlebih lagi apabila senja bisa ternikmati bersama fajar sekalipun.”

“Kalau senja ternikmati bersama fajar kiamat dong Bang.”

“Dih, udah sarjana masih aja lemot lu.”

“Ya maaf lah Bang.”

“Senja dan fajar memang mustahil bersama, namun keduanya sangat indah meski rinai hujan datang menghiasinya. Rintik hujan dan bias hujan setelah kepergianmu ialah bait-bait rindu di dalam qolbu. Berdamailah dengan stasiun dan pelabuhan Cil, karena tanpa adanya tempat-tempat tersebut mustahil kita bisa bertemu untuk kemudian menikmati senja bersama.”

Saat itu ialah senja yang terlewati di pelabuhan kecil dekat kampusku. Senja yang dingin karena bias rinai hujan yang datang bersamanya. Namun juga senja yang sempurna bersama seseorang yang akan menyempurnakan semestaku kedepannya. Sejak saat itu, tiada lagi kebencian kepada stasiun, bandara atau yang semacamnya. Tersisa kenangan hangat tiap kali bias hujan datang menghampiri semesta.

Penulis            : Yep

Ilustrator       : Zal