Pada suatu kitab usang telah tersirat. Sebuah nasihat untuk umat serta mereka yang belum memutuskan bertaubat, “Tangan diatas lebih baik daripada tangan dibawah”.

Aksara pada kitab tersebut, seolah menjadi pedoman bagi orang-orang dengan segebok uang. Sementara kaum rendahan, dengan alas daun pisang untuk makan. Hanya bisa menatap sinis disertai hati yang teriris.

Kita seolah diam membisu. Melihat wajah-wajah kaum ber-uang menjabat tangan kaum alas daun pisang. Memberikan butir-butir padi atau yang semacamnya. Semuanya terangkum manis dalam VCD milik perusahaan telekomunikasi atau terekam manis pada gawai canggih di muka bumi.

“Bukankah yang demikian itu tidak pantas menghiasi layar televisi?” Lantas, kenapa kuli tinta dan pengais berita masih saja mau memutar lensa. Apakah salam tempel telah merajalela dalam dunia mereka?

Bukankah, definisi ikhlas adalah sebagaimana berikut :

  1. Ikhlas memberi tidak harus terpampang dalam layar televisi dan berita koran harian.
  2. Ikhlas memberi selayaknya tangan kanan, yang tidak mengetahui apa yang dilakukan tangan kiri. Juga selayaknya kita buang hajat, hingga kita tidak pernah memikirkan seberapa besar hajat yang telah kita keluarkan.

Dunia yang telah mencapai abad-20 ini. Sangat berbeda dengan zaman Nabi. Dunia yang bisa dikatakan zaman akhir yang telah mendekati kiamat. Dimana wajah dalam layar kotak televisi memiliki kebanggaan tersendiri. Hingga rela orang-orang yang menginginkannya menghalalkan semuanya demi meraihnya.

Hanya demi “Terpampang pada layar televisi semata” Hanya demi “Memanen puja-puji dari sesama manusia” Hanya demi “Mahsyur dihadapan sang mertua”.

Penghuni tetap bumi suatu ketika pernah saling berbincang ria. Membicarakan wajah-wajah dalam televisi cembung mereka masing-masing.

Mengaitkan semua yang telah dilakukan orang-orang ber-uang tersebut, dengan ceramah yang rutin mereka dengar. Tetapi mereka, hanya bisa melakukan itu. Orang-orang di televisi cembung itu hanya penghuni tetap bumi, yang memiliki nasib lebih beruntung satu tingkat diatas kaum alas daun pisang. Tanpa bisa berbagi kepada mereka, dengan embel-embel kata ikhlas. Mereka tidak bisa berbagi. Walaupun dengan iming-iming wajah terpampang pada layar televisi. Mereka tidak bisa berbagi.

Ya, penghuni tetap bumi suatu ketika pernah saling berguman. Membicarakan perkara umat yang semakin pencitraan. Tentang, alas daun pisang atau lembaran uang pun dengan rekam media yang ada dimana-mana.

“Bukankah, kita dan mereka adalah sama? Sama-sama hanya memiliki kasta sebagai penduduk bumi”.