Mataku berkedip, membawa kesadaranku kembali ketika terdengar dering telepon di meja samping kasur. Sekilas layar handphone itu menampilkan nama seseorang yang telah lama menjadi kekasihku,  terdengar nada tinggi suara seorang lelaki Ketika panggilan tersebut kuangkat , “KEMANA AJA LO, HAH? DARI TADI DI TELEPON GA DIANGKAT, CHAT GUA GAK LU BALES. UDAH BERANI NYUEKIN GUE YA, NGERASA PALING PENTING BANGET JADI CEWE. TAU GA, GAK ADA YANG MAU SAMA LO KECUALI GUE. AWAS LO GA BALES CHAT GUE LAGI, MAMPUS LU!” Setelah puas marah-marah seperti itu, kututup panggilan. Setelah makian itu keluar, diam dan menghela napas panjang, dadaku sesak karena sakit oleh kata-kata yang terlontar dari lelaki itu.

Namaku Yumna dan laki-laki yang menelepon tadi ialah Bastian. Kami sepasang kekasih yang sudah 2 tahun menjalin hubungan. Kedekatan kami dimulai ketika aku mengikuti sebuah organisasi ARLETIK yang berkecimpung di dunia olahraga. Bastian sebagai senior organisasi yang cukup dihormati oleh anggotanya, karena menjabat wakil ketua umum yang banyak menyandang prestasi dan membawa banyak penghargaan untuk organisasi ini. Sebagai mahasiwa yang ingin terjun di dunia yang sama, aku menghadiri pertemuan perdana organisasi itu, disitulah hubungan kami mulai dekat.

Bastian berpidato di atas podium, kharisma menguar secara perlahan dari dalam dirinnya. Kewibawaan yang dibawanya saat berbicara di depan umum, membuatku pesona. Lalu, ku ambil tindakan berani yaitu mendekatkan diri pada lelaki itu untuk berkenalan. Bertukar nomor dan saling berbalas pesan manis membawa hubungan kami menjadi lebih hangat, serta pertemuan kecil yang serasa ada  kupu-kupu berterbangan di atas perutku. Aku merasa hubungan ini memiliki maksud lain, aku tidak keberatan dan suka-suka saja dengan Bastian, karena dari awal sudah terpesona oleh dirinya. Kami memutuskan meresmikan hubungan kami.

Saat awal kami menjadi sepasang kekasih, aku merasa diayomi dan disayangi oleh Bastian. Sangat terlena dengan sifat dewasanya yang merangkulku dalam keadaan apapun ketika senang ataupun sedih, membuatku merasa menjadi wanita paling beruntung. Ada sosok ayah yang kuimpikan pada dirinya, menjadikan kami  sangat bergantung satu sama lain. Teman pun, aku tidak begitu akrab. Karena, dengan adanya Bastian pun sudah cukup untukku.

Tahun pertama hubungan kami berjalan dengan semestinya. Namun, seiring berjalannya waktu terasa ada yang berbeda dengan Bastian, ia lebih posesif dan emosian. Penyebab hal ini terjadi, karena adanya perang dingin dengan ayahnya yang berlangsung sejak orang tuanya bercerai. Menjadikan ia bernasib sial, dirawat sang ayah yang berwatak keras. Ditambah lagi beliau kecewa karena Bastian tidak fokus kuliah. Ia malah membuang-buang waktu untuk organisasi yang dianggap tidak membawa dampak positif.

Jika aku mengutarakan pendapat maka, Bastian selalu meremehkan hal itu. Teringat perdebatan kecil dengan Bastian, soal keinginanku hangout bersama temanku “Kak, aku besok mau keluar ya sama Juwita. Dia mau nikah dan kangen kumpul sama temen-temen,  aku juga sudah lama tidak kumpul bareng Juwita juga” ungkapku. Bastian pun menjawab “Aku besok ada jadwal latihan futsal, gak mau nemenin aku?” Nada Bastian mulai mengintimidasi. Aku baru pertama kali melihat itu “Tapi, aku juga pengen kumpul sama juwita kak, ini momen terakhir aku ngumpul sama dia sebelum dia jadi istri orang,” mohonku pada Bastian. “Dia cuman nikah, gak akan ninggalin kamu kemana-mana juga, kalo kamu tetep pilih dia aku anggep kamu emang ga butuh aku lagi,” Bastian melontar dengan marah lalu pergi begitu saja, meninggalkan diriku dalam hening. Lalu, perubahan berikutnya terjadi ketika aku akan ikut berpartisipasi menjadi panitia di sebuah acara pada prodi kuliahku, “Gue udah frustasi sama skripsi gue dan butuh seseorang, lo malah mau ninggalin gue dengan kesibukkan lo mau jadi panitia, lo tu emang ga sayang ama gue, lo udah berubah Yum,” kata Bastian dengan marah. Aku membuka suara “Gak gitu, aku cuma pengen lebih banyak kenal temen sebayaku aja, toh bisa nambah relasi juga, kalo kakak nyadar aku tuh ga  bener bener punya temen sebaya!” Dahinya mengernyit dan terlihat kesal, “Ada aku yang selalu ada buat kamu, apa itu kurang? Kamu udah dewasa lo makin banyak teman makin buruk buat kamu asal kamu tau, ga semua orang tuh sayang sama kamu ngelebihn sayangnya aku ke kamu Yum,” bentaknya. Dilanjut dengan celotehan Bastian, yang pada dasarnya hanya Bastian yang bisa menerima dan paling sayang padaku. Tidak ada yang bisa menerimaku setulus Bastian. Lalu, dengan gampang hatiku luluh dan lebih menuruti kata Bastian agar tidak mengikuti kepanitiaan.

Setelah beberapa bulan pun Bastian tidak menunjukan sikap yang lebih baik, malah semakin menjadi-jadi. Aku memang selalu menemani Bastian ketika ia meminta. Jika diriku berinisiatif untuk menemani tanpa diminta, dia akan marah. Keputusan Bastian adalah hal mutlak dalam hubungan kami saat ini. Aku masih bertahan dalam hubungan ini, tetapi terkadang hatiku sangat kesal dan marah dengan dirinya saat ia tidak mau mendengar pendapatku. Lalu,  akan luluh jika Bastian mulai memberi perhatian lagi atau minta maaf bukan karena merasa bersalah, tetapi agar diriku tidak marah saja. Aku menjadi merasa tertekan dengan Bastian, agar kepala tidak penuh kuputuskan untuk bercerita pada teman lama, ia bernama lisa. Saat kami bertemu, aku mengeluarkan keluh kesah yang selama ini terpendam, “Menurut gue lo udah di tahap hubungan yang ga sehat yum lo harus ngomong ke cowok lo, gabisa gini selamanya, orang yang memiliki hubungan tidak sehat cenderung tidak menyadari bahwa hubunganya udah rusak dan tetap mempertahankan hubungan tersebut, toxic relationship kebanyakan berumur panjang. Kalo lo gamau lama lama mental lo yang kena, lo bakalan ga bisa lepas dari Bastian, dan Bastian ga bakal nyadar kalo sikapnya selama ini nyakitin lo kalo lo ga ngomong, Yumna,” nasihat lisa padaku.

Setelah pertemuan dengan Lisa, otakku memutar nasihat lisa sepanjang hari. Merenung dan memikirkan kejadian lalu-lalu yang berhubungan dengan Bastian, serta aku yang tidak punya teman, bagaimana dari awal diri ini memang secara perlahan bergantung pada Bastian. Aku membulatkan tekad untuk berbicara dengan Bastian, membuka ponsel, lalu menghubunginya, satu dua kali tidak diangkat, tumben pikirku. Lalu pada dering selanjutnya terdengar sambungan dan suara musik yang kencang “Kamu dimana kak” ucapku membuka suara “Menurutmu aku dimana?” kata Bastian sambil cekikikan, aku sadar bahwa Bastian sekarang mabuk, telepon ku tutup dan bergegas ke club yang sering didatangi Bastian. Sesampainya disana, benar saja Bastian sudah keluar dari club dengan dibopong oleh temannya, kakiku berjalan dengan pelan menghampiri Bastian “Boleh aku berbicara dengan Bastian sebentar”ucapku. Temannya membopong Bastian ke tempat duduk dekat parkir mobil “Kak ini aku,” kata Yumna, Bastian mendongak dan “Ah sayangku, Yumna-ku, kamu sudah datang sayang,” tatapan Bastian menyiratkan bahwa ia sedikit sadar “Kakak kenapa gini, dengan kamu mabuk, malah ngerusak diri kamu sendiri kak, kakak selalu ngasih alasan kenapa kakak sering  ngelarang hal-hal yang menurutku kakak buruk buat aku tanpa mempertimbangkan pendapatku, aku ngerasa tidak ada keadilan dalam hubungan ini karena salah satu pihak mendominasi” tegasku sambil  berdiri. capek dan merasa tertekan, saat melihat ia dengan seenaknya pergi ke Club tanpa sepengetahuanku. Bastian menatap dengan raut datar lalu “Terus mau lo apa, gua lagi pusing” kata Bastian sambil membuang muka, itu menyulut api amarahku karena merasa disepelekan olehnya “ LO TAU GAK SLAMA INI GUE TERSIKSA PUNYA HUBUNGAN KAYAK GINI SAMA LO , GUA CUMAN BISA MARAH SENDIRI, SAKIT HATI SENDIRI, NANGIS SENDIRI CUMAN KARNA SIKAP LO YANG GA TAU DIRI” aku murka, Bastian masih diam dengan raut lempengnya lalu dengan enteng “Berisik” kata Bastian menanggapi. Lalu Bastian melengos, hendak pergi sebelum di tahan oleh Yumna “Kamu tuh kenapa ga pernah dengerin aku sih,” tangisku sambil menahan tangan Bastian. Lalu tanpa belas kasihan, Bastian mendorongku kasar sampai jatuh ke belakang “Cewek sialan, mulut lo berisik banget,” umpatnya.  Lalu Bastian melangkah masuk ke dalam mobil temannya dan meninggalkanku sendirian dengan tangisan keterpurukan.

Keesokannya aku mengurung diri di dalam kamar sendirian. Bastian secara beruntun menghubungi, tak satupun panggilan darinya yang ku angkat. Bastian sempat mengampiri dan memohon belas kasihanku. Tetap tidak bereaksi. Memang sengaja ku abaikannya, aku merasa dibuang dan merasa harga diri telah diinjak-injak dan tidak berharga karena kejadian kemarin. Tangisan tak pernah luput dari wajahku sepanjang hari itu, larut dalam kesedihan, keterpurukan, dan kesendirianku. Aku mulai mengerti bahwa tidak selamanya aku dapat menghindarinya.  memutuskan hubungan  memang itu yang terbaik bagi kami.

Setelah menenangkan diri, aku memutuskan untuk menghubungi Bastian pertama kali semenjak pertengkaran kami dan meminta untuk bertatap muka. Dari nada Bastian, terdengar ia  senang tak terkira. Aku bisa menyimpulkan bahwa Bastian akan memohon maaf dan belas kasih agar kami kembali. Tetapi aku mencoba meneguhkan hati bahwa mengambil keputusan untuk berpisah ialah yang terbaik bagi kami.

Memasuki kafe sembari melihat sekitar, apakah ada tempat yang setidaknya menjauhkan  aku  dan Bastian dari kerumunan orang-orang, karena takut nantinya Bastian mengamuk lagi. Saat bastian memasuki radar penglihatanku, seketika diri ini panik karena belum mengecek wajahku yang terlihat suram dengan mata bengkak, hitam dan pucat. Tetapi bastian lebih dulu mendekat, wajahnya mengernyit. Ada perasaan bersalah setelah memandang wajahku.

Bastian duduk didepanku dan kami terjebak keheningan yang singkat. Lalu dibuka dengan permintaan maafnya sembari menjelaskan padaku bahwa dia mabuk hari itu dan tidak sadar melakukan hal itu. Setelahnya, keheningan menyelimuti kami, lalu aku perlahan mengangkat bibir mengisyaratkan  senyum palsu “penjelasan kakak bagaikan air kotor yang menyirami wajahku, tidak membersihan kotoran yang ada , malah menambah kotoran itu, aku merasa kejadian kemarin emang jadi pertanda bahwa hubungan kita memang tidak sehat, aku capek harus nurutin perkataan kakak, memenuhi ekspetasi kakak, dan selalu menuntut agar dingertiin , sedangkan sebaliknya kakak ga pernah ngertiin aku , gak pernah dengerin pendapatku , dan ngelarang ini itu, aku tertekan aku ngerasa gak bebas, aku merasa sendirian kalo gak ada kakak, aku banyak makan hati yang malah membuatku jadi bukan diriku sendiri. Aku gak bisa gini kak, aku butuh lepas dari fase yang menyakitkan ini. Jika emang kakak sayang sama aku , coba liat aku sekarang, dari wajahku adakah kebahagiaan yang terpancar? Adakah kesenangan yang ku perlihatkan? Jawabanya gak ada kak , karena aku sendiri udah ngerasa aku kehilangan diriku yang dulu, ketika masih ada setitik kebahagiaan, maka dari itu mohon agar kita berpisah dan saling menyembuhkan satu sama lain, aku mohon” ucapku panjang lebar dengan derai airmata yang  lancar mengalir di wajah. Mau tidak mau Bastian setuju dan akhirnya kami berpisah.

Hari-hari terlewati dengan diriku yang mulai bangkit perlahan-lahan, mulai mendekatkan diri pada teman-teman kelas. Memang tidak semua terbuka tapi masih ada yang mau berteman denganku meskipun terkesan mendadak untuk mendekat. Aku mulai menemukan kebebasan dan mengikuti apapun kegiatan yang baik. Aku sadar dengan sesederhana punya teman dan bisa bebas, membuatku bahagia dan perlahan menjadi diriku sendiri. Setiap kali  tidak sengaja berpapasan dengan Bastian di kampus, ia hanya melihatku dengan raut sendu. Aku menerka, mungkin saja Bastian telah menyesal karena berpisah dariku. Tetapi, diriku tidak mau mengambil keputusan yang salah lagi dengan Kembali ke pelukannya. Sudah nyaman dengan hidupku yang sekarang. Aku ingin lebih mencintai diriku sendiri dari pada memilih menggantungkan kebahagiaan pada orang lain. (Seahorse)