Menjadi seorang anak bungsu merupakan sebuah beban tersendiri bagiku. Dimana secara tidak langsung aku menjadi tulang punggung keluarga, ketika kedua sulungku menikah. Hidupku semakin kacau dan antah berantah, terutama ketika bapak pergi ke surga dan meninggalkan kami semua. Rasanya, tidak ada lagi alasan untuk hidup di dunia ini. Selain hidupku yang kacau, pendidikan dan asmaraku juga hancur. Terlebih lagi ketika bidadari yang selama ini aku cintai memutuskan ikatannya denganku secara tidak wajar.

Aku memutuskan berhenti sejenak dari aktivitas dunia yang sangat menyebalkan ini. Aku tidak kemana-mana, ragaku masih tetap ada disini. Akan tetapi tidak dengan jiwaku. Jiwaku telah pergi jauh mengelilingi dunia, bersama buku-buku yang aku baca. Sesekali, ketika aku bosan dan kehabisan bahan bacaan, aku memilih menenangkan diri di antara rimba pepohonan. Menyatukan diri dengannya sembari mencari hakikat hidup yang sebenarnya.

Seseorang bertanya kepadaku suatu ketika. Tepatnya ketika aku sedang berkelana ke rimba yang sangat jauh di ujung sana, “Apa yang kamu cari sampai jauh ke sini?” Tanpa pikir panjang aku menjawab, “Hakikat hidup.” Setelah mendapati jawabanku, seseorang itu tertawa lebar dan meludah didepanku. “Hakikat hidup katamu? Hakikat hidup apa yang kamu cari, ketika hakikat hidup yang sejati itu ada di dalam hatimu sendiri.”

Menyebalkan, jika bertemu seseorang dengan sifat sombong seperti itu. Terlebih lagi ketika sedang jauh dari rumah. Rumah? Tiba-tiba aku teringat dengan rumah. Aku bertanya-tanya kepada lubuk hatiku. Bukankah aku sangat ingin pergi dari rumah? Akan tetapi, kenapa aku masih merindukan dan teringat dengan rumah? Apa yang sebenarnya aku cari, jika pada akhirnya aku akan kembali pulang ke rumah? Setengah jiwaku membenarkan apa yang aku lakukan saat ini, akan tetapi setengah jiwaku yang lainnya justru menolaknya.

Perang jiwaku dimenangkan oleh jiwa positif. Aku memutuskan pulang dan memulai aktivitas dunia yang sebenarnya menyebalkan, akan tetapi harus tetap disyukuri ini. Aku memutuskan mencari seseorang yang kutemui beberapa saat lalu. Seseorang yang sombong, tetapi berhasil menyadarkanku tentang hakikat hidup yang sebenarnya adalah pulang. Sementara hakikat pulang yang sejati adalah pulang ke tempat di mana kita merasa nyaman di dalamnya, dan tempat itu bernama rumah.

Aku akan mulai mencari seseorang itu dari dunia yang luasnya melebihi negaraku. Dunia itu bernama dunia maya. Dunia di mana semuanya terlihat indah dan apapun seperti bisa didapatkan dengan mudah. Aku mengetikkan sebuah nama “Senja” karena aku bertemu dengan seseorang itu ketika senja. Akan tetapi tidak ada satu pun akun yang menggambarkan seseorang itu. Tanpa sadar aku telah mengetikkan ratusan nama dan tidak ada satu pun yang cocok. Hingga pada akhirnya aku memikirkan suatu nama dan aku mengira seseorang itu adalah pemiliknya.

Renjana, nama akun yang indah, berbanding terbalik dengan sifatnya. Aku melihat logo hijau di sebelah foto akunya yang menandakan seseorang itu sedang online. Aku memutuskan untuk mengetikkan sebuah kalimat sapaan yang ternyata hanya berujung dengan tanda centang dua berwarna biru. Tidak kehabisan akal, aku juga mengikuti forum yang mana ada akun seseorang itu di dalamnya. Secara kebetulan, aku mendapati beberapa postingan puisi karya Renjana. Tanpa pikir panjang, aku mengetikkan sebuah komentar. Bukan sembarang komentar tentunya, melainkan balasan atas puisi tersebut.

Siasatku berhasil, seseorang itu membalas komentarku. Semakin lama semakin banyak komentar aku dan seseorang itu. Hingga pada akhirnya seseorang itu menuliskan komentar, “Lanjut inbox aja, yuk!” Hatiku bersorak riang mendapati yang demikian. Seseorang itu bernama Renjana. Seseorang yang raganya berada di belahan dunia di ujung sana. Seseorang yang semakin lama merubah jalan pikiranku. Seseorang yang terlihat cuek akan tetapi, sebenarnya memiliki hati selembut sutera.

Aku dan Renjana semakin dekat, sesekali Renjana singgah ke kotaku dan aku selalu mengajaknya ke tempat-tempat bersejarah di kotaku. Renjana berbeda, tidak seperti perempuan lain. Jika perempuan lain akan senang berlama-lama di pasar moderen, maka Renjana akan senang berlama-lama memandangi kepergian matahari. Renjana sama seperti senja yang menjingga di ujung sana. Indah, menenangkan, akan tetapi tidak bisa dimiliki. Terlebih untuk bungsu sepertiku. Renjana akan tetap indah dan tidak tergantikan, meski raga dan jiwanya telah terbang jauh ke angkasa bersama merpati senja. (Yep)