Melewati jalan setapak dengan badan penuh peluh dan raut riang yang begitu kontras. Pulang-pergi sekolah dengan berjalan kaki sama sekali tidak mengurangi semangatnya mencari ilmu, meski jarak sekolahnya jauh, rasa lelah sepertinya sungkan menghampirinya. Bukan karena akses kendaraan ke sekolah sangat sulit, tapi tidak ada kendaraan pribadi yang bisa digunakan. Tidak mungkin pula orang tuanya sempat mengantar jemputnya apalagi pergi dengan jasa antar seperti ojek dan semacamnya yang membutuhkan biaya operasional.

Namanya Naraya, perempuan yang tumbuh dan ditempa langsung oleh kerasnya kehidupan. Hari ini ia berhasil menjual buku catatan belajar yang ia buat kepada teman-temannya di sekolah. Hasilnya lumayan, hanya bermodalkan pengetahuan, buku, dan pena seadanya. Uang yang didapatkan ia sisihkan 30% untuk disimpan dan sisanya ia berikan kepada orang tuanya dengan harapan dapat meringankan beban ekonomi keluarganya.  Merapal harap pada setiap langkah demi langkah ia pulang ke rumah. Semoga hari ini ayah dan ibu senang, harap Naraya sederhana.

“Ayah, Ibu… Aya pulang!” seru Naraya selepas membuka pintu. Hening, tak ada suara selain helaan nafas milik Naraya. Ayah dan Ibunya sedang tidak dirumah, bisa ditebak kalau mereka sedang bekerja. Naraya tidak kecewa perihal pulangnya yang disambut sepi, ia paham betul keluarganya butuh kerja keras lebih untuk bertahan hidup. Tapi ia hanyalah seorang anak berumur 15 tahun, yang ingin dikasihi sebagaimana mestinya. Orang tuanya sibuk banting tulang mencari uang, tak ada waktu untuk sekedar memperhatikan anaknya. Tapi tak apa, Naraya sudah dipaksa mengerti oleh keadaan sejak dini, jadi rasanya hal seperti ini bisa ia terima dengan mudah. Ia hanya perlu sedikit menunggu ayah dan ibunya pulang kemudian bisa menceritakan bahwa ia berhasil mendapatkan uang, di dalam kepalanya terbayang sekilas reaksi orang tuanya yang akan mendengarkannya dengan senang.

Suara cakap manusia terdengar di ruang tamu sepertinya orang tua Naraya sudah pulang, segeralah ia beranjak untuk menemui mereka. Namun, langkahnya terhenti ketika suara yang ia dengar tadi telah bermetamorfosa menjadi perdebatan panas. Naraya melihat ibunya berkacak pinggang sedang memarahi ayahnya, “Aku sama lelahnya denganmu, jangan seolah-olah hanya kamu yang bekerja keras di sini!” Suara ibunya mulai lirih terdengar. “Kenapa? Kamu mau protes karena aku membiarkanmu bekerja? Jangan mengeluh bu, aku sudah berusaha sekeras yang aku bisa tapi keadaan yang kita lalui justru lebih keras lagi!” ayahnya menyahut tak terima. Sepertinya ini tentang uang, Naraya berusaha menghentikan perdebatan ini ia dengan yakin melanjutkan langkahnya menemui orang tuanya “Ayah, ibu… mending istirahat dulu atau mau Aya buatkan kopi dan teh?”

“Kamu jangan mencoba mengajari kami, ini semua gara-gara kamu. Kalau aja kamu tidak lahir, hidup kita tidak akan sesulit ini!” jawaban ibunya di luar dugaan, perasaan Naraya berkecamuk pasca tau dirinya tak diharapkan kehadirannya. Dengan kepala menunduk dan tangan yang saling bertaut, Naraya bersuara dengan lirih, “Maaf ibu, maafin Aya,” ucapnya penuh sesal dan sesak. “Kalau ini masalah uang, sekarang Aya udah bisa bantu cari uang kok. Tadi Aya jual catatan belajar, hasilnya ini buat Ayah dan Ibu,” tak surut usahanya menenangkan kedua orang tuanya ia menyerahkan uangnya yang disambut kilat oleh sang ibu. “Uang segitu mana cukup Aya! Kita butuh banyak uang untuk bayar kontrakan dan sekolahmu. Besok-besok harus dapat lebih banyak dari ini tapi jangan sampai mengganggu sekolahmu,” respon dari sang ayah jauh di luar ekspektasi. Bahkan orang tuanya tak mengapresiasi usahanya sedikitpun mereka justru menuntut lebih tanpa terima kasih.

Hari-hari selanjutnya, Naraya semakin gencar menjual catatan belajarnya dan teman-temannya mulai merasa butuh buku catatan belajar dari Naraya untuk mempermudah belajarnya. Hasil yang Naraya dapatkan semakin meningkat, bahkan ia mulai memperluas target penjualannya ke sekolah-sekolah lain. Teman-temannya merasa catatan Naraya sangat membantu, mereka tidak perlu lagi sibuk mencatat penjelasan guru. Sampai suatu hari guru-guru mulai mengetahui hal ini. Kemudian Naraya dipanggil oleh bagian konseling siswa dan dipertanyakan maksud dari apa yang ia lakukan dari menjual catatan belajar. Ternyata catatan yang Naraya buat memiliki dampak buruk yang tidak ia kira sebelumnya. Sang guru menjelaskan akibat dari adanya catatan belajar miliknya, salah satunya adalah banyak murid-murid yang mulai tak menghiraukan pelajaran yang diberikan guru. Naraya mencoba bernegosiasi, ia masih membutuhkan uang dan tidak mungkin menghentikan penjualannya. Solusi akhir dari sang guru ialah meminta orang tuanya datang dan akan memberikan pengertian kepada orang tuanya untuk tidak membiarkan Naraya bekerja seperti itu lagi.

“Naraya! Keluar kamu, Ayah mau bicara!” suaranya ayahnya terdengar lantang dari ruang tamu. Dengan sisa keberanian yang ia punya, Naraya menghampiri sang Ayah berdiri tepat di depannya dengan kepala menunduk.

PLAKK!

Ayahnya menampar Naraya begitu kuat, badannya terhuyung hampir jatuh jika ia tak bersandar pada dinding rumahnya. “Memalukan, kamu membuat Ayah malu. Gurumu menceramahi ayah yang katanya tak becus menjadi orang tua!” suara ayahnya semakin meninggi, menarik isak tangis Naraya untuk dilepaskan, “Jangan nangis kamu, jangan hanya bisa bikin malu. Putar otakmu dan cari cara lain yang menghasilkan uang dan tidak mempermalukan ayah dan ibumu.”

“Tapi Aya masih SMP yah, yang Aya bisa lakuin cuma itu,” Naraya menjawab dengan lirih dan patah-patah karena sesegukan. Ayahnya tak menjawab, ikut menunduk sejenak sebelum mendorong badan Naraya hingga jatuh. Diperlakukan demikian Naraya terperanjat, ia mulai beringsut mundur menghindari tindakan-tindakan keras lainnya dari sang ayah. Pergerakannya yang lambat sama sekali tidak membantu, ayahnya menyeret paksa tubuhnya ke kamar mandi. Sembari mengguyur tubuh Naraya dengan air, ayahnya tak henti-henti menyumpah serapahi Naraya, “Anak tidak tau diuntung! Susah-susah ayah dan ibu merawatmu sekarang ini balasanmu, iya? Memalukan!” Naraya berharap Ibunya lekas pulang dan menghentikan kebengisan ayahnya. Naraya tak bisa memberontak karena ayahnya akan memperlakukan nya semakin kasar, ia hanya pasrah, meracaukan maaf dan berdoa agar ayahnya segera berhenti. Namun hingga sang Ayah puas menghabisi dirinya, tak ada seorang pun yang menginterupsi, ibunya tak kunjung datang. Tak apa, pikirnya. mungkin esok hari ayahnya akan kebaik.

Naraya belum menemukan cara lain agar ia bisa mendapatkan uang lagi, setiap pulang sekolah ia gelisah tak berani pulang ke rumahnya. Sudah beberapa kali ayahnya memperlakukannya dengan kasar, menjadikannya objek pelampiasan emosi sang ayah. Jejak biru keunguan masih banyak tercetak di tubuhnya bekas pukulan-pukulan dari sang ayah. Ibunya belum tau hal ini dan ia pun belum berani memberitahukan ibunya perihal apa yang telah dilakukan ayahnya. Naraya masih bisa menutup rapat mulutnya dan pasrah diperlakukan sekasar apapun oleh ayahnya, dengan begitu ia merasa dapat menutupi kesalahannya yang tak bisa lagi membantu sang ayah. Tapi lama kelamaan respon tubuhnya mulai beda ia tak sekuat dulu lagi, sakitnya semakin jelas terasa. Ia mulai merasa asing dengan perilakunya akhir-akhir ini. Ia mudah merasakan nyeri di kepalanya dan sangat susah berkonsentrasi. Naraya berencana akan memberitahu ibunya, ia sudah tidak kuat lagi.

Malam ini Naraya akan berbicara pada ibunya, dengan begitu ia berharap sang ibu mengasihaninya dan melindunginya dari sang ayah. Tapi harap tinggallah harap, belum sempat ia bertemu sang ibu, ia sudah dipatahkan tak tersisa harapannya. Di depan pintu kamar ibunya, Naraya mendengar ibunya tengah berbicara dengan seseorang. Naraya mengintip dari celah pintu, sepertinya ibunya sedang bertelepon dengan sang ayah. Ia memutar balik langkahnya dan mengubur niat yang ingin dilakukannya, tapi sebelum itu “Kamu apakan lagi anak itu kemarin? Aya belum keluar kamar dari tadi” perkataan sang ibu menarik perhatiannya. Dengan seksama ia mendengarkan sang ibu bertelepon “Yah, sedari awal kan ibu sudah bilang punya anak dengan keadaan kita yang belum siap itu salah. Ibu tidak bisa mengharapkan anak itu, dan sekarang lihat bahkan ayah sudah tidak bisa memperlakukannya dengan baik lagi. Apakah sudah sampai di sini batasmu, yah?” apa maksud dari omongan ibunya, apakah selama ini ibunya tau ia diperlakukan kasar oleh sang ayah dan ibunya diam saja. Mengetahui kenyataan itu ternyata lebih sakit dari apapun, ternyata Naraya sudah tidak memiliki tameng apapun lagi. Dunia sudah berbalik badan dan memunggunginya, ia tidak bisa berharap lagi pada sang ibu. Ia tidak memiliki kakek dan nenek sebagai tameng terakhir jadi ia hanya memiliki dirinya sendiri saat ini.

Pulang sekolah kali ini begitu mendebarkan rasanya, ia bertanya-tanya tindakan apalagi yang akan ia terima hari ini. Naraya tak berani pulang ke rumah, tapi ia juga tak tahu harus pulang ke mana. Ia tak memiliki teman untuk ia tumpangi rumahnya. Semenjak ia berhenti menjualkan catatan belajar, teman-temannya mulai menjauhinya dan melabeli dirinya manusia pelit ilmu dan tidak mau membantu. Padahal bukan seperti itu kebenarannya tapi dijelaskan pun rasanya sukar sekali diterima jadi ia biarkan saja. Naraya melihat ayahnya di depan rumah, seperti tengah menunggu seseorang. Ia kah orang yang Ayahnya tunggu? Batinnya bergejolak, rasa panik menyerangnya. Dirinya belum siap disakiti lagi bahkan lebam yang kemarin belum juga pudar. Tidakkah ayahnya ikut merasakan sakitnya, Naraya anak kandungnya yang dibesarkan penuh perjuangan. Apakah benar seperti yang dikatakan ibunya, ayahnya sudah diujung batas kepedulian tentang mengapa Naraya harus hidup. Dengan pikiran yang berkecamuk, Naraya memutar balik langkahnya. Ia tak ingin pulang, dirinya terlalu takut untuk pulang. Berjalan ia tak tentu arah, kemanapun asal dirinya merasa aman.

“Aku ngga mau pulang, ngga boleh pulang, aku takut pulang. Jangan, aku nggak boleh pulang!” Naraya mulai meracau pada langkah gusarnya. Mengingat kembali perlakuan ayahnya terasa mencekik, dirinya benar-benar tidak ingin pulang. Namun, sedikit logikanya bekerja bertanya kemanakah ia harus pulang jika tidak ke rumahnya. “Aku harus pulang ke mana?” Semakin jauh dirinya dari rumah semakin besar pula tanyanya kemana ia harus pulang. Naraya bingung dan takut. Dirinya tidak ingin pulang ke rumah tapi ia juga tak tau akan pulang kemana.

Hari semakin gelap, Naraya terus mengajak akalnya bekerja untuk  berpikir. Tapi seperti yang ia rasakan sebelumnya akhir-akhir ini dirinya sangat susah memikirkan sesuatu dengan gamblang terlalu banyak rasa yang ia kecap membuat dirinyanya keluh memikirkan rasa apa yang ia terima saat ini. Mungkin kembali ke rumah dan memohon maaf yang banyak dirinya akan segera diampuni, mungkin iya. Segera ia pulang sebelum malam semakin larut, satu-satu jalan yang ia pahami dengan benar adalah jalan menuju rumahnya. Dirinya harus pulang bertemu ayah dan ibunya kemudian memohon maaf sebanyak-banyaknya. Iya, hanya itu yang ada dalam pikir Naraya. Hanya pulang ke rumahnya yang ia bisa.

Rumahnya sepi, tak ada seorang pun di dalamnya. Dimana ayah dan ibunya, pikir Naraya. Segera ia ke kamar untuk bebersih dan istirahat, tapi baru beberapa langkah ia ambil, pintu rumah terbuka dengan kasar. Di sana, ayah dan ibunya berdiri dengan wajah yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Naraya mematung tak tau harus bersikap seperti apa.

“Anak sialan! Ke mana saja kamu? Pulang semalam ini, sudah capek ayah dan ibu bekerja masih kamu buat capek lagi dengan mencari keberadaanmu!” suara murka ibunya. “Jangan menyusahkan Naraya, karena kamu kita jadi susah! Anak sialan seperti kamu memang tidak bisa diharapkan!” dilanjut ayahnya dengan sahutan yang lebih menyakiti. Ternyata dirinya benar-benar tidak diharapkan.

“Maaf ibu, ayah. Aya minta maaf,” Naraya meminta maaf dari lubuk yang terdalam, ia menahan isak tangis dan rasa takutnya demi kelancarannya mengucap maaf.

Ayahnya berjalan mendekat, mencengkram bahu Naraya kuat-kuat. “Kami tidak butuh maafmu, Naraya. Ayah dan ibu capek ngurus kamu, harusnya dulu ayah dukung ibu kamu untuk tidak membiarkan kamu lahir ke dunia!” cengkramannya yang kuat dan ucapan lirih yang menusuk. Tepat menyakiti ulu hati Naraya, kalau sudah begini Naraya benar-benar tidak ada harapan.

“Tapi Aya nggak pernah minta buat dilahirin, yah. Aya bersyukur dan berterima kasih kalian sudah rawat Aya sampai sejauh ini, tapi tidak dengan perlakuan kurang ajar Ayah dan Ibu. Tidakkah kalian memiliki sedikit hati nurani untuk aku anak kalian darah daging kalian sendiri?” Naraya berucap dengan lirihan yang sarat luka. Ia ingin segera keluar dari lingkaran luka ini, sesegera mungkin. “Berani kamu ngomong seperti itu, Naraya!” Ayahnya menjawab dengan nada lebih tinggi. Raut marah sang ayah semakin jelas.

PLAKK! PLAK!

Tamparan ganda, sisi kanan dan kiri pipinya memperoleh tamparan sama rata. Sakit, rasanya sungguh sakit. Naraya tak kuasa membuat pertahanan diri, ayahnya kembali bengis. Dibenturkannya kepala Naraya pada dinding ruang tamu. Kesadaran Naraya mulai menipis, anyir darah juga mulai tercium. Sepertinya kepalanya terluka, ia menyesali pilihannya untuk pulang ke rumah. Sakitnya semakin jelas terasa, dirinya yang disiksa habis-habisan oleh ayahnya, sedangkan ibunya hanya melihat tanpa belas kasih untuk membantu menyelamatkannya.

Naraya benar-benar menyesal pulang ke rumah, seharusnya ia tidak pulang ke rumahnya malam itu. Rasa sakitnya malam ini benar-benar luar biasa, fisik dan batin sama lukanya. Pulang ke rumah benar-benar bukan keputusan yang tepat, tapi ia masih terus bertanya kemana ia harus pulang jika tidak ke rumahnya.

PRANG! Ayahya kembali melempar dirinya hingga terjatuh pada vas bunga di sudut rumah. Gelap, Naraya sudah tidak bisa melihat rumahnya. Kesadarannya terenggut paksa, di sudut rumahnya ini ia menemukan jalan pulang lain. Pulang pada tempat di mana manusia sejatinya berpulang. Jam 20.00 WIB Naraya berhasil pulang, di antar oleh ayahnya dan disaksikan langsung oleh ibunya. Dua manusia itu berhasil membawa pulang Naraya.

Untuk Naraya, maaf pulangmu telah diatur semesta. Kamu tidak perlu memikirkan lagi harus pulang ke mana. Rumah sejatinya memang bukan tempat berpulang ia hanyalah objek untuk ditinggali. Hal paling sulit menjadi manusia ialah bertanggung jawab, seperti orang tua Naraya yang gagal menjadi manusia, maka tak heran bila mereka tak bisa memanusiakan makhluk tuhan lain yang sama berakalnya. Selamat jalan Naraya, semoga kepulanganmu menjadikanmu tenang. (j)