“Lama banget busnya datang,” keluh rasuli karena bus yang dia tunggu belum juga tiba. Bus yang mengangkut sahabatnya dari pelosok desa. Mereka membuat janji bertemu di terminal bungurasih.

Karena lelah menunggu dia duduk di halte. Terik matahari menyengat ubun-ubun rasuli. “Tau gini tadi berangkat pas mendung aja” rasuli berbicara sendiri. Ibu-ibu yang sedang duduk bersamanya kemudian menoleh karena ucapan rasuli.

“Oh ya sekarang musim kemarau, mana ada salju turun” rasuli mendongak ke langit sambil mengipaskan kerah bajunya karena gerah.

“Ibu, dirumah ibu ndak ada salju turun ?” Rasuli bertanya kepada ibu-ibu yang memakai kerudung berwarna krem dengan gamis coklat disebelahnya.

“Ndak ada mas, disini mana ada musim salju” ibu tersebut menjawab kemudian bergeser ke kiri sejauh 10 centimeter.

“Tapi itu kerudung ibu ada saljunya” rasuli menunjuk kerudung ibu tersebut.

“Ini kan model pernak-perniknya begini mas” ibu tadi bergeser lagi, kali ini sejauh 40 centimeter. Jadi berapa total jarak rasuli dengan ibu-ibu tadi ?

Angin berhembus suasana makin memanas seiring matahari berdiri tepat diatas kepala. Spanduk-spanduk bertuliskan macam-macam kritik untuk pemerintah tertempel ditembok-tembok terminal.

“Ibu ngerti ndak masalah bangsa Indonesia sekarang ?” rasuli bertanya mengeluarkan Koran didalam tasnya.

#KesejahteraanRakyat begitu tagar yang tertulis besar di halaman awal korannya.

“Ibu lihat pedagang asongan itu?” menunjuk pedagang buah disamping jalan.

Ibu tersebut memperhatikan. “Buah yang dijualnya itu ditanam dan dirawat oleh petani kita sendiri, semua yang bapak itu jual hasil keringat petani kita. Ibu tau berapa harganya ?” rasuli bertanya.

“Semangka sekilonya 10rb mas” ibu tersebut menjawab. Rasuli melompat berteriak meriah. “Selamat… ibu mendapat sekilo semangkaa!!!” Ibu tersebut kaget tersenyum senang.

“Mari kita serius kembali ibu, tadi bercanda” rasuli duduk kembali ditempat semula.

“Apa yang masyarakat kita kelola sendiri dijual dengan harga murah, semuanya. Bagaimana dengan buah import yang ada di supermarket besar ? Harganya jauh berbeda” berhenti sejenak.

“Ibu tawar buah yang dijual dipasar walaupun harganya sudah sangat murah. Bagaimana jika ibu pergi ke supermarket besar yang menjual buah mahal tadi, apa ibu menawarnya ?”

“Tentu tidak ibu” rasuli melanjutkan.

“Kesejahteraan Rakyat, itu masalah besar bangsa kita” rasuli berkata lebih keras.

“Tapi saya baik-baik saja mas di rumah. Semua kebutuhan tercukupi” ibu tersebut menampis pernyataan rasuli.

“Ibu coba main-main ke kolong jembatan, ke pemukiman kumuh, ibu coba menginap disana beberapa hari” rasuli menunjuk gelandangan yang sedang mengais botol rongsokan.

“Ibu tau isi berita dari Koran ini ?” rasuli menunjukkan koran yang dia pegang.

“Kalau ibu baca koran ini saya takut setelah itu ibu akan ikut-ikutan mengkritik pemerintah” tegas rasuli.

Bus yang mengangkut sahabat rasuli tiba, holis turun dari salah satu bus terlihat pucat wajahnya karena kelelahan.

“Holis..!!!” rasuli berteriak melambaikan tangan saat melihat holis kebingungan.

“Sini..!!!” rasuli berseru kemudian holis berlari mendekat.

Mereka berbincang melepas rindu sebentar dan kembali ke rumah rasuli. Ditengah perjalanan holis melihat lapangan yang tandus dipinggir jalan dengan sisa-sisa pepohonan kering usai ditebang.

“Kamu lihat alat berat disana” rasuli mengarahkan padangan temannya, holis.

“Di lapangan tadi awalnya dijanjikan akan dibangun taman untuk masyarakat sekitar sini, tapi sekarang berubah beralih ke pembangunan proyek. Entah proyek apa aku ndak tau. Setelah melewati jalanan ini pun kamu nanti jangan kaget dengan apa yang akan kamu lihat,” bincang rasuli diatas motor yang sedang mereka kendarai.

Mendekati lokasi yang dijanjikan tadi holis mencium bau yang tidak sedap dari kejauhan,

“bau apa ini ?” tanya holis.

Beberapa bukit sampah bertumpukan berserakan dipinggir jalan. Perumahan kumuh beserta masyarakat dengan pakaian lusuh dan kotor berjalan. Seringkali rasuli mengklakson pejalan kaki yang membawa gerobak karena terlalu menengah jalannya.

Rumah-rumah dari bilik bambu berdiri reot ada juga yang dari kardus, sedangkan sedikit yang rumahnya bertembok. Polusi pabrik, asap kendaraan bermotor, bau menyengat dari sampah berserakan. Lebih parahnya lagi, selokan yang berjarak beberapa ratus meter setelah pemukiman. Tak terlihat aliran airnya, hanya bertumpukan sampah menghambat selokan besar menuju sungai yang lebih besar.

Setelah melewati tempat kumuh tadi rasuli menceritakan janji pemerintah yang akan membenahai kawasan tadi.

“Dua tahun lalu berbarengan sebelum proyek dilapangan gersang tadi, ada janji yang belum ditepati. Warga masyarakat yang tinggal dikawasan itu akan dipindah ke pemukiman lebih layak dari itu. Di pindah ke rumah susun dengan biaya sewa yang murah tanpa uang gedung, hanya uang sewa saja” rasuli menjelaskan.

“Kenapa belum dijalankan ?” tanya holis tidak mengerti.

“Sudah jelas bukan? Proyek tadi. Akan ada pembersihan sampah-sampah pada perumahan kumuh dan aliran selokan. Itu janjinya juga. Tapi kamu tadi lihat sendiri kondisinya seperti apa” ujar rasuli.

Beberapa menit kemudian kendaraan mereka melaju masuk ke jalanan kota. Lampu mulai menyala bersama matahari yang kian tenggelam. Gedung menjulang tinggi jalan raya melebar klakson kendaraan silih berganti.

Mereka melewati satu air mancur dengan monumen pahlawan. Tepat setelah 200 meter dari air mancur berdiri megahnya gedung pemerintah berhias lampu kilau beraneka warna. Tumbuhan hijau tumbuh subur bersih tanpa sampah tersusun rapi.

“Lihat itu di kanan jalan” seru rasuli. Holis menengok.

“Mereka bekerja disana, tidur bersama kasur empuknya. Di gaji rakyat mendapat banyak tunjangan” kata rasuli.

“Banyak lingkungan disekitar kita, yang menunjukkan begitu melangitnya wakil yang di gaji dari uang rakyat. Sedang, rakyat jauh begitu membumi,” tambah rasuli.

Kendaraan mereka terus melaju menembus malam, bersama rasa ketidakterimaan, namun hanya diam yang menjadi jawaban . . . (Fi’)