Pada pergantian abad 19 menuju abad 20, pena menjadi simbol bagi kelahiran generasi baru pribumi Hindia Belanda, generasi kaum terdidik yang menamakan diri kaum muda. Pangeran Aria Achmad Djajadiningrat, Bupati Serang (1901-1924) dan Batavia (1924-1929), mencatat perubahan gaya para priyayi muda. Priyayi-priyayi yang mulanya bertanya tempat membeli kuda yang bagus, kini bertanya tempat di mana mereka dapat mendapatkan pena yang bagus (Djajadiningrat, 1996: 257).

Memoar Achmad Djajadiningrat memberi kita dua poin penting soal eksistensi pena pada awal 1900-an. Pertama, pena hadir sebagai bagian dari fesyen bumiputera modern. Kedua, menjadi priyayi yang baik pada masa itu bukan lagi soal keahlian menjinakan kuda dan atau melakukan pengawasan penduduk dari atas kuda. Priyayi era ini dinilai berdasarakan kemampuan riset, menulis laporan riset, surat-menyurat, dan—yang terpenting—menuliskan rekomendasi kebijakan kepada pemerintah kolonial (Djajadiningrat: 257). Organisasi jurnalis pribumi di Hindia Belanda juga lahir dari gaya kaum muda ini.

Pada 1912, tiga serangkai Indische Partij (IP) muncul dalam sebuah foto yang menampilkan Soewardi duduk sambil menulis; sementara Douwes Dekker dan Tjipto Mangoenkoesoemo berdiri di belakang meja, seakan menjaga Soewardi. Pose tersebut menampilkan intelektualitas pribumi, suatu gambaran yang tidak terbayangkan dua puluh tahun sebelumnya. Di mata pemerintah kolonial, pergerakan ketiganya bersama pena merupakan ancaman bagi rust en orde (keamanan dan ketentraman).

Pimpinan Indische Partij dan Komite Boemipoetra: Soewardi Soerjaningrat (duduk), Tjipto Mangoenkoesoemo (berdiri di sebelah kiri), dan Douwes Dekker

Awal 1913, ketiga pimpinan IP mendirikan komite bumiputera untuk menentang rencana pemerintah kolonial menarik pajak penduduk tanah koloni guna mendanai perayaan seratus tahun kemerdekaan Belanda dari penjajahan Perancis. Seperti yang tergambarkan dalam foto tersebut, Soewardi menulis artikel berjudul “Als Ik Een Nederlander Was(“Seandainya Saya Seorang Belanda”). Douwes Dekker dan Tjipto berdiri melindungi Soewardi dari segala akibat atas tulisannya tersebut. Soewardi menulis bahwa, jika ia seorang Belanda, maka ia tidak akan mengajak orang yang dijajah bangsa Belanda untuk merayakan hari ulang tahun kemerdekaan Belanda dari Perancis.

Dalam tulisan itu, Soewardi berseru sinis:

“Sudah kita hina mereka (bumiputera) dengan gagasan memperingati hari kemerdekaan Belanda dengan berpesta pora, sekarang ditambah lagi dengan menguras habis dompet mereka. Betul-betul suatu penghinaan moral dan material!” (Soerjaningrat, 1982)

 

Karena pena Soewardi itulah ketiga pimpinan IP kemudian ditangkap dan diasingkan pada Juli 1913. Mereka “disekolahkan” ke Belanda  dengan tujuan mereka menjadi warga negeri kolonial yang taat pada pemerintah di kemudian hari.

Pengasingan pimpinan IP tidak membuat pergerakan kaum muda loyo. Pena mereka justru kian tajam. Pada 1914, sahabat Soewardi bernama Mas Marco Kartodikromo mendirikan Inlandsche Journalisten Bond (Persatuan Jurnalis Bumiputera, IJB). Tujuan dari IJB adalah membantu keluarga kaum jurnalis yang terkena delik pers. Para pendiri IJB paham bahwa menjadi jurnalis berarti juga menjadi subjek yang tindak tanduknya diawasi otoritas kolonial.

IJB kemudian menerbitkan sebuah jurnal bernama Doenia Bergerak. Melalui terbitan inilah para jurnalis—yang kebanyakan adalah anggota Sarekat Islam—dari berbagai koran menumpahkan kritik mereka atas jalannya pemerintahan. Bahasa mereka lugas dan tajam. Mereka tidak menulis untuk melaporkan suatu kejadian secara objektif dan netral. Mereka menulis untuk mengkritik dan membela kepentingan pihak yang mereka bela—pihak yang sering mereka sebut “wong cilik”.

Menariknya, selama satu tahun penerbitan Doenia Bergerak, para jurnalis menghimbau kaum “wong cilik” ini untuk menanggalkan pakaian tradisional mereka. Sarung batik ditukar dengan celana panjang dan sepatu. Suatu langkah yang mungkin, dalam pandangan kita hari ini, terlihat tidak “nasionalis”, tapi memiliki nilai perlawanan yang besar terhadap pemerintah kolonial (Jr)