Hak memilih dalam pemilihan umum (pemilu) merupakan hak bagi setiap warga negara. Berdasar pada Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) No. 7 Tahun 2022, syarat menjadi pemilih dalam pemilu yakni: Warga Negara Indonesia (WNI) yang genap berusia 17 tahun, sudah kawin atau sudah pernah kawin, tidak sedang dicabut hak pilihnya, mempunyai Kartu Tanda Penduduk Elektronik (KTP-el) dapat juga menggunakan Kartu Keluarga (KK), serta tidak menjadi prajurit Tentara Nasional Indonesia atau anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Dalam Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 sudah dinyatakan jika kedaulatan berada di tangan
rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar (UUD). Namun ada individu atau sekelompok pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya dalam pemilu, yang sering disebut golongan putih (golput). Istilah golput selalu muncul ataupun terdengar saat mendekati pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah. Golput selalu identik atau melekat pada sikap cuek, apatis dan tidak peduli dengan kondisi politik.

Melansir dari aclc.kpk.go.id, istilah golput naik daun ketika menjelang pemilu 1971. Pada sebuah siang, Kamis (3 Juni 1971), sekelompok mahasiswa, pemuda dan pelajar meriung di Balai Budaja Djakarta. Mereka memproklamirkan berdirinya “Golongan Putih” sebagai gerakan moral. Di antara tokoh-tokoh yang menjadi motor gerakan itu, seperti Adnan Buyung Nasution dan Arief Budiman, tulis Kompas, 5 Juni 1971.

“Kelompok ini merasa aspirasi politik mereka tidak terwakili oleh wadah politik formal
waktu itu,” demikian dikutip dari buku Arief Budiman Tukang Kritik Profesional (2020).

Setelah bertahun-tahun sejak itu, Arief mengatakan, dirinya melahirkan gerakan golput
karena pemilu 1971 digelar tidak demokratis: pemerintah membatasi jumlah partai. Sebetulnya
istilah golput datang dari rekan Arief, Imam Waluyo yang ikut dalam gerakan itu.

Dilansir dari dataindonesia.id, ada 34,75 juta orang yang tidak menggunakan hak pilihnya atau golongan putih (golput) dalam pemilu 2019. Jumlah itu setara dengan 18,02% dari seluruh Daftar Pemilih Tetap (DPT) pemilu 2019 yang sebanyak 192,77 juta orang. Jumlah pemilih golput pada pemilu 2019 menurun 40,69% dibandingkan periode sebelumnya. Pada pemilu 2014, jumlah pemilih golput mencapai 58,61 juta orang atau 30,22%.

Banyak faktor yang mempengaruhi golput serta dapat menggangu keterlibatan kita dalam proses demokrasi:
1. Tidak tau adanya pemilu, tidak terdata sebagai pemilih, tidak mendapatkan kartu pemilihan ataupun tidak memiliki identitas kependudukan
2. Ketidak percaya terhadap partai dan kadidat yang tersedia, juga tidak percaya bahwa pemilu akan berdampak pada perubahan dan perbaikan, dapat menyebabkan masyarakat tidak menggunakan hak pilihnya
3. Pada hari pencoblosan, adanya berbagai halangan yang sifatnya menyangkut pribadi pemilih, dan mengakibatkan tidak datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) untuk menggunakan hak pilihnya.

Dilihat dari faktor yang mempegaruhi terjadinya golput, jika terjerat dalam pemikiran dan hal-hal yang disampaikan sebelumnya, dapat menyebabkan tingginya angka golput yang dapat
berdampak negatif bagi negara bahkan pada masyarakat.
1. Memberi kesempatan partai penguasa menang, menyebabkan masyarakat tidak menggunakan hak pilih yang diberikan untuk memilih partai politik serta calon pemimpin dengan visi, misi, serta program kerja terbaik untuk menjadi pemimpin.
2. Tingginya tingkat golput dapat menyebabkan terganggunya demokrasi, yang menandakan masyarakat meragukan bahkan merasa kehilangan kepercayaan terhadap sistem demokrasi, bahkan dapat berdampak pada kurangnya kepercayaan masyarakat pada pemimpin terpilih walaupun program kerja yang ingin diusung untuk memajukan negara menjadi lebih baik.

Di lain sisi ajakan golput dapat dikenai sanksi pidana seperti yang telah diatur pada Pasal 187 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang pemilu, menyebutkan bahwa setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang dapat merugikan pelaksanaan pemilu, termasuk ajakan untuk golput, dapat dihukum pidana dengan pidana penjara paling lama 36 bulan atau pidana denda paling banyak Rp 36.000.000.

Hilangkan pemikiran “Hanya satu suara, jadi tidak akan berpengaruh?”. Bayangkan jika bukan hanya satu atau dua orang yang bepikiran begitu, melainkan beberapa ribu bahkan juta orang. Jadilah pemilih dan warga negara yang baik dalam pemilu 2024. (Melon)