Pendidikan adalah bagian terpenting dalam kehidupan bernegara, apalagi di negara berkembang seperti Indonesia, utamanya pendidikan harus diprioritaskan, dikarenakan telah masuknya era globalisasi, jika kualitas pendidikan rendah maka Indonesia akan tertinggal dari segi ekonomi, budaya, dan lain-lain. Namun dalam perkembangannya, kekerasan seksual dalam lingkup pendidikan di Indonesia menjadi keresahan banyak orang saat ini. Salah satu contohnya dosen Universitas Sriwijaya yang melakukan pelecehan seksual pada mahasiswinya yang hendak meminta tanda tangan untuk skripsi, saat ditemui di laboratorium kampus.

Dengan adanya permasalahan tersebut, tak sepantasnya seorang manusia melakukan tindak kekerasan seksual, apalagi pada tingkat pendidikan. Al-Ghazali seorang filsuf asal Persia, juga menjelaskan bahwa akal adalah salah satu dimensi terpenting dari manusia, akal sebagai alat berpikir telah memberi andil besar dalam kehidupan manusia, seperti membuat pola hidup dan mengatur proses kehidupan secara esensial. Sehingga, manusia harusnya bisa menggunakan akal untuk menimbang perilaku salah dan benar dalam menjalani kehidupan.

Belum lagi adanya kekerasan seksual akan mengancam mental dari anak-anak yang ingin menimba ilmu, seperti anak-anak akan takut untuk menghadiri kelas, parahnya bisa mendapat rasa trauma hingga mengancam kewarasan dari pribadinya. Hal ini terbukti pada kasus pelecehan seksual yang dilakukan dosen Universitas Sriwijaya tersebut. Pada saat korban di tempat kejadian perkara (TKP) menangis hingga ditenangkan oleh polisi, bahkan saat mempraktekkan reka ulang, korban menangis lagi.

Bertolak belakang dengan hal tersebut, hukum yang ada juga tidak terlalu membantu korban, dalam hal meminta keadilan atas permasalahannya di mata hukum. Keadilan dan penegakan hukum di Indonesia belum cukup merata. Pengabdian pemerintah terhadap hukum juga perlu dipertanyakan, khususnya dalam kasus kekerasan seksual. Di Indonesia tak sedikit pelaku kekerasan seksual yang memutar balikkan fakta dengan beralaskan map coklat untuk pemerintah hukum. Sehingga dari hal tersebut menyebabkan beberapa hal seperti kasus yang ditutup  tanpa diselidiki lebih lanjut, pelaku yang masih bebas, dan korban yang tidak mendapat keadilan.

Begitu juga yang tejadi pada kasus Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Riau yang melaporkan balik atas laporan korban ke pihak Kepolisian Resor Kota (Polresta) Pekanbaru. Akan tetapi dosen tersebut mendapat pasal berlapis yakni pasal 289 KUHP tentang pencabulan dan pasal 294 ayat (2) KUHP tentang pejabat yang melakukan perbuatan cabul. Dalam menegakkan keadilan, apakah harus mengalami kejadian seperti kasus tersebut, adakah aturan yang mengekang hal tersebut sehingga hukum dapat berlaku adil untuk orang yang harus mendapatkan keadilan.

Kurangnya Ketegasan Dari Pemimimpin

Seperti yang diketahui oleh umum, dalam suatu negara memiliki suatu aturan yang mengacu di tiap-tiap bidang, seperti, pertahanan, pendidikan, keuangan dan lain-lain. Dalam hal ini, jalannya proses pendidikan di Indonesia merupakan ranah kementrian pendidikan, budaya, riset dan teknologi (kemendikubudristek) yang saat ini menjadi tanggung jawab Menteri Pendidikan Periode 2023 yakni Nadiem Anwar Makarim. Ia memiliki regulasi dalam membuat aturan, mengubah kurikulum, dan lain-lain, serta menaungi lingkup yang lebih kecil di bawahnya sesuai instansi tingkatan sekolah terkait. Baik yang dipimpin oleh kepala sekolah, dekan, rektor, dan lain sebagainya.

Meskipun, sudah ada peraturan yang mengatur jalannya pendidikan di Indonesia, masih ada yang terlewat, dalam penegasan aturan tersebut. Salah satu bentuk kurang tegasnya pemimpin, yakni untuk mencegah adanya kekerasan seksual  dan tidak ahli dalam bersikap adil dalam menegakkan penyimpangan yang ada. Seperti halnya, yang tertulis dalam pasal 2 Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) sudah disebutkan bahwa sebagai pedoman bagi Perguruan Tinggi untuk menyusun kebijakan dan mengambil tindakan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual yang terkait dengan pelaksanaan Tridharma di dalam atau di luar kampus. Namun hal itu, terbantahkan kenyataan karena masih banyak kasus kekerasan seksual yang terjadi di Perguruan tinggi.

Dengan demikian, tidak hanya ketegasan dan pemahaman yang dibutuhkan oleh rektor maupun dekan, melainkan adanya bantuan penanganan untuk seorang mahasiswa. Padahal permasalahan ini sudah diatur dalam dalam undang undang (UU) Permendikbudristek pasal 10 Perguruan Tinggi wajib melakukan Penanganan Kekerasan Seksual melalui pendampingan, pelindungan, pengenaan sanksi administratif, pemulihan korban.

Bahkan ada pula seorang pemimpin yang malah melakukan kekerasan seksual, seperti pada kasus Dekan FISIP Universitas Riau. Padahal adanya pemimpin untuk menegakkan peraturan yang telah disetujui, tetapi malah pemimpin itu sendiri yang melanggarnya. Apalagi sanksi yang didapatkan tidak main-main yakni dalam UU Permendikbudristek pasal 14 ayat (4) Sanksi administratif berat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa: pemberhentian tetap sebagai Mahasiswa dan pemberhentian tetap dari jabatan sebagai Pendidik Tenaga Kependidikan, atau Warga Kampus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, dari Perguruan Tinggi yang bersangkutan. Dengan demikian, peraturan yang ada sudah diatur sedemikian rupa agar korban dan pelaku mendapat keadilan sesuai porsinya.

Kesadaran Pegawai Pendidik

Selain itu, kesadaran pegawai pendidik menjadi hal yang terpenting Mereka harus ikut turut serta dalam pencegahan dan penanganan yang telah dilakukan pemimpin. Namun minimnya kesadaran pegawai pendidik, bisa mengakibatkan kasus kekerasan seksual, karena banyaknya pelaku kekerasan seksual adalah pegawai pendidik itu sendiri. Dari data yang ada, sebanyak 67 pelaku adalah pegawai pendidik, yakni guru 28 orang, dosen 15 orang, peserta didik 10 orang, kepala sekolah 9 orang, pelatih 2 orang, dan lain-lain 3 orang.

Para pegawai pendidik harusnya menjalankan tugas dalam upaya membantu dengan pendampingan jika ada mahasiswa yang mempunyai hubungan dengan kasus kekerasan seksual. Seperti yang ada dalam UU Permendikbud pasal 10, Perguruan Tinggi wajib melakukan Penanganan Kekerasan Seksual melalui pendampingan, pelindungan, pengenaan sanksi administratif, pemulihan Korban. Perguruan tinggi disini tidak hanya pemimpin saja yang mempunyai tanggung jawab tersebut, akan tetapi pegawai pendidik, dan mahasiswa juga. Semua orang berperan untuk turut andil dalam menegakkan lingkungan yang adil bagi korban.

Dukungan Dari Lingkungan Sekitar Untuk Korban

Lingkungan korban dalam merespon juga harusnya lebih baik. Dari kebanyakan kasus kekerasan seksual dalam tingkat pendidikan yang ada, malah korbannya yang disalahkan atas kejadian tersebut. Justru harusnya korban mendapat dukungan karena ia adalah “korban”. Contoh kasus yang dialami oleh Novia Widiasari, seorang mahasiswi yang bunuh diri karena diperkosa oleh pacarnya dan diminta untuk mengaborsi kandungannya. Keluarga Novia malah menyalahkan dan menganggap ia adalah aib.

Padahal seharusnya korbanlah yang mendapat dukungan, bukannya cacian yang diterimanya. Cacian tersebut juga diterima olehnya dari keluarga yang menganggapnya aib. Hal itu yang menyebabkan banyaknya korban yang malah merasa bersalah padahal jelas-jelas ialah korban tersebut. Bahkan ketika keadilan tidak bisa diperjuangkan di mata hukum, lingkungan mengadili dia tanpa mempertimbangkan sisi adil bagi korban yang harusnya mendapat tempat aman dan pendengar paling baik.

 

 

Masalah kekerasan seksual di ranah kehidupan adalah masalah serius dalam kehidupan sehari-hari kita. Masalah tersebut tidak bisa kita abaikan dan bersikap acuh tak acuh. Satu-satunya penyelesaian adalah semua pihak memilik kesadaran untuk ikut memberantas dan membangun tempat pendidikan yang aman dari pelecehan seksual. Dari mulai pemimpin, pegawai pendidik, bahkan lingkungan sekitar pun harus bisa paham tentang bahayanya kekerasan seksual di tingkat pendidikan.

Di Indonesia, sangat sedikit sumber daya manusia (SDM) maupun lembaga pemerintahan yang memiliki pelatihan yang memadai untuk memahami dan memberikan perhatian terhadap korban kekerasan seksual. Faktanya, keadilan bagi korban kekerasan seksual hampir tidak ada atau sangat minim, terlihat dari respon dan cara orang-orang di instansi pendidikan yang terkait merespon masalah ini dengan semestinya. Banyak lembaga bahkan tidak menunjukkan kepedulian yang cukup terhadap korban kekerasan seksual, dan disayangkan, sebagian masyarakat bahkan cenderung menyalahkan para korban. (Shreya)

 

 

References

Andriansyah, A. (2022, 4 12). Komnas Perempuan: Kasus Kekerasan Seksual di Lingkungan Pendidikan, Paling Tinggi di Universitas.

Fuadi. (2013). PERAN AKAL MENURUT PANDANGAN AL-GHAZALI.

Indonesia, B. (2021, 12 6). Kasus bunuh diri mahasiswi korban dugaan perkosaan di Mojokerto: ‘Bukti nyata polisi belum bisa diharapkan merespons cepat kekerasan seksual’.

Kompas. (2021, 12 14). 8 Kasus Pelecehan Seksual oleh Dosen, Korban adalah Mahasiswi, Siswi SMP hingga Keponakan.

MENTERI PENDIDIKAN, K. R. (2021). PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET, DAN TEKNOLOGI.