“Bukan hanya tentang fisik, tetapi cantik itu dilihat dari sisi smart dan rohaninya,” pengungkapan dari salah satu dosen perempuan di Fakultas Teknik Universitas Trunojoyo Madura (FT UTM) yaitu  Dr. Rima Tri Wahyuningrum ST., MT. Dosen yang akrab disapa Bu Rima ini, merupakan salah satu dosen pengajar di Program Studi Teknik Informatika, dan baru saja resmi menyandang gelar doktor pada sabtu kemarin(14/3).

Dosen yang berasal dari kota Madiun ini, pernah mengenyam pendidikan SD/MI Islamiyah, SMP 1 Madiun, SMA 2 Madiun, S1 Teknik Elektro bidang minat Telekomunikasi Multimedia di Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), S2 Teknik Elektro bidang minat Sistem Komputer  ITS, dan S3 bidang minat Medical Image Processing ITS. Melalui rekam jejak pendidikan ini, Bu Rima membuktikan bahwa wanita juga berhak menuntut ilmu dan bercita-cita tinggi.

Selama menempuh pendidikan S3, Bu Rima terbilang sering ke luar  negeri. Pada tahun 2016, artikel ilmiah miliknya didesiminasikan pada seminar International Computational  Intelligence and Virtual Environtments for Measurement Systems and Applications (IEEE CIVEMSA), sehingga mengharuskan beliau untuk berangkat ke Budapest, Hungaria selama satu minggu. Berlanjut pada tahun 2017, sebagai mahasiswa S3 dalam negeri beliau berhasil mendapatkan  beasiswa oleh Kementrian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemristek Dikti) untuk  Peningkatan Kualitas Publikasi Internasional (PKPI). Dengan tujuan  mampu meningkatkan kemampuan mahasiswa lulusan S3 dalam negeri, yang tidak kalah dengan mahasiswa lulusan S3 luar negeri. Sehingga, beberapa mahasiswa mendapatkan kesempatan untuk melakukan penelitian dan belajar di luar negeri selama 3-4 bulan, dimana salah satunya adalah Bu Rima.

Bu Rima berkesempatan belajar di universitas luar negeri, tepatnya di University of Groningen (UMOG) Belanda selama 3 bulan. Selain melakukan penelitian, Bu Rima juga berkesempatan ikut dalam proses pembelajaran di kelas (sit in). Sehingga, Bu Rima bisa mengetahui bagaimana sistem pembelajaran di luar negeri dan berdiskusi dengan supervisor yang ada disana. Di kesempatan yang lain, Bu Rima juga menyempatkan waktu untuk bertemu dengan  Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI). Bersama dengan PPI disana, Bu Rima banyak mendapatkan pengalaman dari berdiskusi dan mengelilingi beberapa negara yang ada di Eropa seperti, Perancis, Belgia, dan Jerman.

Tahun 2018 dalam event WCP di ITS, Bu Rima meminta agar para supervisornya yang dari Belanda untuk datang ke UTM, agar dapat berbagi ilmu dengan dosen dan mahasiswa yang ada di UTM dalam acara kuliah tamu (guest lecture).

Tak berhenti disitu, Bu Rima kemudian melanjutkan perjalanannya pada Oktober 2019 dengan pergi ke Jepang untuk melakukan desiminasi hasil Penelitian Disertasi Doktor (PDD). Beliau menjalani Seminar Internasional yaitu The 10th IEEE International Conference on Awareness Science and Technology 2019 (ICAST 2019) di Morioka, Jepang . Tidak membuang kesempatan dengan sia-sia, Bu Rima menyempatkan untuk jalan-jalan mengelilingi beberapa kota di Jepang seperti Tokyo, Kyoto, dan Nagoya.

Salah satu motivasi menjadi seorang pendidik adalah sosok ayah dari Bu Rima. Ayah Bu Rima bekerja sebagai guru, beliau menyarankan Bu Rima untuk menjadi seorang pendidik seperti dirinya. Selain menjadi pendidik untuk anak-anaknya, juga bisa menjadi seorang pendidik yang mampu mengabdi untuk negeri. “Karena perempuan cocok sebagai pendidik,” salah satu wejangan dari ayah Bu Rima.

Pada tahun 2003, selain melamar pekerjaan di perusahaan-perusahaan Bu Rima juga melamar menjadi dosen di UTM, dan lolos menjadi dosen Teknik Infomatika. Meski pekerjaan yang diterimanya berbeda dengan program studi yang diambil semasa kuliah, Bu Rima bertekad untuk terus berusaha maksimal dalam menggeluti karirnya saat ini

“Obsesi saya ketika bekerja ya harus maksimal. Ketika maksimal karirnya, dosen menjadi guru besar ya itu harus dicapai. Dan mahasiswa juga harus seperti itu, tujuan mahasiswa seperti apa? Kalau tujuannya lulus dapat ilmu, dapat keterampilan dari softskill atau hardskill itu semua harus diasah.”

Disisi lain, seperti perempuan pada umumnya, Bu Rima juga seorang ibu rumah tangga yang mempunyai 3 putra. Bu Rima, dituntut harus mampu membagi waktu antara menjadi pendidik di kampus, pendidik untuk putra-putranya, dan mengejar target pendidikannya. Pada siang hari, waktunya sudah tersita untuk mendidik mahasiswa dan putra-putranya. Sehingga, waktu yang tepat untuk fokus belajar adalah pada saat tengah malam atau dini hari.

Menurut beliau, menjadi dosen bukan hanya melulu soal mengajar. Mungkin, sebagian mahasiswa beranggapan bahwa menjadi seorang dosen itu mudah dan tidak berat. Tetapi bagi Bu Rima, dosen juga sama seperti pekerja Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang lain. Dosen harus melaksanakan yang namanya Tri Dharma Perguruan Tinggi (Pendididkan, Penelitian, dan Pengabdian kepada masyarakat) guna menambah keilmuannya, mempersiapkan proses belajar mengajar di kelas, dan membuat modul untuk mahasiswa.

Di akhir perbincangan, Bu Rima mengatakan bahwa tolak ukur cantik itu tidak dilihat dari fisik saja. Kita sebagai manusia harus selalu berdoa, bersyukur, menjadi orang baik yang sholeh dan sholehah. Menumbuhkan, semangat untuk meraih cita-cita setinggi mungkin, pasti akan ada jalan untuk mencapainya.

“Fisik kan bisa berubah ya, istilahnya kita hidup dari lahir, bayi, dan akhirnya menjadi tua dan keriput.  Menurut saya, wanita cantik itu wanita yang smart, bisa mengikuti perkembangan zaman dan memiliki sisi rohani yang bagus. Selalu ingat ilmunya padi yaitu semakin berisi, semakin merunduk. Selain itu juga ingat, bahwa ilmu matematika tidak berlaku untuk orang yang berbagi ilmu atau amal kebaikan lainnya seperti sedekah harta. Yang berlaku adalah ilmu sedekah, berbagi banyak ilmu, pahalanya berlipat-lipat, diberi Allah keberkahan dalam setiap langkah, dan juga ilmu kita tidak akan berkurang melainkan akan terus bertambah dan kita akan semakin paham dengan apa yang telah kita pelajari,” tutupnya.

Penulis : Anggi

Editor : CAN, Red