Kebebasan pers merupakan sebuah kebebasan yang diberikan oleh konstitusional atau perlindungan hukum mengenai media dan sesuatu yang dipublikasikan seperti majalah, surat kabar dan material lainnya tanpa perilaku sensor dari pemerintah. Secara umum, kebebasan pers bertujuan untuk memberikan kualitas demokrasi yang lebih baik. Indonesia sebagai negara penganut demokrasi, dalam pasal 28 UUD 1945 menjamin kemerdekaan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan. Dalam piagam PBB tentang hak asasi manusia juga dijelaskan bahwa “setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat, dalam hal ini termasuk kebebasan memiliki pendapat tanpa gangguan, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media apa saja dan dengan tidak memandang batas-batas wilayah.” Adanya kebebasan pers dan perlindungan hukum yang mengatur tidak serta merta membuat hak jurnalis dan media juga terlindungi.

Pada Maret 2021 terjadi kasus kekerasan disertai dengan penyekapan yang menimpa jurnalis Tempo, Nurhadi di Surabaya. Nurhadi mengalami kekerasan fisik ketika berupaya meminta klarifikasi kepada mantan pejabat Direktorat Jenderal Pajak, Angin Prayitno Aji. Ia mengalami kekerasan fisik oleh sejumlah anggota polisi dan panitia acara pernikahan anak Angin Prayitno Aji, mulai dari dipukul, dicekik, ditendang dan dirusak alat kerjanya. Melihat kejadian ini, tentu mengingatkan kita pada kasus pembunuhan yang terjadi pada wartawan Bernas, Fuad Muhammad Syarifudin atau yang akrab dipanggil Udin. Tanggl 13 Agustus 1996, ia dibunuh oleh dua orang berikat kepala merah dikediamannya, Bantul. Kepala Udin dipukul menggunakan besi yang menyebabkan koma, tiga hari kemudian ia meninggal setelah di rawat di rumah sakit. Kasus pembunuhan ini dikaitkan dengan tulisannya mengenai Bupati Bantul saat itu, Sri Roso Sudarmo. Mulai dari perkara tanah hingga “kuningisasi” Golkar tak luput dari tulisan Udin. Kasus-kasus tersebut menunjukkan bahwa kebebasan pers di Indonesia masih buruk dan jauh dari apa yang diharapkan. Pasal 8 UU No. 40 Tahun 1999 menjelaskan bahwa dalam menjalankan profesinya, wartawan mendapat perlindungan hukum. Maka sudah jelas bahwa kasus kekerasan yang dialami seorang jurnalis adalah sebuah pelanggaran hukum sehingga perlu ditindak pelakunya.

Kasus berikutnya yang melanggar kebebasan pers adalah peretasan terhadap media yang menyuarakan pendapat. Salah satu kasus peretasan media pernah terjadi pada akun twitter @drprino milik seorang ahli epidemiologi Universitas Indonesia, Pandu Riono. Kejadian ini terjadi pada hari Rabu, 19 Agustus 2020. Diduga peretasan ini terjadi setelah Pandu Riono mengkritisi kebijakan pemerintah terkait penanganan covid 19. Dengan latar belakang peretasan yang sama, peretasan juga terjadi pada media digital seperti Tempo.id dan Tirto.id. Menurut Direktur LBH Pers, Ade Wahyudi, dugaan serangan perertasan pada media yang mengangkat artikel berita tentang covid 19 bukan tanpa alasan. Ia menuturkan bahwa setiap kali media diretas, selalu saja artikel berita covid yang menghilang. Kasus peretasan ini bisa jadi merupakan pengalihan isu agar masyarakat tidak menyoroti kebijakan pemerintah dalam penanganan covid. Dalam kasus ini dapat kita lihat adanya pelanggaran demokrasi yaitu kebebasan pers dan pemerintah yang terkesan anti kritik terhadap pendapat rakyat.

Pelanggaran terhadap kebebasan pers juga terjadi di Amerika Latin. Menurut data Amnesty International, pada awal 2022 sudah terjadi pembunuhan terhadap 4 jurnalis. Kasus yang melibatkan pemerintah, sengketa lahan dan organisasi kriminal di Amerika Latin menjadi penyebab mayoritas adanya pembunuhan ini. Kasus lain juga terjadi pada seorang jurnalis dan editor Mongabay.com asal Amerika bernama Philip Jackson yang ditahan karena menyalahgunakan visa dan pelanggaran keimigrasian. Menurut Wahyu Dhyatmika, Sekjen Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), ia menyesalkan penahanan yang terjadi pada Philip karena biasanya cukup deportasi. Ia juga menganggap penahanan ini sebagai respon berlebihan dari pihak berwenang terhadap wartawan lingkungan. Diketahui Mongabay sering memuat berita tentang kerusakan hutan dan lingkungan di sejumlah daerah, termasuk Kalimantan. Hal ini menyebabkan sensitivitas pemerintah terhadap liputan yang dilakukan Mongabay sehingga diduga kuat menjadi penyebab ditahannya Philip Jackson.

Lagi dan lagi seorang jurnalis menjadi sasaran kekerasan dan diancam pidana dalam menjalankan tugasnya, padahal seorang jurnalis memiliki kode etik yang sudah tentu wajib dipahami dan dijalankan. Peretasan media pers juga sering dilakukan oleh oknum tertentu untuk menghalangi penyebarluasan pendapat. Pembuatan peraturan dan perlindungan hukum terhadap kebebasan pers tidak akan ada artinya jika perlindungan terhadap jurnalis juga tidak dilakukan dengan semestinya. (R-na)