Sebelas Maret 1996 merupakan salah satu tanggal yang bersejarah bagi bangsa Indonesia. Pasalnya, pada saat itu keluar sebuah surat perintah yang disebut dengan surat perintah sebelas Maret (Supersemar). Supersemar adalah surat perintah yang ditandatangani pada tanggal sebelas Maret 1966 oleh Presiden pada masa itu, Soekarno. Surat perintah tersebut ditujukan untuk Letnan Jenderal Soeharto yang saat itu menjabat sebagai Panglima Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) yang isinya memerintahkan kepada Soeharto agar dengan mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk memulihkan situasi yang sangat buruk pada masa itu dengan mengambil segala tindakan yang dianggap perlu. Setelah surat perintah itu diterima oleh Soeharto, Soeharto memerintahkan kepada Sutjipto selaku ketua Komando Operasi Tertinggi Gabungan-5 (G-5 KOTI) agar konsep tentang pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI). Jenderal Soeharto kemudian membubarkan PKI dengan dasar hukum surat perintah tersebut. Sebelum PKI dibubarkan, krisis ekonomi semakin parah dan laju inflasi semakin tinggi. Hingga pada bulan Januari 1966 para mahasiswa dan pelajar yang bergabung dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) dan Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia  (KAPI) dengan salah satu pentolannya Soe Hok Gie melakukan demonstrasi kepada pemerintahan Soekarno yang dinilai tidak peduli kepada rakyat.

Pada tahun 1966-1967 terjadi dualisme kepemimpinan nasional, yaitu Soekarno selaku presiden dan Soeharto selaku pengemban Supersemar. Konflik ini berakhir pada 20 Februari 1967 ketika Presiden Soekarno menyerahkan kekuasaan pemerintahan kepada Jenderal Soeharto.

Naskah Supersemar yang saat ini beredar merupakan keluaran versi Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI AD). Namun sebagian kalangan sejarawan memiliki pendapat bahwa ada beberapa versi naskah Supersemar, sehingga perlu penelusuran terhadap naskah Supersemar yang asli. Beberapa versi menjelaskan bahwa Soekarno terpaksa menandatangani surat perintah tersebut karena di todong pistol oleh Jenderal Basuki Rahmat dan Brigadir Jenderal  Maraden Panggabean, yang merupakan bawahan Soeharto. Versi lain menyatakan bahwa Soekarno menandatangani surat perintah tersebut dalam keadaan baik dan tanpa paksaan. Versi lainnya menyebutkan bahwa salah satu perwira tertinggi TNI AD yang membaca surat perintah tersebut terkejut mengetahui surat perintah itu merupakan surat perpindahan kekuasaan, beberapa tahun kemudian surat perintah tersebut dinyatakan hilang sehingga naskah asli semakin tidak jelas. Banyak saksi kunci dari peristiwa ini telah meninggal, yang terakhir adalah mantan Presiden Soeharto yang wafat pada 2008 silam. Hal ini membuat sejarah Supersemar yang sebenarnya semakin sulit untuk diungkap. Para sejarawan sepakat bahwa Supersemar merupakan salah satu sejarah nasional Indonesia yang masih “gelap”.