Sebagian besar umat Islam mempunyai rutinitas memperingati Isra’ Mi’raj setiap tahun. Pengertian Isra’ Mi’raj sendiri yaitu sebuah peristiwa spiritual yang dialami oleh Nabi Muhammad SAW atas izin Allah Swt. Tujuan dari memperingatinya adalah agar kita selalu mengingat hasil dari peristiwa ini, salah satunya yakni shalat lima waktu.

Shalat lima waktu bisa dikatakan sebagai buah dari audiensi Nabi Muhammad SAW dengan Allah SWT saat Isra’ Mi’raj. Sholat sendiri gunanya sebagai wahana menuju kesempurnaan spiritual yang dampaknya positif terhadap prilaku kita sehari-hari. Sebagaimana dijelaskan dalam QS. Al-Ankabut ayat 45, “sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar”.

Mengetahui peristiwa Isra’ Mi’raj, sebenarnya kita telah mengetahui epistemologi (asal-usul) shalat lima waktu. Demikian juga kita tahu aksiologi (manfaat) shalat lima waktu. Setelah mengerjakannya, kita akan tahu efek shalat pada menguatnya nalar kemanusiaan pada diri kita, bahwa ternyata shalat dapat memalingkan kita dari perbuatan keji dan munkar.

Seperti yang kita tahu, konsepsi Islam selalu mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan. Sebagai contoh kecil, hampir semua surah dalam Al-Qur’an selalu diawali dengan kalimat “bismillahirrahmanirrahim”. Ada dua nama Allah yang disebut, yakni Ar-Rahman (Maha Pengasih) dan Ar-Rahim (Maha Penyayang). Bukankah ini penegasan bahwa kita harus mengedepankan cinta-kasih dalam kehidupan?

Mestinya bisa dipahami, bahwa lahir-batin perilaku kita dalam rangka mewujudkan cinta-kasih atas sesama disukai oleh Allah Swt. Dalam hadits dijelaskan, “orang-orang yang ada rasa Rahim akan dirahmati oleh Tuhan yang maha Rahman, yang memberikan berkat dan Mahatinggi. Sayangilah orang-orang yang di bumi supaya kamu disayangi pula oleh yang di langit.” (Hadits Riwayat Imam Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi dan al Hakim dari Abdullah bin Umar)

Pentingnya cinta-kasih dalam kehidupan bersama ini, seolah menjelaskan bahwa di balik kemanusiaan ada keilahian, sementara di balik keilahian ada kemanusiaan. Dengan meyakini ini, tentu semua orang akan bisa mengimplementasikan nilai-nilai kemanusiaan dalam kehidupan bersama.

Inilah yang barangkali disebut visi ketuhanan dan kemanusiaan dalam satu kesatuan. Sedianya, meresap dalam batin setiap individu hingga menjelma dalam bentuk perilaku kehidupan sehari-hari. Kiranya benar apa yang dikatakan W.M. Dixon dalam bukunya, The Human Situation (1990), bahwa agama merupakan dasar yang kuat bagi moral. Kalau untuk mengakarkan pernuatan baik dengan melakukan shalat lima waktu, maka shalatlah sahabat, karena shalat tidak hanya tiang agama, melainkan juga tiang kedirian kita. Wallahu a’lamu bi Al-shawaab. (Ferdiasnyah, Red)