Kami tidak mampu membuat rencana menghadapi masa depan,
karena kami tidak menguasai ilmu untuk membaca tata buku masa lalu
dan tidak menguasai ilmu untuk membaca tata buku masa kini
maka rencana masa depan hanyalah spekulasi, keinginan, dan angan-angan.

Kutipan sajak bertajuk “Maskumambang” milik WS Rendra di atas yang menurut beberapa catatan digubah sepasca reformasi tampaknya masih relevan dengan keadaan kita masa kini. Rendra dengan sangat tajam menusuk jantung kalbu kebangsaan dan sanubari kenegaraan. Di depan puisi Rendra kita nyatanya tak berdaya, atau bahkan tidak merdeka untuk menentukan pilihan, perencanaan, dan juga rancangan apa yang kita lakukan untuk bangsa ini.

Nyatanya kita tidak pernah serius untuk dengan sungguh-sungguh menggali informasi selepas usia Orde Baru. Kebebasan Pers yang kini kita bangga-banggakan berhenti hanya sebatas narasi yang membual-bual tanpa dibarengi dengan usaha yang berarti untuk menengok lebih dalam siapa sesungguhnya kita sebagai warga pers.

Pada tanggal 21 Mei 1998 orde baru tumbang dan mulailah era reformasi. Tuntutan reformasi bergema ke semua sektor kehidupan, termasuk sektor kehidupan pers. Selama rezim orde lama dan ditambah dengan 32 tahun di bawah rezim orde baru, pers Indonesia tidak berdaya karena senantiasa ada di bawah bayang-bayang ancaman pencabutan surat izin terbit. Sejak masa reformasi tahun 1998, pers nasional kembali menikmati kebebasan pers. Hal ini sejalan dengan alam reformasi, keterbukaan, dan demokrasi yang diperjuangkan rakyat Indonesia.

Akibatnya, awal reformasi banyak bermunculan penerbitan pers atau koran, majalah, atau tabloid baru. Di Era reformasi pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang pers. Hal ini disambut gembira dikalangan pers, karena tercatat beberapa kemajuan penting dibanding dengan undang-undang sebelumnya, yaitu Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1982 tentang Pokok-Pokok Pers (UUPP). Dalam Undang-Undang ini, dengan tegas dijamin adanya kemerdekaan pers sebagai hak asasi warga negara (pasal 4). Itulah sebabnya mengapa tidak lagi disinggung perlu tidaknya surat ijin terbit, yaitu terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, dan pelarangan penyiaran sebagaimana tercantum dalam pasal 4 ayat 2.

Namun pada kenyataannya saat ini, praktik pers yang sedang berjalan tak ada bedanya layaknya pada masa Orde Lama. Hal dasar yang membedakan adalah kebebasan berpendapat hingga sampai bebas sebebas bebasnya. Tak ada aturan kuat untuk membatasi para insan pers untuk mengeluarkan pendapatnya dengan ketajaman pena dan akal pikirnya.

Saat ini tak ada bedanya antara yang benar-benar warga pers dengan para netizen yang sudah banyak berperan dalam perkembangan dunia pemberitaan masa kini. Bahkan jika dilihat dari kontribusi keduanya terhadap dunia dalam berita maka bisa dipastikan bahwa para netizenlah yang lebih berpengaruh dalam semua aspek. Saat ini para netizen bisa berlaku bebas dalam mengeluarkan pendapatnya tanpa harus memiliki kartu pers terlebih dahulu.

Jika dihadapkan pada fenomena semacam itu lalu langkah apa yang seharusnya diambil para warga pers yang sesungguhnya? Apakah harus menuntut kepada pemerintah untuk memberikan aturan tertulis bagi para netizen yang hendak membuat sebuah memberitaan. Atau membiarkan fenomena itu tetap berjalan sebagaimana mestinya sesuai dengan perkembangan zaman. Namun yang pasti, kita semua berharap tetap terjadi suatu kerja sama yang baik antara warga pers dan para netizen untuk menciptakan sebuah berita yang berkualitas yang tak hanya sekedar “Hoax”. (kd)