Sebagai
kaum akademisi, kita telah mengetahui bersama bahwa pemilihan umum atau biasa
kita sebut Pemilu merupakan suatu bentuk kedaulatan rakyat untuk
mengimplementasikan sebuah sistem demokrasi. Dimana pemilu ini merupakan sebuah
mekanisme secara bebas, rahasia, dan tanpa paksaan untuk memilih figur yang
dianggap pantas dan ideal dalam mengisi jabatan-jabatan tertentu. Dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 masalah pemilu diatur dalam
pasal 22E. Untuk undang-undang yang mengatur pemilu, salah satunya adalah
Undang-Undang No.8 tahun 2012. Menurut UU No.8
tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Dalam pasal 1 ayat 1
disebutkan pemilihan umum, selanjutnya disebut pemilu adalah sarana pelaksanaan
kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia,
jujur dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Sebagai warga Negara Indonesia, kita
tentu pernah melewati masa-masa pemilu. Bahkan sebagian dari kita terlibat
aktif di dalamnya. Misalkan Pemilu Legislatif yang bertujuan memilih anggota
DPR, DPRD, serta DPD. Selain itu juga Pemilu Presiden dan Wakil Presiden,
Pemilihan umum Kepala Daerah atau kita kenal dengan PEMILUKADA atau PILKADA
untuk memilih Bupati dan Gubernur, hingga pemilihan kepala desa. Waktu kita
menginjak bangku SMA dulu, pemilu juga diselenggarakan untuk memilih ketua
OSIS. Sekarang ketika kita sudah berada di perguruan tinggi dengan menyandang
status mahasiswa, kita juga dituntut untuk turut berpartisipasi dalam memilih
pimpinan di tingkat mahasiswa.
Sebentar lagi rekan-rekan mahasiswa
Universitas Trunojoyo Madura (UTM) akan melaksanakan pesta demokrasi. Dalam hal
ini, mahasiswa diharapkan berpartisipasi secara aktif untuk memberikan suaranya
alias tidak golput dalam memilih pimpinan mereka di tingkat universitas (Presma
dan Wapresma), di tingkat fakultas (Gubernur dan Wakil Gubernur), maupun di
tingkat program studinya (Ketua Umum dan Wakil Ketua Himpunan Mahasiswa Prodi).
Dalam pesta demokrasi ini mahasiswa juga memilih wakilnya yang akan duduk di
lembaga legislatif yakni Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) baik di tingkat
universitas maupun di tingkat fakultas.
Ketika kita mendengar pembicaraan
mengenai pemilu, kita akan langsung berpikir kepada sebuah istilah yang sangat
identik dengan hal tersebut, yakni kampanye. Kampanye merupakan suatu kegiatan komunikasi yang
dilakukan oleh calon pemimpin
untuk memperkenalkan dan mempromosikan diri agar mendapatkan dukungan dari
objek yang ditujunya. Rogers dan Storey (1987)
mendefinisikan kampanye sebagai “serangkaian tindakan komunikasi yang terencana
dengan tujuan untuk menciptakan efek tertentu pada sejumlah besar khalayak yang
dilakukan secara berkelanjutan pada kurun waktu tertentu”.
Kampanye dapat dilakukan dengan berbagai
cara. Menurut Undang-Undang No.10 Tahun 2008 Pasal 81, kampanye dapat dilakukan
antara lain dengan: pertemuan terbatas, pertemuan tatap muka, media massa cetak dan
media massa elektronik, penyebaran bahan kampanye kepada umum, pemasangan alat
peraga di tempat umum, rapat umum, dan, kegiatan lain yang tidak melanggar
larangan kampanye dan peraturan perundang undangan.
Dalam implementasinya kampanye dengan
metode pertemuan tatap muka merupakan hal yang diangap efektif oleh beberapa
orang yang mencalonkan diri menjadi seorang pemimpin. Hal itu dapat dilihat
dari periode pemilu yang sebelumnya dimana para calon pemimpin melakukan
kampanye dengan terjun kelapangan secara langsung, agar lebih dikenal oleh
masyarakat.
Namun perlu diperhatikan oleh
figur-figur yang mencalonkan diri, bahwasanya diperlukan keselektifan dalam
pemilihan metode kampanye yang akan dijalankan. Sebab kebanyakan metode
kampanye yang telah disebutkan di atas hanya efektif untuk meningkatkan
popularitas tanpa mampu mendongkrak elektabilitas. Jadi hendaknya calon
pemimpin lebih teliti dalam pemilihan metode kampanye agar meraih hasil
maksimal seperti yang diharapkan.
Perlu diketahui bersama, jika hanya
popularitas saja yang terdongkrak tanpa disertai naiknya
elektabilitas, maka masyarakat pada akhirnya hanya mengetahui calon pemimpin
dari tampak luarnya tanpa mengetahui secara detail kepribadian dan juga kinerja
yang nyata.
Kita sebagai kaum akademis seharusnya
mengerti serta bisa lebih selektif dalam menentukan pilihan yang tepat untuk
memilih seorang pemimpin dengan memperhatikan beberapa pertimbangan. Misalnya
kita mengkaji ulang serta menelaah secara mendalam mengenai visi dan misi bakal
calon pimpinan. Kemudian mencari tahu karakter yang sesungguhnya, dimana
karakter ini meliputi sifat, sikap, etos kerja, gaya memimpin, serta moral dan
akhlaq. Selanjutnya kita melihat rekam jejaknya terlebih dahulu, karena rekam
jejak merupakan salah satu aspek penting untuk mengetahui kredibilitas seorang
pemimpin. Selain itu kita juga haruss mengerti dan memahami gaya kampanye dan
komunikasi yang diterapkan bakal calon pemimpin dengan masyarakat. Kita harus
teliti apakah kampanye yang dilakukan bakal calon melanggar tata tertib pemilu,
contohnya kampanye hitam, melebihi batas waktu kampanye, money politic, dan lain sebagainya. Kita jangan melupakan pula
sosok yang berada di belakang calon tersebut. Jangan sampai sosok yang berada
di belakang calon adalah oknum yang justru tidak ingin memajukan negara atau
sebuah lembaga organisasi, dan malah mengantarkannya menuju kehancuran. Yang
terakhir, hendaklah kita mendengarkan suara hati nurani kita. Sebab dari dalam
hati nuranilah sesungguhnya sebuah ketulusan dan keikhlasan berasal. (aan/dpr)