Dalam perkembangannya sendiri, suatu negara yang baru merdeka harus membuat pondasi yang kuat untuk para penerusnya. Akan tetapi, mewujudkan hal itu tidak semudah menanam biji dan membiarkannya tumbuh. Terdapat sisi pro yang mendukung kemajuan bangsanya dan sisi kontra yang sengaja menjatuhkan bangsanya sendiri dengan mengembangkanbiakan ego di atas kepentingan negaranya demi kebutuhan diri sendiri maupun kelompok tertentu.
Beberapa oknum dan kelompoknya, sengaja membuat gerakan khusus untuk melakukan sebuah kudeta besar-besaran. Pengkudetaan besar yang pernah terjadi, tercatat dalam sejarah Indonesia yaitu Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia (G30S-PKI/Gestapu).
Peristiwa tersebut termasuk ke dalam draf “September Hitam” bangsa Indonesia. Sebutan “September Hitam” tidak lepas dari rentetan tragedi kelam dalam sejarah bangsa Indonesia. Jika memutar balik waktu, pada 30 September malam terjadi tragedi berdarah yang menewaskan 6 jenderal dan 1 perwira Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI AD).
Tujuan utamanya untuk melengserkan kepemimpinan Soekarno dan pengubahan ideologi bangsa, dengan pasukan Cakrabirawa dan PKI yang terlibat di dalamnya. Hingga akhirnya, dilakukan sweping secara besar-besaran atas segala hal yang berkaitan dengan PKI dan simpatisannya. Hal itu pun, atas desakan dari warga Indonesia itu sendiri. Kemarahan warga ditunjukkan dengan penghancuran markas dan bangunan PKI di berbagai daerah, serta penangkapan organisasi yang dianggap sebagai simpatisan PKI.
Selain itu, ratusan ribu anggota PKI terasingkan bahkan menjadi korban pembunuhan. Dalam disertasi yang ditulis oleh Iwan Gardono (1992), “The Destruction of The Indonesian Comunist Party (a Comparative Analysis of East Jawa and Bali)” di Harvard University memaparkan angka korban tewas dalam pembantaian 1965/1966 sekitar 430.590 orang. Adapun, “Jumlah korban menurut Komnas HAM di kisaran 500 ribu hingga 3 juta jiwa,” dikutip dari laman situs tempo.co.
Segala tragedi yang bersumber dari peristiwa Gestapu dianggap melanggar Hak Asasi Manusia (HAM). Komisi Nasional HAM (Komnas HAM) mengategorikan peristiwa tersebut sebagai pelanggaran HAM berat. Serta, akan melakukan penyelidikan dan penuntasan kasus tersebut. Hal tersebut didasari laporan dari korban dan keluarga korban.
”Komnas HAM akan terus berupaya dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM yang berat masa lalu termasuk peristiwa 1965-1966. Penyelidikan ini sesuai mandat Komnas HAM dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, kata M. Choirul Anam, Komisioner Komnas HAM saat menjadi narasumber dalam diskusi virtual yang diselenggarakan oleh Institut Demokrasi, Hukum dan HAM (Insersium) Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin pada Rabu (30/09/2020).
Upaya Komnas HAM tersebut, diperkuat dengan adanya Keputusan Presiden (Keppres) No. 17 Tahun 2022 tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat Masa Lalu dan telah ditanda-tangani pada 16 Agustus 2022. Hal ini menuai polemik di kalangan masyarakat Indonesia.
Di sisi lain, Presidium Alumni 212 (PA 212) mempertanyakan Keppres tersebut karena ia menganggap masih ada beberapa pelanggaran HAM dalam masa pemerintahan Presiden Jokowi yang belum diusut tetapi mengusut kasus lama yang pemantik masalahnya dari golongan itu sendiri (red: PKI). Bahkan, pemerintah tidak melakukan upaya untuk mengatasi masalah itu. Kasus teror dan penganiayaan terhadap para ustadz, penceramah, dan pengurus masjid saja tidak diusut dan tidak mendapat perhatian khusus Komnas HAM. Teror tersebut bisa saja sebagai sinyal bangkitnya PKI.
Ditakutkan juga dari Keppres tersebut pemerintah memberikan kompensasi pengganti sosial dan merehabilitasi hak-hak politik PKI. Padahal, PKI pernah menyebarkan paham komunisme yang bertentangan dengan Dasar Negara, Pancasila. Apakah memang ada niatan dari para pejabat negara melakukannya agar dapat menyebarkan paham atheisme, komunisme, leninisme dan marxisme?
Sayangnya, jika dibandingkan dengan pandangan realistis lainnya. Semua sikap yang dilakukan Soeharto untuk membasmi antek-antek PKI melalui tindakan pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran, pemindahan penduduk, penyiksaan, pemerkosaan, penganiayaan dan penghilangan orang secara paksa termasuk ke dalam kategori pelanggaran HAM berat dan korban yang terdampak tidak sedikit. Apalagi, meskipun mereka masuk ke dalam kelompok tersebut tetapi mereka tidak mendalangi dan turut andil dalam pemberontakan. Bahkan masih banyak di antara mereka yang tidak tahu apapun. Justru malah menjadi korban dari akar masalah Gestapu.
Bahkan puluhan tahun berlalu dari peristiwa itu, keluarga terkait sampai saat ini selalu mendapat stigma negatif bahkan judgetment “antek-antek PKI” hanya karena latar belakang kerabat atau orang terdahulunya yang pernah menjadi bagian kelompok tersebut. Bukankah, hal ini sama saja tidak memanusiakan-manusia? Karena pada dasarnya setiap orang bebas untuk hidup dengan apapun latar belakang keluarga dan hidupnya di masa lalu.
Selain itu, dari pendapat beberapa orang yang kontra dengan Keppres tersebut. Memanfaatkan alasan ancaman kedaulatan dan konstitusi negara. Padahal jika ditelisik lebih dalam lagi, orang-orang yang berani bersuara merupakan organisasi masyarakat dari kaum mayoritas kita (muslim). Bisa saja ini hanya pandangan subjektif yang memperbesarkan rasisme terhadap kaum minoritas di negara kita? Meninggikan suara untuk mempertahkan poin sila pertama pancasila tetapi buta akan nilai yang terkandung dalam poin kedua dan kelima pancasila. Secara tidak langsung, pendapat yang dilempar sama saja bersikap diskriminatif dan melanggar perundang-undangan HAM itu sendiri.
Ataukah kemungkinan terburuknya, orang-orang ini memang sengaja mempolitisasi keadaan dengan menyebarkan isu kebangkitan PKI di masyarakat yang notabenenya awam? Menutup sudut pandang pribadi dan tidak melihatnya melalui kacamata HAM itu sendiri. Mereka hanya memperbesar argumentasinya dengan pendapat bodoh, karena hal ini bisa menjadi celah mereka untuk menjatuhkan musuh politiknya.
Pada akhirnya, atas segala sisi pro dan kontra dengan perkiraan-perkiraan tertentu. Ada atau tidaknya celah kebangkitan PKI, tetap dikembalikan kepada kepekaan masyarakat dan sekuat apa keyakinan masyarakat dalam memegang teguh ideologi negara saat ini. Kamu lebih setuju sudut pandang yang mana? (Ast)
Be the first to reply!
Posting Komentar