BINAR TANPA SINAR
"Satu.. Dua.. Tiga.. senyum!"
Satu gambar diambil dari lensa kamera yang terlihat
mahal. Meski kamera telah berhenti menyorot, senyum di bibirnya belum juga
pudar. Wajahnya bersinar bahagia setelah mendapatkan apa yang ia inginkan, begitu
juga suara tepuk tangan terus mengisi setiap sudut aula seolah menyambut riang.
Saat ini, ia tengah berdiri di atas podium dengan
membawa piala bertingkat beserta sertifikat dan hadiah uang tunai. Semua mata
tertuju ke arahnya, orang lain mungkin berangan-angan "Kapan aku akan
seperti dia". Dia yang selalu berusaha meraih apa yang ia inginkan,
selalu melakukan segala sesuatu dengan maksimal, selalu menjadi pandangan bagi
orang lain, selalu berhasil meraih apa yang orang lain ingin raih. Siapa yang
tidak bangga dengannya ? Bahkan orang tuanya pun sering menangis bahagia karena
menyaksikan putri tunggal nya berhasil di jalannya sendiri.
Dia menginspirasi banyak orang lewat prestasi yang
terus diukir, kebanggan dari guru dan teman pun tanpa goyah tetap kokoh.
Sosoknya menjadi tumpuan hidup bagi kedua orang tua, memeluk mimpi serta
harapan orang lain dengan tangan sendiri. Begitu banyak pencapaian telah
diraih, seolah takdir memang memilihnya sebagai satu dari sedikit manusia yang
dianggap beruntung di dunia.
"Hebat kamu Bin, lomba bulan depan ikut lagi gih!
Mayan laah masuk 3 besar dapet duit," Seru temannya yang membujuk untuk
berpartisipasi dalam lomba kepenulisan dan percaya bahwa temannya itu akan
masuk ke peringkat 3 besar.
Sejak kecil, ia telah meraih banyak penghargaan mulai dari lomba renang, piano, hingga debat ilmiah. Ia sering meraih posisi sebagai tiga besar, pencapaiannya yang luar biasa membuat orang tuanya tak pernah berhenti mendorongnya masuk les demi les, berharap mimpi anak mereka tak pernah padam.
"Hmm… nanti dulu ya, minggu depan kan UAS,"
ujarnya dengan senyum yang mulai memudar seolah ragu. Mereka berdua pun
berjalan keluar dari aula dan segera kembali ke kampus dikarenakan masih ada
satu mata kuliah lagi yang harus di ikuti.
Hari itu, Binar pulang malam. Usai menghadiri
penghargaan lomba debat bahasa Inggris di kota, ia tetap harus menjalani
perkuliahan dan kegiatan kemahasiswaan kelas pelatihan Bahasa Inggris yang
membuatnya berada di kampus hingga malam. Ia melepas sepatu dan meletakkannya
di rak, cepat-cepat berjalan ke kamar mandi untuk sekedar mencuci kaki dan
segera masuk ke kamar. Di dalam kamarnya, ia langsung merebahkan tubuhnya berusaha
mengumpulkan energinya untuk kembali.
"Katanya pulang sore Bin, kok baru pulang jam
delapan?" Tanya Ibunya yang berdiri di ambang pintu kamar Binar yang masih
terbuka.
Mendengar suara Ibunya, Binar sedikit mengangkat
kepalanya dan melongok ke arah pintu. "Iya Ma, Binar lupa hari ini ada
praktikum, tadi selesai Binar langsung pulang," jawabnya.
"Kok bisa lupa, di inget-inget dong! Besok Mama
belikan kacang almond ya," ucap Ibunya sambil beranjak pergi.
"Kacang almond lagi" gerutu Binar
dalam hati.
Jika di ingat, sejak kecil Ibunya tidak pernah
membiarkan Binar makan sembarangan. Apalagi soal jajan. Setiap akhir pekan ia
harus makan kacang-kacangan yang katanya dapat membantu memperkuat daya ingat.
Ia jarang sekali memiliki kesempatan untuk memilih makanannya sendiri, atau
bahkan sekedar memberitahu makanan apa yang dia suka. Dalam satu minggu, ia
hanya sekali saja diizinkan untuk menikmati snack, atau bahkan dua minggu
sekali.
Kehidupannya memang sudah terjamin, ia tidak
kekurangan apapun. Binar tumbuh dengan kebutuhan gizi yang baik dan tercukupi
secara materi. Oleh karena itu, dia aktif dalam berbagai kegiatan les setiap
minggu sepulang sekolah sewaktu dia masih sekolah dasar. Tak terlepas dari
sana, ketika dia menginjak sekolah menengah pertama dan menegah atas orang
tuanya tetap mendukung pendidikannya dengan mendaftarkan Binar les ke berbagai
tempat.
Akan tetapi, dibalik setumpuk sertifikat penghargaan
yang ia peroleh, sederet piala yang berjejer di rak kaca ruang tengah terdapat
setitik lubang kecil dalam batinnya yang kini telah melebar. Dari semua yang
telah ia alami dan lakukan, perlahan ia mulai merasa lelah. Perasaan bosan dan
ingin bebas kini perlahan mulai menelisik, terbesit dalam pikirannya hanya
untuk sekali saja ia ingin dianggap sebagai orang yang pemalas.
"Sendiri mungkin akan jauh lebih baik," gumamnya
selama beberapa hari terakhir.
Kini, ketika ia memasuki semester 4, rasa letih
menghadapi dunia perkuliahan semakin nyata. Ia beberapa kali mencoba untuk
tidak mengikuti berbagai macam perlombaan lagi, namun orang tuanya selalu
mendorong dengan dalih relasi dan pengalaman. Memang semua itu benar, akan
tetapi hal itu justru membuat semuanya semakin runyam tak berbentuk.
Setiap harinya ia habiskan untuk belajar di bawah
cahaya lampu meja yang mulai meredup karna usia baterai. Bahkan benda
elektronik memiliki waktu untuk meredupkan cahayanya hanya sekedar untuk
beristirahat sejenak.
Bukan semakin termotivasi dan kembali semangat,
tekanan dari lingkungan keluarga terutama orang tua dan beban harapan-harapan
besar dari banyak orang semakin membuat gadis itu meredupkan cahayanya. Untuk
pertama kalinya Binar telah melangkah mundur,
"Bin! Ini kenapa nilai UAS kamu jeblok begini?!
Turun drastis loh bukan cuma satu dua angka,”
"Padahal ini rekap nilai tugas-tugasmu bagus.
Kelihatan kamu rajin ngerjain tugas. Jadi kenapa UAS bisa anjlok begini?!"
"Mulai malas?" sergah mamanya.
Ia sudah menduga akan dihujani dengan pertanyaan
seperti itu. Binar ingin menjelaskan semuanya, bahwa selama ini ia hanya butuh
ruang. Namun, hanya untuk sedikit membuka mulutnya ia tidak bisa melakukannya.
Ia kembali menduga-duga, pasti segala alasan yang ia jelaskan akan terdengar
sia-sia. Di satu sisi, Orang tuanya hanya mengetahui apa yang mereka lihat,
bukan apa yang anak mereka rasakan. Begitu juga dengan Binar, ia tak mampu
menjelaskan apa yang selama ini ia rasakan dan memberitahu apa yang ia inginkan.
Binar mencoba berdiri meski langkahnya gemetar.
Perlahan, ia berjalan menjauhi ibunya yang masih duduk membisu, kaki bersilang
dan mata menyelidik. Tak sepatah kata pun terucap. Ia hanya menunduk, lidahnya
kelu, suara tercekat dalam isakan pelan yang tak terbendung. Wajahnya basah,
carut-marut oleh air mata dan rasa yang tak sempat terucap.
Pintu kamar ditutup pelan, dan untuk pertama kalinya,
dikunci rapat dari dalam. Perasaan yang sejak tadi menggebu, kini menyesaki
dada. Tak ada lagi suara. Ia meringkuk di lantai, memeluk lututnya sendiri
dalam gelap yang hening.
Malam itu, Binar tak ingin dimengerti ia hanya ingin
dibiarkan. Cahaya yang selama ini bersinar, kini mulai redup. (IVeed)