Riuh yang Sunyi
Halaman sekitar
Gedung Pertemuan dipadati lautan manusia. Toga hitam berdesakan, kamera
berkilat di setiap sudut, dan suara panggilan nama yang menggema tiada henti. Di
tengah riuh keramaian, aku melangkah perlahan, menggenggam erat buket bunga
yang sejak tadi membuat telapak tanganku basah oleh keringat.
Sejak pagi aku mencoba
menenangkan diri, meyakinkan hati bahwa semuanya akan baik-baik saja. Tapi
setibanya di halaman wisuda, gelak tawa, kilatan kamera, dan tepuk tangan yang
pecah silih berganti justru membuatku kian gelisah. Saat itu aku sadar, detak jantungku jauh lebih
berisik daripada keramaian di sekelilingku.
Teman-temanku
berjalan di sekitarku, berceloteh tanpa henti. Ada yang sibuk mengomentari riasan
orang-orang, ada juga yang sudah sibuk merencanakan akan berfoto dengan gaya
apa nanti. Aku hanya diam, membiarkan suara mereka melintas seperti dengung
samar yang tak benar-benar menembus pikiranku. Mataku terus bergerak, mencari
sosok yang sejak tadi memenuhi kepalaku, meski langkahku tetap mengikuti
rombongan. Sementara itu, temanku yang lain sudah menghubungi Kak Farhan lewat
WhatsApp, untuk menanyakan dimana posisinya. Aku sendiri tak sanggup mengetik
sepatah kata pun. Jari-jariku terlalu sibuk berkeringat di balik kertas
pembungkus bunga yang sedang kupegang.
Setiap langkah
menuju Gedung Pertemuan terasa berlapis gema. Degup jantungku memantul di
telinga, lebih nyaring daripada teriakan yel-yel mahasiswa yang tengah mengarak
para wisudawan. Pertanyaan demi pertanyaan terus muncul di kepalaku. Apa dia
akan terkejut? Apa dia akan mengerti maksud dari surat kecil yang kuselipkan di
antara bunga? Atau justru apakah ia akan pura-pura tak membaca, dan membiarkanku
menebak-nebak dalam diam?
Lalu mataku
menemukannya, sosok yang bersinar di tengah keramaian, sibuk mengikat kenangan
lewat kamera. Toga hitamnya rapi, dan senyumnya, senyum yang sejak dulu jadi
pusat mataku berlabuh terlihat sama hangatnya seperti setiap kali kami bertemu.
Sekilas, hiruk pikuk di sekeliling seperti menjauh, menyisakan ruang sempit
yang hanya berisi tatapanku yang tak bisa berpaling darinya.
Kami maju
bersama, rombongan kecil yang membawa buket dan hadiah-hadiah lainnya. Tawa
teman-temanku mengiringi langkah, tapi bagiku semuanya seperti kabur. Saat tiba
giliranku, aku mengulurkan buket bunga dengan tangan bergetar. “Selamat, kak,”
ucapku, nyaris tenggelam di tengah riuh sorakan sekitar.
Ia menerimanya
dengan senyum yang begitu lembut, seakan itu hanya satu dari sekian banyak
bunga yang ia terima hari itu. Tidak ada tatapan heran, tidak ada tanda bahwa
ia sadar di antara tangkai bunga itu tersembunyi amplop mungil berisi kata-kata
yang kutulis berulang kali semalam. Kata-kata yang akhirnya berhasil keluar
dari dadaku, meski tak langsung dari bibirku.
Setelah itu,
semuanya kembali larut dalam keramaian. Kami berfoto, tertawa, ikut berceloteh
bersama. Aku bahkan sempat lupa kalau ada sesuatu yang menunggu di tangannya,
sesuatu yang akan segera ia baca.
Menjelang malam,
ketika satu per satu teman pulang dengan cerita dan lelah masing-masing, aku
ikut berjalan bersama mereka. Langkah kami berpisah di persimpangan, tapi
pikiranku masih tertuju pada buket yang kini ada di tangannya. Ada debar yang
tak bisa kutenangkan, seolah udara malam menahan sesuatu yang sebentar lagi
akan pecah. Perjalanan pulang pun kulalui dengan hening, hanya langkah kakiku
yang beradu dengan aspal. Sesampainya di rumah, aku menaruh barang-barangku,
lalu menyeret tubuhku yang lelah ke kamar mandi. Air dingin yang mengalir di
atas kepala seakan berusaha meredakan riuh yang masih berputar di benakku. Dengan
rambut yang masih menetes, aku masuk ke kamar untuk beristirahat.
Baru saja tubuhku
merebah di kasur, ponsel di meja bergetar pelan. Muncul sebuah notifikasi yang
langsung membuat dadaku menegang. Dari namanya yang terpampang, aku tahu itu
darinya. Bukan rangkaian kata panjang, hanya beberapa kalimat sederhana: “Terima kasih untuk bunganya. Maaf ya, aku nggak
bisa membalas perasaanmu. Aku
harap suatu saat kamu bisa menemukan seseorang yang lebih baik.”
Aku menatap lama
layar ponselku, berusaha mencerna huruf demi huruf yang terasa seperti batu
menimpa dada. Senyum di wajahnya sore tadi masih jelas tergambar di kepalaku,
tapi kini senyum itu berubah jadi jarak. Tiba-tiba, semua sorak-sorai yang
kudengar sepanjang hari tadi kembali terngiang, hanya saja kali ini terdengar
lebih hampa. Seperti gema dari sebuah ruangan besar yang tak lagi berisi siapa
pun.
Aku merebahkan
diri, membiarkan lengkung malam menutup hari yang begitu riuh. Teriakan, tawa,
dan tepuk tangan yang tadi menggema di kampus kini hanya tinggal bayangan
samar, berganti menjadi sunyi yang terasa lebih bising dari keramaian itu
sendiri. Di layar ponselku, satu pesan darinya masih terbuka, ucapan terima
kasih sekaligus penolakan halus yang tak bisa kubantah. Sore tadi segalanya
tampak begitu meriah, seakan dunia memberiku panggung untuk menyelipkan harapan
kecil di antara buket bunga. Namun, yang tersisa kini hanyalah sepi yang
menekan dada, seolah semua sorak sore tadi berbalik menjadi gema hampa.
Aku menatap layar
ponsel itu sekali lagi, lalu memejamkan mata. Barangkali memang beginilah
caranya dunia menjawab perasaan yang tumbuh diam-diam, dengan menghadirkan
kenyataan pahit yang mengiris seperti pecahan kaca. Dalam kesunyian kamar yang
gelap, aku hanya bisa mendengar detak jantungku sendiri, lirih, nyaris tak
terdengar, dan mencoba meyakinkan hati bahwa esok aku akan baik-baik saja. (Anot)
Be the first to reply!
Posting Komentar