Gerakan Mahasiswa Teknik Gelar Aksi Mimbar Bebas 


SAINT NEWS – Kelompok Mahasiswa yang mengatasnamakan Gerakan Mahasiswa Teknik menggelar aksi mimbar bebas di depan gedung Ruang Kuliah Bersama F (RKB-F), pada 19 Agustus 2025. Aksi dimulai pukul 10.40 WIB dan berlanjut hingga akhirnya mereka meminta audiensi dengan pihak dekanat pada pukul 11.40 WIB karena merasa aspirasi yang disampaikan tidak mendapatkan respon dari pihak fakultas. Aksi ini bertujuan membuka ruang bagi mahasiswa teknik untuk menyampaikan aspirasi secara langsung. 

 

Koordinator Lapangan, Khoirul Anam menyampaikan bahwa tujuan aksi mimbar bebas ini adalah agar aspirasi mahasiswa dapat di dengar langsung oleh Dekan FT 

 

“Dengan adanya mimbar bebas ini, menjadi ruang untuk mahasiswa teknik. Karena saya melihat teman-teman ini penyampaian aspirasinya itu kurang didengar oleh pihak kampus dan penyampaian aspirasi melalui media online itu juga kurang tanggapan. Jadi ini biar pak dekan langsung tau keresahan dari mahasiswa itu sendiri,” ujarnya.  

 

Khoirul juga menjelaskan terkait beberapa aspirasi yang disampaikan dalam mimbar bebas 

“Untuk aspirasinya yang pertama kita mengevaluasi, apasih yang sudah selesai dan apa kekurangannya disitu. Terus yang kedua kita meminta untuk membuat suatu grup evaluasi bareng gitu, jadi pemimpin itu bisa langsung tau aduannya. Soalnya kan temen-temen ini merasa malu lah istilahnya seperti itu dalam menyampaikan aspirasinya. Mungkin dari situ, bisa bareng-bareng menyampaikannya,” jelasnya.  

 

Wakil Dekan (Wadek) III FT, Achmad Jauhari menyatakan keterbukaan FT terhadap segala bentuk masukan yang sesuai dengan Standar Operasional Prosedur (SOP). 

 

Kami dari dulu memang selalu terbuka, tapi memang harus dilaksanakan sesuai SOP. Memang agak disayangkan oleh kami, karena terkirim suratnya itu kan di hari non aktif. Kemudian di suratnya menyebutkan mimbar bebas, kalo mimbar bebas kan sebenarnya mereka berorasi aja di luar. Kami dari pihak dekanat juga tidak pernah mengintervensi masukan-masukan dalam bentuk apapun asal sesuai SOP,” tuturnya. 

 

Ia juga mengungkapkan akan melakukan evaluasi secara berkala yang diaspirasikan. 

 

“Kalau kami tetep akan melakukan evaluasi secara berkala untuk perbaikan sarpras, kurikulum, dan pelayanan. Itu udah agenda kami memang sebenarnya. Kalo misal pun ada kekurangan, ya mohon koreksinya. Karena Sumber Daya Manusia (SDM) kami juga terbatas, tidak bisa mengawasi setiap hari,” ungkapnya.(SK)

 

 

Romeltea Media
LPM - SAINT Updated at:

 

Apresiasi Mulai Kehilangan Arti

Sumber : https://699pic.com/tupian-500997945.html

Dewasa ini, momen seperti ulang tahun guru, hari perpisahan, maupun kenaikan kelas sering dimeriahkan dengan pemberian kejutan beserta hadiah dari murid kepada guru. Sekilas hal ini terlihat sebagai bentuk penghargaan dan kasih sayang. Namun, saat hal ini berubah menjadi kebiasaan yang seolah wajib, bahkan sampai memunculkan tekanan sosial, kita perlu bertanya, apakah ini masih tulus atau sudah menjadi kebiasaan yang menyimpang?

Pemberian hadiah kepada guru yang semula berniat baik kini malah menjurus pada suatu kebiasaan yang menyimpang. Tradisi ini, yang awalnya hanya dilakukan secara sukarela oleh segelintir siswa sebagai bentuk terima kasih, lambat laun berubah menjadi semacam “kewajiban sosial” yang tidak tertulis. Di beberapa lingkungan sekolah, murid yang tidak ikut memberi hadiah sering kali merasa bersalah dan bahkan sampai mendapatkan tekanan dari teman sebayanya. Fenomena ini menunjukkan bahwa kegiatan memberi hadiah telah mengalami pergeseran makna dari bentuk apresiasi menjadi ajang formalitas dan simbol status sosial.

Secara etika, hal ini menjadi persoalan yang serius. Guru adalah pendidik sekaligus teladan, yang seharusnya menjaga integritas dan menjunjung tinggi profesionalisme. Terlebih lagi jika guru berstatus sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN), maka ada aturan hukum yang mengatur larangan menerima hadiah dalam bentuk apapun dari peserta didik atau wali murid. Jika tidak dikritisi, kebiasaan ini dapat menanamkan pola pikir keliru bahwa penghormatan atau kedekatan dapat dibangun dengan materi, bukan melalui sikap dan prestasi.

Tradisi memberi hadiah kepada guru memang kerap dianggap sebagai wujud kasih sayang. Namun jika tidak diatur dengan bijak, kebiasaan ini dapat menimbulkan tekanan sosial yang tidak disadari. Tidak sedikit siswa merasa terpaksa karena tidak mampu ikut serta, dan akhirnya merasa bersalah atau dikucilkan. Apalagi jika muncul anggapan bahwa pemberian hadiah bisa menciptakan hubungan yang lebih dekat lagi dengan guru, hal ini dapat mencoreng nilai keadilan dan menjauhkan siswa dari pemahaman makna apresiasi yang sesungguhnya. Hubungan guru dan murid seharusnya dibangun oleh semangat belajar dan saling menghormati, bukan oleh kebiasaaan memberi dan menerima hadiah.

Jika ditinjau dari sudut pandang hukum, kebiasaan memberi hadiah kepada guru juga tidak sejalan dengan peraturan yang berlaku. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, khususnya Pasal 12B ayat (1) menyatakan bahwa “Setiap bentuk gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dapat dianggap sebagai suap apabila berhubungan dengan jabatan dan bertentangan dengan kewajiban atau tugasnya.” Hal ini berlaku juga bagi guru yang berstatus sebagai ASN, yang dilarang menerima hadiah dalam bentuk apapun dari peserta didik atau wali murid. Selain itu, Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin PNS pada Pasal 5 huruf k menegaskan bahwa “Pegawai Negeri Sipil dilarang menerima hadiah yang berkaitan dengan jabatan dan/atau pekerjaannya.” Bahkan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) secara rutin menerbitkan surat edaran agar ASN menolak segala bentuk pemberian, termasuk pada momen perayaan seperti ulang tahun, perpisahan, maupun saat hari besar nasional. Artinya, pemberian hadiah kepada guru ASN bukan hanya keliru secara etika, tapi juga berpotensi untuk melanggar hukum

Sebagian orang mungkin berpendapat bahwa memberi hadiah adalah bentuk kepedulian dan tidak ada salahnya selama hal tersebut dilakukan secara sukarela. Bahkan, bagi beberapa siswa, memberi sebuah hadiah menjadi cara mereka menunjukkan rasa hormat yang tidak dapat mereka ungkapkan dengan kata-kata. Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa banyak siswa merasa terpaksa mengikuti tradisi ini karena tekanan lingkungan. Selain itu, tidak semua hadiah diberikan secara murni dari inisiatif siswa. Tak jarang, orang tua atau kelompok kelas yang memaksanya. Tanpa Batasan yang jelas, kebiasaan ini mudah sekali berubah dari bentuk perhatian menjadi ajang pamer atau bentuk gratifikasi terselubung.

Kebiasaan memberi hadiah kepada guru perlu dilihat dengan lebih kritis. Apresiasi kepada guru memang penting, tapi harus diwujudkan dengan cara yang sehat, adil, dan tidak melanggar norma maupun hukum yang berlaku. Sebagai bentuk penghargaan, sudah semestinya apresiasi terhadap guru diarahkan pada hal-hal yang bersifat non-materi. Sikap hormat, surat ucapan, maupun perilaku yang baik sudah cukup menjadi penghargaan yang lebih bermakna daripada benda maupun uang. Dengan menjaga profesionalitas dan menghindari pemberian yang berpotensi melanggar aturan, kita turut menciptakan lingkungan pendidikan yang bersih dan berintegritas. Sekolah dan masyarakat perlu berperan aktif dalam membangun kesadaran bahwa ketulusan tidak harus dibungkus dengan materi. (Anot)



Romeltea Media
LPM - SAINT Updated at:





Salam Pers Mahasiswa

Lembaga Pers Mahasiswa Sarana Informasi dan Teknologi kembali menyapamu, pembaca setia, lewat karya sederhana namun penuh makna. 
Buletin RESWARA edisi Juli hadir dengan tema “Dampak Negatif Pembuangan Sampah” sebuah pengingat agar kita tidak hanya menjaga kebersihan lingkungan, tetapi juga merawat kejernihan pikiran.
Lewat edisi ini, kami ingin mengajakmu merenung, bergerak, dan lebih peka terhadap persoalan yang sering kali luput dari perhatian, namun begitu dekat dengan keseharian.
Selamat membaca dan sampai jumpa di edisi berikutnya!

Buletin dapat diakses di :

https://shorturl.at/msvrh


Terimakasih.

Romeltea Media
LPM - SAINT Updated at:

 Oprec Panitia PESONA XXVI Resmi Ditiadakan


SAINT NEWS - Fakultas Teknik Universitas Trunojoyo Madura (FT UTM) resmi meniadakan Open Recruitment (Oprec) Panitia Pengenalan Study dan Organisasi Keluarga Mahasiswa (PESONA) XXVI. Struktur kepanitiaan PESONA dibentuk berdasarkan penunjukan langsung dan koordinasi internal (red: delegasi) sesuai dengan berita acara nomor 010/Spb/DPM-FT/KM-UTM/V/2025 tertanggal 2 Juni 2025. Keputusan ini disepakati dalam rapat koordinasi Badan Kelengkapan (BK) FT pada 27 Mei 2025 dan disetujui oleh Wakil Dekan (Wadek) III Bidang Kemahasiswaan FT.


Wadek III FT, Achmad Jauhari menyatakan bahwa keputusan tersebut disetujui setelah menerima usulan dari BK.


“Teman-teman BK mengajukan dan masuk akal, tidak melanggar peraturan menteri, ya saya setujui,”  ujarnya.


Ia juga mengungkapkan bahwa sempat ada pro dan kontra terkait keputusan tersebut. 


“Yang namanya kesepakatan pasti ada pro kontra, cuma karena lebih banyak yang setuju ya ikut yang lebih banyak,” lanjutnya.


Selaras dengan Wadek III, anggota BK yang tidak ingin disebut namanya menjelaskan terkait alasan pengajuan delegasi secara penuh yang terdiri dari Ormawa.


“Jadi untuk mengantisipasi atau mengurangi panitia-panitia yang sekedar ikut dan tidak pernah ikut kepanitiaan sama sekali, tidak pernah tau mekanisme berorganisasi dan sebagainya. Kita mengajukan delegasi yang isinya itu orang-orang terpilih yang terbaik dari Himpunan dan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) masing-masing,” jelasnya. 


Anggota BK menyebut bahwa salah satu pertimbangan tidak diadakannya Oprec tahun ini karena waktu yang semakin sempit. 


“Untuk Oprec sendiri kenapa tidak diadakan tahun ini? Ya dikarenakan waktunya semakin mepet. Rapat pun belum jalan, jadi kalau diadakan Oprec belum lagi proses interview dan lain sebagainya itu memakan waktu yang cukup panjang, kita mengambil orang-orang yang tidak hanya penasaran saja ikut panitia PESONA atau cuma mau sertifikatnya. Kita mengambil orang-orang yang berkualitas dari himpunan masing-masing,” pungkasnya. (Aly)




Romeltea Media
LPM - SAINT Updated at:

 

Akademik vs Organisasi: Fokus IPK Atau Bangun Relasi


Mahasiswa seringkali dilema saat harus memilih antara harus fokus pada akademik atau aktif dalam organisasi. Sebagian mahasiswa memilih fokus pada akademik demi mendapatkan nilai yang baik, tak sedikit juga yang memilih aktif berorganisasi untuk mengasah keterampilan sosial dan kepemimpinan. Pertanyaannya, apakah mahasiswa harus memilih salah satu di antara keduanya atau bisakah keduanya bejalan beriringan?

Fokus pada akademik merupakan kewajiban utama mahasiswa. Prestasi yang baik akan berpengaruh pada karir karena masih banyak perusahaan yang melihat IPK sebagai syarat rekrutmen pegawai. Berdasarkan data dari Deduktif.id, sektar 64,5% perusahaan di Indonesia mencantumkan IPK sebagai syarat rekrutmen. Selain itu IPK tidak ada hubungannya dengan organisasi yang kita ikuti, yang bisa mempengaruhi IPK adalah pemahaman mahasiswa terhadap materi perkuliahan.

Mahasiswa yang hanya fokus pada akademik dan mengabaikan organisasi kemungkinan akan kesulitan berbaur di dunia kerja. Fakta ini semakin terlihat setelah Bappenas (2024) mengungkapkan banyak Gen-Z yang terkena PHK karena lemahnya soft skills. Padahal organisasi adalah wadah yang ideal untuk mengembangkan berbagai keterampilan bekerja sama, melatih komunikasi, kepemimpinan, dan memahami karakter manusia yang beragam. Selain itu, dunia kerja sekarang juga tidak hanya memandang IPK sebagai tolok ukur rekrutmen namun juga diperlukan kemampuan sosial yang baik dalam bekerja bersama tim. Semua ini bisa dilatih di dalam organisasi. Maka dari itu, mahasiswa yang baik dalam prestasi akademik sekaligus memiliki pengalaman organisasi menjadi kandidat unggul yang siap terjun di dunia kerja.

Sebagian orang menganggap bahwa aktif berorganiasi bisa mengganggu akademik dan berpengaruh pada IPK. Sebaliknya, ada pula yang menganggap organisasi lebih penting karena organisasi adalah hal nyata yang sangat kita butuhkan, bukan sekadar nilai. Nyatanya, anggapan tersebut tidak sepenuhnya benar, tergantung pada kemampuan manajemen waktu mahasiswa. Hanya fokus pada akademik akan membuat seseorang kurang terlatih dalam hal sosial, sementara terlalu fokus pada organisasi dapat mengabaikan kewajiban utama mahasiswa berupa belajar. Oleh karena itu, mahasiswa dapat memilih untuk menyeimbangkan keduanya karena akademik dan organisasi bukanlah dua hal yang bertentangan. Menjalani keduanya bukanlah suatu beban, melainkan investasi kita untuk mengahadapi realita kehidupan.




 

Referensi

Manakah yang Lebih Penting, Akademik atau Organisasi? | kumparan.com

Aduh! Lulus Cum Laude Ugal-ugalan, Sekarang Tetap Jadi Pengangguran - Deduktif.id

Gen Z Banyak Kena "Layoff", Bappenas: karena "Soft Skill" Lemah

Ketika IPK Tinggi Tak Lagi Jadi Jaminan Kesuksesan Karier Halaman 1 - Kompasiana.com


Romeltea Media
LPM - SAINT Updated at:

 
back to top