Apresiasi Mulai Kehilangan Arti

Sumber : https://699pic.com/tupian-500997945.html

Dewasa ini, momen seperti ulang tahun guru, hari perpisahan, maupun kenaikan kelas sering dimeriahkan dengan pemberian kejutan beserta hadiah dari murid kepada guru. Sekilas hal ini terlihat sebagai bentuk penghargaan dan kasih sayang. Namun, saat hal ini berubah menjadi kebiasaan yang seolah wajib, bahkan sampai memunculkan tekanan sosial, kita perlu bertanya, apakah ini masih tulus atau sudah menjadi kebiasaan yang menyimpang?

Pemberian hadiah kepada guru yang semula berniat baik kini malah menjurus pada suatu kebiasaan yang menyimpang. Tradisi ini, yang awalnya hanya dilakukan secara sukarela oleh segelintir siswa sebagai bentuk terima kasih, lambat laun berubah menjadi semacam “kewajiban sosial” yang tidak tertulis. Di beberapa lingkungan sekolah, murid yang tidak ikut memberi hadiah sering kali merasa bersalah dan bahkan sampai mendapatkan tekanan dari teman sebayanya. Fenomena ini menunjukkan bahwa kegiatan memberi hadiah telah mengalami pergeseran makna dari bentuk apresiasi menjadi ajang formalitas dan simbol status sosial.

Secara etika, hal ini menjadi persoalan yang serius. Guru adalah pendidik sekaligus teladan, yang seharusnya menjaga integritas dan menjunjung tinggi profesionalisme. Terlebih lagi jika guru berstatus sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN), maka ada aturan hukum yang mengatur larangan menerima hadiah dalam bentuk apapun dari peserta didik atau wali murid. Jika tidak dikritisi, kebiasaan ini dapat menanamkan pola pikir keliru bahwa penghormatan atau kedekatan dapat dibangun dengan materi, bukan melalui sikap dan prestasi.

Tradisi memberi hadiah kepada guru memang kerap dianggap sebagai wujud kasih sayang. Namun jika tidak diatur dengan bijak, kebiasaan ini dapat menimbulkan tekanan sosial yang tidak disadari. Tidak sedikit siswa merasa terpaksa karena tidak mampu ikut serta, dan akhirnya merasa bersalah atau dikucilkan. Apalagi jika muncul anggapan bahwa pemberian hadiah bisa menciptakan hubungan yang lebih dekat lagi dengan guru, hal ini dapat mencoreng nilai keadilan dan menjauhkan siswa dari pemahaman makna apresiasi yang sesungguhnya. Hubungan guru dan murid seharusnya dibangun oleh semangat belajar dan saling menghormati, bukan oleh kebiasaaan memberi dan menerima hadiah.

Jika ditinjau dari sudut pandang hukum, kebiasaan memberi hadiah kepada guru juga tidak sejalan dengan peraturan yang berlaku. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, khususnya Pasal 12B ayat (1) menyatakan bahwa “Setiap bentuk gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dapat dianggap sebagai suap apabila berhubungan dengan jabatan dan bertentangan dengan kewajiban atau tugasnya.” Hal ini berlaku juga bagi guru yang berstatus sebagai ASN, yang dilarang menerima hadiah dalam bentuk apapun dari peserta didik atau wali murid. Selain itu, Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin PNS pada Pasal 5 huruf k menegaskan bahwa “Pegawai Negeri Sipil dilarang menerima hadiah yang berkaitan dengan jabatan dan/atau pekerjaannya.” Bahkan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) secara rutin menerbitkan surat edaran agar ASN menolak segala bentuk pemberian, termasuk pada momen perayaan seperti ulang tahun, perpisahan, maupun saat hari besar nasional. Artinya, pemberian hadiah kepada guru ASN bukan hanya keliru secara etika, tapi juga berpotensi untuk melanggar hukum

Sebagian orang mungkin berpendapat bahwa memberi hadiah adalah bentuk kepedulian dan tidak ada salahnya selama hal tersebut dilakukan secara sukarela. Bahkan, bagi beberapa siswa, memberi sebuah hadiah menjadi cara mereka menunjukkan rasa hormat yang tidak dapat mereka ungkapkan dengan kata-kata. Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa banyak siswa merasa terpaksa mengikuti tradisi ini karena tekanan lingkungan. Selain itu, tidak semua hadiah diberikan secara murni dari inisiatif siswa. Tak jarang, orang tua atau kelompok kelas yang memaksanya. Tanpa Batasan yang jelas, kebiasaan ini mudah sekali berubah dari bentuk perhatian menjadi ajang pamer atau bentuk gratifikasi terselubung.

Kebiasaan memberi hadiah kepada guru perlu dilihat dengan lebih kritis. Apresiasi kepada guru memang penting, tapi harus diwujudkan dengan cara yang sehat, adil, dan tidak melanggar norma maupun hukum yang berlaku. Sebagai bentuk penghargaan, sudah semestinya apresiasi terhadap guru diarahkan pada hal-hal yang bersifat non-materi. Sikap hormat, surat ucapan, maupun perilaku yang baik sudah cukup menjadi penghargaan yang lebih bermakna daripada benda maupun uang. Dengan menjaga profesionalitas dan menghindari pemberian yang berpotensi melanggar aturan, kita turut menciptakan lingkungan pendidikan yang bersih dan berintegritas. Sekolah dan masyarakat perlu berperan aktif dalam membangun kesadaran bahwa ketulusan tidak harus dibungkus dengan materi. (Anot)



Romeltea Media
LPM - SAINT Updated at:

 
back to top