Apresiasi
Mulai Kehilangan Arti
Dewasa ini, momen seperti ulang tahun guru, hari perpisahan,
maupun kenaikan kelas sering dimeriahkan dengan pemberian kejutan beserta
hadiah dari murid kepada guru. Sekilas hal ini terlihat sebagai bentuk penghargaan
dan kasih sayang. Namun, saat hal ini berubah menjadi kebiasaan yang seolah
wajib, bahkan sampai memunculkan tekanan sosial, kita perlu bertanya, apakah
ini masih tulus atau sudah menjadi kebiasaan yang menyimpang?
Pemberian hadiah kepada guru yang semula berniat baik kini
malah menjurus pada suatu kebiasaan yang menyimpang. Tradisi ini, yang awalnya
hanya dilakukan secara sukarela oleh segelintir siswa sebagai bentuk terima
kasih, lambat laun berubah menjadi semacam “kewajiban sosial” yang tidak
tertulis. Di beberapa lingkungan sekolah, murid yang tidak ikut memberi hadiah
sering kali merasa bersalah dan bahkan sampai mendapatkan tekanan dari teman
sebayanya. Fenomena ini menunjukkan bahwa kegiatan memberi hadiah telah
mengalami pergeseran makna dari bentuk apresiasi menjadi ajang formalitas dan
simbol status sosial.
Secara etika, hal ini menjadi persoalan yang serius. Guru
adalah pendidik sekaligus teladan, yang seharusnya menjaga integritas dan
menjunjung tinggi profesionalisme. Terlebih lagi jika guru berstatus sebagai
Aparatur Sipil Negara (ASN), maka ada aturan hukum yang mengatur larangan
menerima hadiah dalam bentuk apapun dari peserta didik atau wali murid. Jika
tidak dikritisi, kebiasaan ini dapat menanamkan pola pikir keliru bahwa
penghormatan atau kedekatan dapat dibangun dengan materi, bukan melalui sikap
dan prestasi.
Tradisi memberi hadiah kepada guru memang kerap dianggap
sebagai wujud kasih sayang. Namun jika tidak diatur dengan bijak, kebiasaan ini
dapat menimbulkan tekanan sosial yang tidak disadari. Tidak sedikit siswa
merasa terpaksa karena tidak mampu ikut serta, dan akhirnya merasa bersalah
atau dikucilkan. Apalagi jika muncul anggapan bahwa pemberian hadiah bisa
menciptakan hubungan yang lebih dekat lagi dengan guru, hal ini dapat mencoreng
nilai keadilan dan menjauhkan siswa dari pemahaman makna apresiasi yang
sesungguhnya. Hubungan guru dan murid seharusnya dibangun oleh semangat belajar
dan saling menghormati, bukan oleh kebiasaaan memberi dan menerima hadiah.
Jika ditinjau dari sudut pandang hukum, kebiasaan memberi
hadiah kepada guru juga tidak sejalan dengan peraturan yang berlaku.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, khususnya Pasal 12B ayat (1) menyatakan
bahwa “Setiap bentuk gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara
negara dapat dianggap sebagai suap apabila berhubungan dengan jabatan dan
bertentangan dengan kewajiban atau tugasnya.” Hal ini berlaku juga bagi guru
yang berstatus sebagai ASN, yang dilarang menerima hadiah dalam bentuk apapun
dari peserta didik atau wali murid. Selain itu, Peraturan Pemerintah Nomor 94
Tahun 2021 tentang Disiplin PNS pada Pasal 5 huruf k menegaskan bahwa “Pegawai
Negeri Sipil dilarang menerima hadiah yang berkaitan dengan jabatan dan/atau
pekerjaannya.” Bahkan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) secara rutin
menerbitkan surat edaran agar ASN menolak segala bentuk pemberian, termasuk
pada momen perayaan seperti ulang tahun, perpisahan, maupun saat hari besar
nasional. Artinya, pemberian hadiah kepada guru ASN bukan hanya keliru secara
etika, tapi juga berpotensi untuk melanggar hukum
Sebagian orang mungkin berpendapat bahwa memberi hadiah
adalah bentuk kepedulian dan tidak ada salahnya selama hal tersebut dilakukan
secara sukarela. Bahkan, bagi beberapa siswa, memberi sebuah hadiah menjadi
cara mereka menunjukkan rasa hormat yang tidak dapat mereka ungkapkan dengan
kata-kata. Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa banyak siswa merasa
terpaksa mengikuti tradisi ini karena tekanan lingkungan. Selain itu, tidak
semua hadiah diberikan secara murni dari inisiatif siswa. Tak jarang, orang tua
atau kelompok kelas yang memaksanya. Tanpa Batasan yang jelas, kebiasaan ini
mudah sekali berubah dari bentuk perhatian menjadi ajang pamer atau bentuk
gratifikasi terselubung.
Kebiasaan memberi hadiah kepada guru perlu dilihat dengan
lebih kritis. Apresiasi kepada guru memang penting, tapi harus diwujudkan
dengan cara yang sehat, adil, dan tidak melanggar norma maupun hukum yang
berlaku. Sebagai bentuk penghargaan, sudah semestinya apresiasi terhadap guru
diarahkan pada hal-hal yang bersifat non-materi. Sikap hormat, surat ucapan,
maupun perilaku yang baik sudah cukup menjadi penghargaan yang lebih bermakna
daripada benda maupun uang. Dengan menjaga profesionalitas dan menghindari
pemberian yang berpotensi melanggar aturan, kita turut menciptakan lingkungan
pendidikan yang bersih dan berintegritas. Sekolah dan masyarakat perlu berperan
aktif dalam membangun kesadaran bahwa ketulusan tidak harus dibungkus dengan
materi. (Anot)