Anita (Di Ujung Jalan)


Di sebuah desa kecil yang dikelilingi hamparan sawah hijau sejauh mata memandang, angin sepoi-sepoi berembus membawa aroma padi yang mulai menguning. Burung-burung pipit beterbangan di langit, sementara suara gemericik air dari irigasi mengalir tenang di antara petak-petak sawah. Desa itu masih kental dengan nuansa tradisional rumah-rumah kayu berjajar rapi dengan pekarangan yang dipenuhi tanaman obat dan bunga-bunga berwarna-warni.

Di sanalah Anita Lestari tumbuh dan menjalani kesehariannya. Gadis sederhana yang selalu dipanggil Anita ini adalah anak tunggal dari keluarga petani yang hidup dengan penuh kesederhanaan. Ayahnya menghabiskan hari-harinya di sawah, bercocok tanam dengan tangan kasar yang penuh dedikasi, sementara ibunya berdagang kue tradisional di pasar setiap pagi. Meskipun hidup dalam keterbatasan, Anita tak pernah berhenti bermimpi. Ia ingin melanjutkan pendidikan hingga ke perguruan tinggi dan menjadi seorang arsitek sebuah impian besar yang tampak begitu jauh, tetapi tak pernah ia lepaskan.

Setiap malam, setelah membantu ibunya menyiapkan kue untuk dijual, Anita selalu menyempatkan diri duduk di meja belajarnya yang sederhana. Meja itu terbuat dari kayu tua yang sudah sedikit usang, dengan beberapa coretan kecil bekas latihan menggambar denah rumah, salah satu caranya untuk tetap dekat dengan mimpinya menjadi seorang arsitek. Meski lampu belajar redup dan tubuhnya lelah, ia tetap berusaha menyelesaikan tugas kuliahnya dengan penuh semangat.

Namun, malam itu berbeda. Udara terasa lebih berat, dan keheningan di dalam rumah semakin menyesakkan setelah ibunya menyampaikan kabar yang tak pernah ingin ia dengar.

"Anita, Ibu ingin bicara," suara ibunya terdengar lembut, tetapi ada kegelisahan yang tak bisa disembunyikan.

Anita menatap wajah ibunya yang tampak lebih lelah dari biasanya. Garis-garis halus di wajah wanita itu seolah semakin dalam, mungkin karena beban pikiran yang semakin berat.

"Ayahmu mengalami gagal panen tahun ini... dan pemasukan kita semakin menipis," lanjut ibunya dengan suara lirih.

Anita menelan ludah. Ia sudah sering melihat perjuangan orang tuanya untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka. Ayahnya yang bekerja keras di sawah dari pagi hingga sore, dan ibunya yang bangun sebelum fajar untuk membuat kue dan menjualnya di pasar. Ia tahu betapa sulitnya mereka berusaha agar dirinya bisa kuliah.

"Ibu... apa aku harus berhenti kuliah saja?" tanyanya, suaranya bergetar. Kata-kata itu terasa berat keluar dari bibirnya, seolah mengkhianati semua kerja keras yang telah ia lakukan selama ini.

Ibunya tersenyum lembut, meskipun matanya sedikit berkaca-kaca. "Nak, Ibu masih punya sedikit uang simpanan. Seharusnya uang itu untuk persiapanmu nanti, jika sudah berkeluarga. Tapi kalau kamu mau, uang itu bisa kita gunakan untuk biaya kuliahmu."

Anita terdiam. Ia tahu betul bahwa uang itu tidaklah banyak, dan pasti akan segera habis jika digunakan untuk membayar kuliah. Selain itu, ia juga khawatir tentang bagaimana keluarganya akan bertahan dengan kondisi keuangan yang semakin sulit.

"Ibu, kalau aku menggunakan uang itu... bagaimana dengan biaya hidup kita nanti?" tanyanya ragu.

Ia menunduk, mencoba menahan air mata. Mimpinya terasa begitu dekat, tetapi sekaligus begitu jauh. Ia tidak ingin menjadi beban bagi orang tuanya, tetapi ia juga tidak ingin menyerah begitu saja.

Setelah malam yang penuh pertimbangan dan pergolakan batin, Anita akhirnya mengambil keputusan berat ia akan mengambil cuti kuliah selama satu tahun. Meskipun hatinya terasa sesak membayangkan teman-temannya yang terus melangkah maju di bangku perkuliahan, ia tahu bahwa ini adalah pilihan terbaik untuk dirinya dan keluarganya.

"Aku akan bekerja dan mengumpulkan biaya kuliah serta kehidupan sehari-hari," ujarnya mantap di hadapan ibunya. "Aku juga akan mencari pekerjaan yang bisa menyesuaikan dengan jadwal kuliahku nanti. Setelah setahun, aku pasti akan kembali."

Ibunya menatapnya dengan senyum bergetar. Di matanya, ada kilau bangga yang bercampur dengan kesedihan. Ia paham, keputusan ini bukan hal yang mudah bagi putrinya.

Keesokan harinya, Anita mulai mencari pekerjaan. Ia menyusuri setiap sudut desa, bertanya dari satu tempat ke tempat lainnya. Namun, mencari pekerjaan bagi seorang mahasiswi tanpa pengalaman ibarat mencari jarum di tumpukan jerami – sulit, dan nyaris mustahil. Beberapa tempat menolaknya tanpa banyak bicara, seolah pekerjaan itu sendiri enggan menyambut dirinya. Setelah beberapa kali mencoba dan dirinya mulai kecewa, akhirnya sebuah Kafe kecil di pinggir desa menerima Anita sebagai pegawai.

Hari-harinya berubah drastis. Ia bangun lebih pagi dari biasanya, membantu ibunya menyiapkan kue untuk dijual. Setelah itu, ia bergegas ke kafe sebelum matahari sepenuhnya terbit. Pekerjaannya di sana tidak mudah—ia harus membersihkan meja, mencuci piring, mengantar pesanan, dan terkadang berdiri berjam-jam tanpa istirahat.

Sering kali, tubuhnya terasa remuk ketika pulang ke rumah. Namun, ia menolak menyerah. Setiap malam, meskipun matanya terasa berat, ia tetap menyempatkan diri untuk belajar untuk mempersiapkan semester depan dan mengejar ketertinggalannya selama dia cuti, Dengan cahaya lampu yang temaram, ia membaca kembali buku-buku kuliahnya, berusaha menjaga semangat dan ilmunya agar tidak luntur.

Meskipun lelah, Anita tidak pernah mengeluh. Setiap rupiah yang ia kumpulkan ia simpan dengan hati-hati, menambah sedikit demi sedikit dana untuk kuliahnya nanti. Terkadang, ia menatap langit malam, bertanya pada dirinya sendiri apakah ia bisa benar-benar kembali ke kampus seperti yang ia impikan. Namun, setiap kali rasa ragu datang ia mengingat tekadnya, bahwa Ia tidak akan menyerah.

Tahun pun berlalu dengan cepat. Anita kini telah Kembali ke dunia perkuliahannya dan mulai terbiasa dengan kebiasaan barunya bekerja di kafe, membantu ibunya, dan belajar di sela-sela waktu luangnya. Meski hidupnya lebih berat dari sebelumnya, ada satu hal yang tidak akan pernah berubah, yaitu tekad dan mimpinya untuk menjadi arsitek yang membara.

Ia menyadari selama ini, ia bukan hanya mengumpulkan uang, tetapi juga mengumpulkan kekuatan dan pengalaman. Ia lebih dewasa, lebih mandiri, dan lebih siap menghadapi dunia. Dengan semangat baru, ia kembali ke kampus, siap menjalani hari-hari yang lebih sibuk karena harus membagi waktu antara kuliah dan bekerja. Tapi satu hal yang pasti, ia tahu bahwa perjuangannya belum selesai. Ini baru awal dari langkah besar menuju mimpinya.

Dua tahun berlalu dengan penuh perjuangan. Hari-harinya di kampus tidaklah mudah. Ia harus beradaptasi kembali dengan suasana akademik setelah setahun vakum. Tugas-tugas kuliah semakin menumpuk, sementara pekerjaannya di kafe tetap menuntut tenaga dan waktu. Tak jarang, ia harus begadang menyelesaikan tugas setelah pulang kerja. Namun, ia tetap bertahan, melawan rasa lelah dan keraguan yang kadang menghampirinya.

Banyak momen sulit yang ia hadapi, dari ujian yang menegangkan hingga rasa iri melihat teman-temannya yang bisa fokus belajar tanpa harus bekerja. Namun, ia menanamkan dalam dirinya keyakinan bahwa setiap tetes keringat dan air mata adalah benih yang suatu hari akan tumbuh menjadi keberhasilan. Semangatnya terus menyala, seperti api kecil yang tak pernah padam meski diterpa angin. Sampai pada suatu hari, Anita berhasil mendapatkan beasiswa untuk tahun terakhirnya. Hal itulah yang menjadi cahaya pertama di ujung lorong panjang perjuangannya, titik terang yang membimbingnya untuk terus melangkah dan menyelesaikan kuliah dengan sebaik-baiknya.

Akhirnya, hari yang dinantikan pun tiba. Anita berdiri di atas panggung wisuda, mengenakan toga kebanggaannya seolah mengenakan mahkota dari seluruh perjuangannya selama ini. Ketika namanya dipanggil dan ijazah diserahkan kepadanya, ia menatap ke arah kerumunan, dan di sana ibunya tersenyum dengan penuh kebanggaan, senyum yang seakan membayar setiap rasa lelah dan pengorbanan yang telah ia lalui. Sementara ayahnya bertepuk tangan begitu keras, seolah ingin menggema ke seluruh penjuru bumi, dengan mata yang nyaris tumpah oleh air mata yang ditahannya.

Air mata Anita hampir jatuh, bukan karena kesedihan, melainkan kebahagiaan yang sulit digambarkan. Rasanya seperti langit dalam dirinya akhirnya cerah setelah sekian lama diguyur hujan. Semua pengorbanan, kelelahan, dan perjuangannya selama ini tidaklah sia-sia, seolah waktu sendiri berbisik, mengakui setiap langkah yang pernah ia tempuh. Ia telah membuktikan bahwa dengan tekad yang kuat, kerja keras, dan doa orang tua, tidak ada yang mustahil.

Dengan ijazah di tangan dan mimpi yang kini semakin dekat, Anita bertekad untuk membangun masa depan yang lebih baik. Ia tidak hanya membawa harapan untuk dirinya sendiri, tetapi juga menenteng cita-cita keluarganya di pundaknya. Dirinya ingin membuktikan bahwa meskipun tumbuh dari tanah yang sederhana, seseorang tetap bisa menjulang tinggi selama ada usaha yang tak kenal lelah dan doa yang terus mengepul ke langit. Baginya, keterbatasan bukanlah tembok, melainkan pijakan awal untuk melompat lebih jauh menuju masa depan yang ia impikan. (Ceklist)



Romeltea Media
LPM - SAINT Updated at:
Get Free Updates:
*Please click on the confirmation link sent in your Spam folder of Email*

Be the first to reply!

Posting Komentar

 
back to top