Dewasa ini, dunia pendidikan Indonesia menjadi pusat perhatian media sebab hadirnya beberapa kontroversi yang mengundang kebingungan di tengah masyarakat. Hal itu juga tidak lepas dari peristiwa besar yang telah terjadi selama beberapa bulan sampai saat ini, yaitu pandemi Covid-19. Pandemi Covid-19 sempat menggegerkan Indonesia, meresahkan masyarakat, hingga menimbulkan kontroversial. Salah satu hal yang hangat diperbicangkan oleh masyarakat dan para media di tengah mewabahnya Covid-19 adalah kebijakan baru Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mengenai pemberdayaan guru sekolah yang lebih baik kedepannya dengan melibatkan organisasi masyarakat yang ada.

Ditinjau lebih dalam, kebijakan ini punya niat baik untuk melibatkan partisipasi publik, “gotong royong” untuk memberdayakan organisasi masyarakat sipil dengan bantuan pendanaan untuk berbagi praktik-praktik terbaik pendidikan melalui pelatihan peningkatan kualitas guru. Oleh karena itu, dengan adanya kebijakan ini diharapkan membuat kemajuan yang signifikan untuk guru dan siswa di Indonesia.

Untuk kebijakan baru itu, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menyebutnya menjadi Program Organisasi Penggerak (POP) Pendidikan. Program tersebut telah dirangkai dan direncanakan secara serius oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) beserta para jajarannya hingga dirasa telah matang untuk diimplementasikan di Indonesia. Saat ini saja dilansir dari (news.detik.com), sudah ada Ada 156 organisasi yang lolos seleksi POP Pendidikan dan akan mendapat pendanaan dari Kemendikbud. Pendanaan POP Pendidikan dibagi dalam beberapa kategori, yaitu Gajah, Macan, dan Kijang. Gajah mendapatkan pendanaan maksimal Rp 20 miliar per tahun, Macan maksimal Rp 5 miliar, dan Kijang maksimal Rp 1 miliar.

Dalam launching awal, ternyata POP Pendidikan sudah banyak mengahadapi teguran, kecaman, dan pembatalan. Dilihat dari banyak sisi, POP Pendidikan masih terlihat begitu lemah dan belum siap untuk diimplementasikan dalam waktu dekat ini. Diwartakan oleh (news.detik.com), bahwa POP Pendidikan tengah menjadi bahan cibiran para masyarakat maupun pengamat pendidikan, dikarenakan sedikitnya ada tiga alasan untuk itu.

Pertama, dua organisasi yang lolos seleksi POP Pendidikan dikenal luas sebagai organisasi Corporate Social Responsibility (CSR) dari dua perusahaan raksasa, yaitu Yayasan Putera Sampoerna dan Yayasan Bhakti Tanoto. Lolosnya dua organisasi CSR yang sudah sangat kaya sumber daya finansial ini melukai rasa keadilan di tengah masyarakat.

Kedua, lolosnya dua organisasi CSR di atas memunculkan kesan bahwa seleksi POP Pendidikan oleh Kemendikbud tidak jelas dan tidak transparan, sehingga memunculkan distrust terhadap POP Pendidikan. Lolosnya organisasi-organisasi yang dianggap tidak jelas rekam jejaknya menambah ketidakpercayaan ini, terlepas Kemendikbud sejak awal sudah mengklaim bahwa seleksi POP Pendidikan dilakukan secara transparan, independen, dan akuntabel.

Ketiga, adanya sense of crisis akibat pandemi Covid-19 yang mengubah dunia pendidikan secara fundamental. Menurut Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), pandemi Covid-19 telah meluluhlantakkan dunia pendidikan. Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) membutuhkan infrastruktur listrik dan internet yang di lapangan sama sekali tidak menunjang, terutama di wilayah 3T. PJJ juga sangat menyulitkan siswa, guru, dan orangtua karena adanya ketimpangan akses terhadap sarana pendukung seperti telepon seluler, laptop, dan kuota internet.

Dilansir dari (rmolbanten.com), Kebijakan dari Kemendikbud mengenai POP Pendidikan adalah kebijakan yang tidak bijak maupun populis (merakyat). Dengan permasalahan ketidak transparan maupun ketidak jelasan dalam merekrut organisasi masyarakat itu, hingga membuat tiga Ormas besar yang awalnya berkenan bergabung dalam menyukseskan pogram tersebut, mundur. Tiga ormas tersebut antara lain, Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU), dan kemudian Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI).

Menurut Ketua Komisi X DPR RI, Syaiful Huda, mengatakan bahwa program yang digagas oleh Kemendikbud perlu dibatalkan sepenuhnya. Ia mengusulkan anggaran POP Pendidikan terlalu besar nominalnya, dan lebih baik dialihkan kepada kebutuhan ponsel dan kuota di masa pembelajaran jarak jauh saat ini, terutama di daerah-daerah terpencil Nusantara. Diwartakan oleh (republika.co.id).

Terlepas dari semua hal sebelumnya, Nadiem Makarin selaku Mendikbud RI tetap ingin melanjutkan POP Pendidikan dan mengimplementasikan secara penuh di Indonesia. Terlihat dari usaha Nadiem, yang mengajak kembali tiga ormas yang sebelumnya mengundurkan dari kerja sama tersebut untuk bersama-sama mendukung secara penuh POP Pendidikan di Indonesia. Kemudian menjelaskan, bahwa kedua yayasan tersebut dipastikan menggunakan skema pembiayaan mandiri untuk mendukung POP Pendidikan tanpa memakai Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), dilansir dari (kompas.com)

Penulis : qyn

Editor : CAN