Melalui Keputusan Presiden Nomor 5 Tahun 1985, ditetapkan Hari Pers Nasional pada tanggal 9 Februari agar dapat diperingati setiap tahunnya. Di masa orde baru tersebut, Presiden Soeharto memilih hari kelahiran dari Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) sebagai Hari Pers Nasional. Hal ini sebagai bentuk jasa yang diberikan oleh para wartawan dan media Pers Nasional kala itu. Wartawan memiliki peran yang sangat krusial di masanya karena mereka adalah aktivis bangsa yang menjadi pendobrak kesadaran nasional masyarakat dengan berbagai macam karya kepenulisan yang tercetak di berbagai surat kabar dari media pers yang ada.

Pers sendiri merupakan suatu badan atau lembaga sosial yang bergerak pada bidang jurnalistik. Sudah selayaknya pers mengemban tugas dan wewenangnya untuk menjadi medium publik dalam menilik, mengolah, dan menyampaikan informasi dari sebuah permasalahan yang ada di masyarakat dalam bentuk tulisan, suara, gambar, data, maupun grafik. Selain itu, hal-hal yang berkaitan dengan kebebasan pers akan selalu diprioritaskan dan diperjuangkan bagi seluruh insan pers yang bertanggung jawab. Dua hal yang tidak dapat terpisahkan itu, karena kebebasan pers (freedom of the press) menjadi hak insan pers yang harus diperjuangkan agar dapat dengan leluasa menuangkan pikiran, menyampaikan pendapat, berkomunikasi dan hak atas informasi. Selain itu, agar mendapat jaminan, pengakuan, dan perlindungan hukum. Wewenang tersebut diberikan oleh pihak konstitusional atau lembaga hukum yang berhubungan dengan bahan-bahan publikasi.

Dalam perkembangannya menjadi wahana komunikasi massa, pers memanfaatkan berbagai media untuk menyalurkan informasi kepada khalayak luas. Mulai dari media cetak, media elektronik, hingga merambah ke media sosial seiring masifnya penggunaan internet dan teknologi informasi. Dikarenakan kehidupan orang-orang masa kini sangat kebergantungan teknologi. Terlihat dari masyarakat yang memerlukan gawai dalam mempermudah aktivitasnya, seperti mengirim uang dengan mobile banking, membaca buku elektronik, dll.

Dengan demikian, perlu adanya hukum yang mengatur lalu lintas informasi dalam linimasa media sosial yang ada. Hal ini dengan tujuan untuk meminimalisir dampak buruk dari kemajuan teknologi informasi di era sekarang. Maka Departemen Komunikasi dan Informasi (Kominfo) mengusulkan sebuah instrumen hukum kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) yang akan membatasi informasi yang tersebar di dunia maya tersebut. Instrumen itu adalah Undang-undang (UU) Nomor 11 Tahun 2008  mengenai Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Namun, ditemukan ketimpangan hukum dalam pasal dan ayat yang terkandung di dalamnya. Menurut Dewan Pers UU ITE menjadi bentuk ancaman nyata bagi kebebasan dan kemerdekaan Pers Nasional. Karena dari sana lahir pasal-pasal karet yang bisa saja dalam penerapannya mengalami kerancuan pemaknaan. Seperti pasal 27 ayat (3) mengenai distribusi atau transmisi informasi atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. Kemudian, Pasal 28 ayat (2), jika sengaja menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan. Setiap orang yang melanggar pasal-pasal itu bisa dihukum penjara enam tahun dan atau denda Rp.1 miliar.

Beberapa pasal tersebut  dapat mengebiri pers agar tidak dapat memberitakan dan menyuarakan dengan lantang celah-celah keburukan berbagai macam kasus korupsi, manipulasi, dan sengketa karena bisa saja dinilai sebagai penyebaran pencemaran atau tindakan kebencian yang menyangkut personal. Jika tidak ada butir-butir pelengkap atas pasal tersebut, maka bisa saja hampir setiap hari akan ada wartawan yang ditangkap ataupun ditahan oleh polisi karena dianggap menyebarkan berita bohong ketika personal maupun kelompok yang dituju merasa tidak sepakat dengan apa yang dituliskan mengenai dirinya.

Selanjutnya, pada Pasal 26 ayat (3) yang berbunyi “Setiap penyelenggara sistem elektronik wajib menghapus informasi elektronik dan/ atau dokumen elektronik yang tidak relevan yang berada di bawah kendalinya atas permintaan orang yang bersangkutan berdasarkan penetapan pengadilan,” yang mana poin inti dari pasal ini dapat menabrakan beberapa peraturan perundang-undangan lain terkait pers. Salah satunya dapat berpeluang memiliki ketegangan dengan UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.

Semisal pemublikasian berita masih mengacu pada poin tersebut akan membukakan kesempatan bagi para pelaku agar mengajukan penghapusan (take down) informasi/berita yang dirasa tidak sesuai dengan keinginan narasumber bahkan pelaku. Padahal, jika ditelaah kembali beragam kejahatan seperti kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat, kekerasan seksual, maupun korupsi tentu akan sangat bersinggungan dengan subjek personal pelaku kejahatan. Maka, jika masih mengacu pada pasal tersebut nilai pakem atas suatu poin hukum yang tertera menjadi subjektif. Belum lagi terdapat frasa “penetapan pengadilan” yang masih berpeluang menimbulkan pelanggaran dan penerapan hukum tidak berjalan dengan semestinya.

Begitu juga terkait dengan pasal pemblokiran pada Pasal 40 ayat (2) yang berisi “Dalam melakukan pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2a), Pemerintah berwenang melakukan pemutusan akses dan/atau memerintahkan kepada Penyelenggara Sistem Elektronik untuk melakukan pemutusan akses terhadap Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar hukum,” termasuk ke dalam tindakan pembatasan HAM. Hal tersebut jika mengacu pada frasa “pemerintah berwenang,” bisa saja pemerintah melakukan tindakan sewenang-wenang dengan power yang dimilikinya. Lalu, tidak adanya transparasi dan proses hukum yang adil.

Problematika ini yang pernah terjadi pada kasus pemblokiran situs media Suara Papua (2016) tanpa menyampaikan terlebih dahulu kepada pihak redaksi media Suara Papua. Kasus lainnya seperti pelambatan internet di Jakarta (2019) dan pelambatan pemutusan internet di Papua (2019). Juga hal ini pernah menimpa salah satu wartawan dari Aurora Media Utama, M. Asrul yang dilaporkan melalui Pasal 28 ayat (2) UU ITE berdasarkan pelaporan anak Walikota Palopo, Farid Kasim Judas pada Juli 2019 karena dianggap menyebarkan berita yang bisa memicu kebencian terhadap personal.

Bertahun-tahun melewati masa, kebebasan dan kemerdekaan pers tidak pernah dibolehkan ada di dalam prinsip “bebas sebebas-bebasnya,” memang benar, bebas yang baik adalah bebas yang bertanggung jawab. Akan tetapi, untuk menegakan kebajikan di dunia yang penuh dengan kecurangan ini, pers sering berada dalam ruang hampa, hampir ada di titik nadir dan terancam mati. Dengan adanya UU ITE yang memiliki pasal karet semakin memperlihatkan bahwa kebebasan dan kemerdekaan pers di Indonesia belum berada di titik aman dan nyaman. Bahkan bisa saja mati suri di kemudian hari.

Kebebasan/kemerdekaan pers bukan sekedar hadiah yang diberikan secara cuma-cuma oleh oknum manapun. Akan tetapi, ia bentuk hasil jerih payah orang-orang yang ingin mengupayakan keadilan dan hak atas dirinya sebagai manusia. Bahkan bentuk penyuaraan atas segala sisi tercela yang harus dibenarkan. Meskipun, itu bukan merupakan tugas utama seorang manusia biasa. Tetapi, hal ini lebih baik daripada membenarkan hal yang salah agar terlihat benar seperti orang-orang berduit yang memanfaatkan elastisitas hukum di negeri ini.

Konsekunsi hukum yang diatur untuk pelaku kejahatan yang dimaksud dalam pasal tersebut dapat menjadikan ancaman dan rongrongan yang akan mengintai keselamatan wartawan yang bertugas. Bahkan setingkat Dewan Pers yang bukan merupakan otoritas hukum, tidak akan mampu menyamai porsi para penegak hukum bertopeng yang melanggar hukum dan haus materil seperti kebanyakan yang ditemui di realitanya. Sehingga, bisa saja dalam menjalankan kebebasannya di publik, akan berkerlimat dalam persoalan kecilnya  peluang banding, kasasi, dan peninjauan kembali keputusan hukum yang ditetapkan.

Memang, sudah menjadi suatu hal yang dilumrahkan tetapi tidak bisa terus dibiarkan. Jika begini hukum dinilai tidak adil bagi orang-orang yang tersudutkan tanpa adanya pertimbangan yang matang dan setara. Apakah hukum akan terus berpihak bagi mereka yang berkuasa dan berduit, sekalipun mereka memiliki kesalahan?

Undang-undang yang disahkan dengan tujuan baik malah bisa saja merugikan beberapa pihak. Khususnya pers dan kemerdekaannya, karena ia yang harusnya mampu menjadi sarana kontrol publik yang efektif malah dibungkam dengan hukum yang ada. Jadi, fungsi hukum bukan untuk menghukum orang-orang yang harusnya dihukum. Bukan begitu? (ast)