Dewasa ini di Indonesia sedang meroket sebuah fenomena. Fenomena ini bukan hal biasa, tetapi fenomena yang luar biasa karena menyangkut kejahatan. Fenomena ini disebabkan terganggunya proses peradilan hukum akibat faktor x yang mungkin bukan rahasia umum lagi. Fenomena tersebut adalah trendi pemotongan masa tahanan bagi para koruptor di Indonesia.

Pada data yang diwartakan, sejak 2019 hingga 2020 sedikitnya 23 koruptor dipotong masa tahanannya dalam tingkat peninjauan kembali (PK) di Mahkamah Agung. Menurut pakar hukum pidana Universitas Indonesia Harkristuti Harkrisnowo, kondisi tersebut disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, si koruptor begitu canggih sehingga dia bisa mengelabui perilaku korupnya melalui jerat hukum. Kedua, jaksa sebagai penyidik ​​dan penuntut kurang antusias, serius dan bertele-tele dalam melakukan penyidikan dan menyiapkan dakwaan yang layak untuk diajukan ke pengadilan. Ketiga, sulitnya menemukan bukti konkrit bahwa Jaksa Penuntut Umum (JPU) harus mengadili para pelaku korupsi.

Fenomena ini dipandang sebagai pertanda gelap dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Ketika putusan hukum yang terlalu ringan, hal itu tidak hanya menggerogoti rasa keadilan masyarakat, tetapi juga bertentangan dengan semangat antikorupsi saat ini. Ilustrasi singkat jika kasus korupsi terjadi pada pejabat publik, yakni hukum terlalu rapuh untuk menjebak mereka. Para pejabat dibebaskan atau dijatuhi hukuman yang sangat ringan. Berbeda jika kasus pidana lain menimpa rakyat jelata, hukumanya begitu beringas menjatuhi dengan pidana yang berat. Bagaikan pedang penegakan hukum di Indonesia, dimana tajam ke bawah, tetapi tumpul ke atas.

 

 

 

 

Trendi Pemotongan Masa Tahanan Bagi Para Koruptor

Menurut Feri Amsari, akademisi Fakultas Hukum Universitas Andalas, berbagai kasus korupsi muncul di Indonesia dan peradilannya tidak lagi berpihak pada pemberantasannya. Hal itu bakal menjadi sebuah adat yang mulai dibiasakan. Kebiasaan itu akan dianggap wajar oleh oknum-oknum tersebut, sehingga menjadi sebuah trendi yang nantinya dilakukan secara berkelanjutan.

Selain itu menurut Zaenur Rohman, peneliti dari Pusat Penelitian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM), ada tiga faktor yang menyebabkan trendi pemotongan masa tahanan koruptor Indoenesia, yakni saat pensiunnya Artidjo Alkostar dari Mahkamah Agung (MA), kepemimpinan KPK saat ini, dan revisi undang-undang KPK.

Bila fenomena ini terus berulang dan tidak segera untuk dibenahi, maka menimbulkan dampak buruk bagi sistem peradialan hukum di Indonesia. Salah satu dampak yang akan sangat terasa adalah kegiatan judicial corruption, dimana sebagian besar terdakwa menyuap penegak hukum (terutama hakim) sehingga hukuman sangat menguntungkan terdakwa. Efek jera hukuman pada koruptor pun melemah, sehingga akan semakin marak kegiatan korupsi di Indonesia kedepannya.

Lalu akankah trendi potongan masa tahanan koruptor Indonesia menjadi hal yang wajar nantinya???

Jika hakim-hakim liberal tidak berhasil memberantas korupsi, kini saatnya memilih hakim partisan dan progresif. Inilah pilihan Indonesia bangun dari keterpurukan hukum. Pendekatan hukum progresif lebih mendekatkan pada keadilan dan kebenaran yang substantif.”

(Umar Sholahudin, Dosen sosiologi hukum FISIP Universitas Wijaya Kusuma Surabaya dalam bukunya ”Hukum dan Keadilan Masyarakat”.) (qyn)