Hari yang sama sepanjang tahun aku lewati dengan monoton tanpa ada lika-liku hidup yang menarik. Pagi saat mentari bangun dari lelapnya malam biasanya aku bangkit dari tidur melangkah ke dalam kamar mandi untuk mandi. Iya Mandi… mau ngapain coba? Naik ke bukit jeddih lalu turun pakai flying fox? Buru-buru sarapan sekedar mengganjel perut dengan susu sereal yang tidak perlu aku sebutkan merknya mungkin sudah tahu lah ya. Jam berdenting 6 kali artinya sudah waktunya untuk bergegas berangkat kerja. Oh iya, Namaku Lutfi 24 tahun bekerja sebagai staf administrasi bagia, nanti aku jelaskan. Seperti hari-hari monoton lainnya aku jalan kaki ke jalan raya menuju ke pelabuhan kamal untuk naik kapal keberangkatan pertama. Mendung berlinang awan abu-abu tak sedikit tampak warna kebiruan. Aku melihat daerah bagian utara di sekitar daerah telang cerah-cerah saja. Memang biasanya begitu, kalau di kamal hujan di telang tidak dan sebaliknya. Pernah pulang dari bangkalan berhenti di telang karena rintik hujan berjatuhan, pakai jas hujan, eh malah di kamalnya terang benderang.

Naik angkot tua catnya warna biru sedikit mengelupas kulihat supirnya juga sudah ekhemm tua. Mungkin mereka lahirnya barengan tapi tidak dengan ibu yang sama. Iya kan? Lalu siapa yang melahirkan angkot? Istrinya bumblebee? Di loket tiket aku turun, beli tiket penyeberangan dari pelabuhan kamal – pelabuhan tanjung perak. Terlihat bapak-bapak penjual Koran menawariku kabar berita yang masih hangat untuk dibaca. Ia menyodorkan beberapa Koran tanpa berbicara tapi aku tak berniat membelinya. “Nggak pak terimakasih” dalam hati, semangat terus pak berkerjanya. Karena ada anak yang malas kuliahnya untuk dibiayai masa-masa di kampusnya. Aku tebak bapak tadi tidak lebih tua dari sopir angkot yang mengantarku karena tidak ada uban yang tumbuh di sela-sela rambut hitamnya. Kupikir uban adalah penentu usia orang lebih tua dari yang tidak memiliki uban. Tetapi ku coba berfikir lagi kemarin sewaktu main ke kontrakan Malik ada uban tumbuh satu helai di rambutnya yang sebahu. Hmm, mungkin karena Malik sudah semester sebelas dan tak kunjung lulus. Anak Fakultas Teknik memang begitu, untung saja aku lulus lebih cepat meskipun telat satu semester. Itu sudah Alhamdulillah. Dan sekarang adalah kehidupan baru yang harus aku tempuh mencari secuil rezeki yang dijanjikan oleh sang pencipta. Menunggu beberapa menit di warung yang dekat pelabuhan karena kapalnya belum datang. Tiba-tiba ada bapak-bapak duduk di sebelahku. “Mau kemana dek? “ ia bertanya menaruh dagangannya di bawah kursi yang kita duduki. Kulihat bapak itu membawa termos dengan dagangan kopi dan juga susu. Tetapi tidak ada sereal yang aku minum tadi dirumah. Coba saja ada, mungkin… ya tidak apa-apa sih. Sudah kenyang. Tidak mau minum lagi. “Berangkat kerja pak” Aku menjawab juga tersenyum kecil. “Bapak jualan di kapal ya?” tanyaku penasaran. Sudah lama pelabuhan di selat Madura ini sepi pengunjung akibat para penumpang yang setia menggunakan jasa penyeberangan kapal beralih ke Jembatan Tol Suramadu sejak selesai dibangun. Ada beberapa pedagang memang yang masih bertahan di pelabuhan untuk berjualan karena tidak ada pekerjaan lain yang bisa dilakukannya. “Iya dek, ini jualan kopi sama susu. Mau coba saya bikinkan?” ia menawariku. Kulihat termosnya sudah usang berwarna merah muda. Terdapat stiker spongebob squarepants yang sedikit mengelupas. Aku ingat sebelum berangkat tadi nonton spongebob. Tahu episode “hidup seperti larry” ? iya itu. “Sudah lama pak kerja di pelabuhan” aku ingin sedikit menggali informasi tentangnya. “Kira-kira sudah 20 tahun saya kerja jualan kopi”. “Berapa dapatnya sehari pak?” ku tanya lagi penasaran. “Ya kalo rame 100 ribu, kalo sepi 50 ribu itu saya kerja dari pagi sampai sore saja dek. Sudah tua saya gak kuat. kadang kalo sudah capek bapak pulang kerumah” jawabnya menjelaskan apa yang ia kerjakan selama ini. Matahari sudah mulai menampakkan teriknya di ufuk timur. Sedikit silau mataku Memang warung dimana aku menunggu menghadap ke timur. Kuning emas mentari dan angin laut pagi bersama sedikit embun yang kian siang memudar. Langit membiru berawan putih. Mendung tadi telah usai tetapi perjuangan hidup belum berakhir. “Cukup pak, untuk kebutuhan sehari-hari?” tanyaku lagi. “Ya kalo dibilang cukup. Di cukup-cukupin dek. Manusia itu selalu kurang dengan apa yang ia inginkan padahal apa yang ia inginkan belum tentu dibutuhkan. Tidak banyak bersyukur atas rejeki yang diberi salah satu penghinaan terhadap Tuhan. Kalo dengan nominal adek menganggap kebutuhan hidup cukup atau tidaknya, lalu bagaimana dengan rezeki yang diberi Tuhan untuk kita yang tidak bernilai” seketika hatiku bergetar mendengar dengan apa yang bapak ini ucapkan. “Semua rezeki sudah diatur oleh sang pencipta. Banyak orang mengeluh karena tidak menyadari bagaimana nikmatnya bersyukur.” Kapal gajah madha sudah berlabuh. Aku melangkahkan kaki berangkat dengan sekumpulan kata-kata bapak tadi yang cukup menggores dada. (Rof”)