Detik demi detik tak mampu lagi menahan kerinduan yang telah mencapai puncak luapan yang tiada tara. Keputusanku jatuh untuk menuruti hawa nafsu ini, walau aku tahu itu bukanlah suatu kebaikan dan bukan pula suatu keburukan. Kerinduan pada senyum manis serta buaian manja yang beberapa bulan terakhir tak ku dapatkan, juga kerinduan pada sang tuan penghuni desa tempat ku di lahirkan.

Untuk kali ini entah mengapa bahagia sangat meluap pada diriku. Tidak hanya di hati, bahkan wajahpun juga menunjukkan ekspresi yang mendukung hal tersebut. Tidak dengan teman-teman ku, mereka melepasku dengan muka muram durja. Aku tau mengapa demikian, kalaupun aku berada di posisinya aku juga melakukan hal yang sama.

Bukan satria kuning bernomor polisi L yang menyertai kepulanganku kali ini, melainkan line bernomor polisi M dengan roda empat. Juga masih berdua, karena kepulanganku kali ini pada saat yang tidak tepat. Entahlah, aku tak pedulikan hal itu, aku hanya ingin mengunjungi ranah kelahiranku saja untuk saat ini. Kapal induk yang bernama Joko Tole masih saja menjadi primadona untuk beberapa kalangan mahasiswa dan orang kebanyakan untuk menyampaikannya kepada ranah yang jauh di ujung sebrerang sana. Bunyi “tuuut…tuuut…tuut…” mulai menyelinap di udara membaur dengan bunyi suara gegap gempita orang kebanyakan yang bersuka cita. Tak lama setelahnya, kapal itupun memuntahkan lautan manusia yang berupa macam. Tak jarang, ada anak kecil yang menangis mencari induknya, juga insan kecil yang baru berusia jagung juga turut serta dalam proses pelepasan rindu ini.

Seperti biasanya, aku memilih duduk di kabin kapal yang jaraknya lebih jauh dari bangku penumpang pada umumya. Tapi tak mengapa, aku memang memprioritaskan tempat tersebut. Selain bisa mengamati indahnya laut dan pulau garam, aku bisa turut serta mengucapkan selamat tinggal kepada insan-insan yang melepas sanak keluarganya masing-masing, juga aku bisa bermanja mesra bersama buaian angin laut yang menyejukkan.

“Pulang juga kau dik ?”

Isi pesan dari ponsel redmi bututku. Siapa lagi yang punyai ciri khas tulisan seperti itu selain seseorang yang ku panggil dengan tiga abjad saja. Ya, namanya memang sederhana. Hanya terdiri dari tiga abjad saja. Namun, menyebut namanya ketika bertatap muka di persimpangan jalan tiada lagi kata sederhana untuk hal itu. Melainkan suatu keistimewaan tersendiri bagiku, bahkan sampai-sampai hatiku melayang bersama udara di angkasa kala melontarkan nama itu lalu di balasnya dengan lambaian tangan serta senyuman khasnya.

Keadaan berubah seratus derajat, begitupun dengan suasananya. Yang tadinya orang kebanyakan berbicara dengan bahasa yang tiada ku pahami. Kini semua orang berbicara dengan bahasa jawa. Welcome to Surabaya. Ya, hal itu karena sekarang aku telah sampai di pelabuhan ujung, Surabaya. Ibarat kata, Surabaya adalah kota metropolitan sebagaimana Jakarta.

…Sampai saat tanah moyangku, tersentuh sebuah bencana dari serakahnya kota. Terlihat murung wajah pribumi tak terdengar langkah hewan beryanyi…

Syair-syair independen mulai berkecamuk di udara. Memecah perhatian serta lamunan beberapa orang tentang sesuatu hal. Syair kali ini terlantun dari sesosok pria paruh baya dengan gitar enam dawai. Syair independen yang di nyanyikannya itu kerap kali membuatku tak sabar untuk segera sampai di Madiun, tempat aku di lahirkan. Tak lama setelah usai, bungkus permen limaribuan di acungkannya ke hadapan manusia-manusia yang membeli kursi. Berbagai respon pun ia dapati. Seratus, limaratus dan seribu atau duaribu bisa di panennya bila dia beruntung.

Rasa kantuk berhasil merenggut kesadaran ku. Tanpa ku sadari tibalah aku di Bungurasih atau yang lebih di kenal dengan terminal Purbaya. Terminal terbesar di Surabaya. Dan aku memiliki kenangan buruk di sini. Ah, sudahlah toh kini kenangan itu telah ku tinggalkan jauh di belakang sana, kenangan itu telah mati beberapa bulan yan lalu.

Dari balik kaca aku memandangi keelokannya. Sejuk dan manis Nampak begitu nyata di depan mata. Gunung Waru, adalah salah satu gunung yang berada di Mojokerto. Dua kali aku pernah bermukim di lerengnya, pertama saat mengantarkan Mas ku ke rumah Bininya dan yang kedua adalah ketika aku mengikuti rentetan kegiatan OSPEK. Mojokerto selalu eksotis, selain gunung yang kokoh berdiri di atas hamparan buminya. Keeksotisan mojokerto ada pada bangunan tua yang telah ada sejak berabad-abad lalu. Majapahit, ya bisa di bilang bangunan-bangunan ini adalah peninggalan kerajaan majapahit. Karena konon Mojokerto adalah pusat dari kerajaan Majapahit. Masih banyak di sini orang-orang yang menganut ajaran agama nenek moyang. Hal ini terlihat dari kebiasaan rakyaknya menyembah berhala dan meletakkan sesajen di bawah  pohon-pohon besar. Dan Trowulan, adalah bukti nyata dari kejayaan Majapahit di masanya. Pahatan-pahatan patung di depan rumah menjadi ciri khas tersendiri dari kota Mojokerto ini.

Pandangan yang mulai sayu, lama – kelamaan mengantarkanku kepada menyatunya bulu mata yang lentik ini. Tanpa terasa papan hijau yang  menggantung di udara itu mulai menunjukkan jarak kota yang ku tuju tinggal beberapa kilometer saja. Udara sejuk khas aroma Gunung Pandan masih tetap sama seperti dua bulan lalu saat aku melangkahkan kaki meninggalkannya. Tak begitu banyak yang berubah, kecuali usia yang mulai menua serta beberapa kematian dari insan yang di pilih Tuhan.

Selamat datang Madiun, ranah kelahiranku. Maaf aku hanya sekedar singgah barang sehari dua hari saja. Muara arus balik ini berakhir di sebuah desa bernama Desa  Duren, Desa yang terletak beberapa kilometer dari lereng Gunung Pandan. Obat mujarab yang bisa menyembuhkan luka kerinduan adalah ini, bertemu orang-orang yang membuat kita besar seperti ini. Malu rasannya aku belum bisa mengukir sebuah garis setengah lingkaran di wajahnya. Beberapa hari ini akan kuhabiskan untuk mereka. Walau tidak seberapa, setidaknya aku pernah melakukannya barang sehari dari tiga ratus enampuluh lima hari. Inginku melakukan itu setiap harinya. Namun apalah daya, jarak tak mengizinkan itu semua terjadi. Tak apalah, itu semua bisa tergantikan ketika kepulanganku setiap bulannya. Sesibuk apapun aku nantinya aku berjanji untuk pulang, barang sehari atau dua hari setiap bulannya. Hanya itu yang bisa ku lakukan untuk mengukir sedikit senyum di wajah salah satunya (Bapak) serta taburan mawar melati sebisa mungkin ku berikan kepadanya yang telah kembali kesisinya. (YepeSari)