Dika adalah seorang mahasiswa tahun ke dua yang merasa sudah salah jurusan sejak pertama kali dia menginjakkan kaki di kelasnya. Dika ingat sekali hari itu, pada suatu pagi yang cerah setelah semua kegilaan masa ospek, Dika akhirnya beneran berangkat ke kampus untuk hal yang berguna, yakni belajar di kelas.

“Aku siapp,, aku siapp seperti spongebob,”

ucap Dika mengawali karirnya sebagai mahasiswa yang katanya agent of change itu. Sesampainya di kelas, seperti layaknya anak SMA, mereka menunjuk salah satu di antara mereka untuk menjadi ketua kelas. Namun, karena ini sudah ranahnya mahasiwa the agent of change, tentu namanya bukan ketua kelas melainkan komting. Hari itu Dika tahu makna kata ‘change’ yang sering digaung-gaungkan senior waktu ospek, change-nya terletak pada diksi. Jobdes mungkin sama, akan tetapi penamaannya berbeda. Sungguh sangat keren dunia mahasiswa. Belum habis rasa takjub Dika tentang dirinya sekarang yang sudah sah menjadi mahasiwa, ketakjuban tersebut seketika bubrah setelah melihat jadwal mata kuliahnya di siakad. Bukan karena perubahan diksi mata pelajaran jadi mata kuliah, bukan itu. Namun, ini lebih gawat lagi, Dika sama sekali tidak tahu apa-apa saja yang akan dia pelajari. Semua judul mata kuliah terasa sangat asing kecuali matematika dan fisika yang sebenarnya sangat dia hindari. Kemudian PPKn dan pendidikan agama, yang sangat Dika syukuri kala itu. Jika saja tidak ada dua mata kuliah itu mungkin IP-nya tidak akan lebih tinggi dari dari tinggi badan rata-rata pemain basket.

Hari berganti bulan, Dika semakin merasa salah jurusan. Hal ini membuatnya jenuh, kemudian mengambil keputusan-keputusan yang membuat hidupnya semakin tidak karuan. Selayaknya pohon, kejenuhan yang setiap hari dipupuk itu pun akhirnya berbuah. Tentu buahnya beraneka ragam, akan tetapi memiliki rasa yang sama, pahit. Mulai dari IP yang hanya sedikit di atas tinggi pemain basket, ditipu temannya sendiri, hingga semrawutnya hubungan percintaan yang tidak kalah pahitnya. Sungguh sangat ironi, mengingat salah satu tujuan Dika kuliah adalah untuk mencari pasangan yang mampu mengisi tempat yang sudah ditinggalkan Rina, mantannya sewaktu SMA. Ironis memang, jika mengetahui Dika belum bisa move on setelah beberapa tahun pisah dengan Rina. Lebih ironis lagi, teman cewek satu angkatan di jurusan itu tidak ada yang bisa menarik perhatian Dika. Bukan karena alasan klise seperti cerita-cerita percintaan lainnya, tetapi karena tidak ada yang cantik aja, menurut Dika. Bagai oasis di tengah gurun, untungnya Dika masih menjaga hubungan baik dengan beberapa gebetannya waktu SMA yang berbeda sekolah. Beberapa malah pernah menjadi kekasih gelapnya ketika menjalin asmara dengan Rina. Salah satu gebetannya adalah Emilia, anak STM yang langsung mendapatkan pekerjaan setelah lulus sekolah. Hal ini tentu membuat gab yang cukup jauh antara Dika dan Emilia. Emilia sudah berpenghasilan cukup untuk menafkahi orang tuanya dan sudah bisa nyicil motor dengan uangnya sendiri. Semenara Dika, hanyalah beban keluarga sama seperti kalian semua saat ini wahai pembaca. Hal ini tentu membuat Dika minder dan setengah-setengah dalam mendekati Emilia. Namun, selayaknya Novel Sharelock Holmes yang banyak twist-nya. Hidup Dika pun tak kalah ngetwist, dengan chatting yang malas-malasan. Jarang ketemuan karena terpisah jarak yang jauh, ditambah kesenjangan sosial tadi. Emilia justru sangat tergila-gila dengan Dika. Mulai dari selalu ngajak jalan setiap kali Dika pulang kampung, telponan sebelum tidur sampai ketiduran, nge-kode pakai quote menye-menye di Ig dan beberapa hal alay lainya yang membuat Dika muak sekaligus yakin,

“Ini cewek suka sama gw?” pikir Dika kala itu.

Bulan berganti tahun, kebucinan Emilia terhadap Dika semakin tak terbantahkan lagi. Mereka sudah seperti sepasang kekasih yang serasi sekali. Seorang karyawan dengan mahasiswa bodoh. Serasi bukan. Namun, Dika tak kunjung menyatakan cintanya pada Emilia. Sebenarnya selama ini ia hanya mencoba bersikap baik saja pada Emilia, selayaknya Emilia baik padanya. Dewasa ini Dika semakin tidak ingin menjalin hubungan, terlebih dengan emilia yang setelah dikenal lebih dekat terkadang membuatnya ilfiel. Menurut Dika, fase PDKT adalah fase terpenting dalam sebuah hubungan, karena disitu kita bisa mengenal baik, buruk, bobroknya satu sama lain. Selayaknya namanya, PDKT ini juga tidak melulu harus jadian dong, kalau gak sesuai ya gimana dong!

Hal ini tidak disadari Emilia, entah takut rugi atay gimana. Emilia semakin gencar meng-kode Dika dengan quote-quotenya. Tak mau kalah, segencar itu pula Dika mengelak dan menghindarinya. Kalau istilah jaman now mah si Dika ini nge-ghosthing, (entah kenapa muncul istilah sulit itu, seingat kami dulu namanya PHP, masih mudah dilafalkan. Mungkin salah satu bentuk perubahan yang dilakukan mahasiswa sebagai agent of change. Entahlah yaa). Hingga pada akhirnya hari itu pun tiba, hari di mana Emilia sangat keras kodenya, beberapa pertanyaan frontal nan emosional yang tak sanggup dielakkan Dika.

Merasa terhimpit oleh keputusasaan karena dunia perkuliahannya yang semakin amburadul hari demi harinya, Dika memberanikan diri untuk menerima tantangan kode minta ditembaknya Emilia. Meski tidak ada rasa, setidaknya pacaran dengan Emilia bisa menenangkan dirinya dari semua kegilaan yang menimpa hidupnya. “Ibarat judi sudah kalah telak sekalian All-in.” Setidaknya itu yang dipikirkan Dika saat membuat keputusan itu. Hari demi hari berlalu, hubungan mereka ternyata tidak seburuk yang dibayangkan Dika. Hubungan mereka berjalan cukup normal dan biasa saja bagi Dika. Banyak intrik dan konflik yang mereka temui dalam hubungan itu. Namun, semua konflik dapat terselesaikan dengan mudah karena setiap kali Dika ingin putus, Emilia selalu bisa memenangkan ketegangan dengan kata kata manis dan air matanya.

“Kita bisa lewatin ini Dik, aku sayang sama kamu, kamu juga sayang sama aku. Eferything will be oke.”

Kalimat itu sering kali terlempar dari mulut Emilia dengan mata yang berkaca kaca, dan tentu saja hal ini membuat Dika menurunkan egonya. Meski terkesan apatis tapi Dika tidak tega membuat anak gadis orang menangis. Namun, bagai pisau bermata dua hal ini juga membuat Dika semakin depresi dengan hidupnya. Sehingga mencoba semakin banyak cara supaya dibenci Emilia, dan berharap Emilia yang minta putus. Sebenarnya Dika punya alasan kuat untuk bisa putus dari Emilia, suatu hari saat mereka jalan, Dika memergoki chat dari seorang cowok bertuliskan ‘Rindu’ dinotifikasi hp Emilia yang Cuma terlihat beberapa detik. Namun, Dika tidak mengungkitnya karena itu bukan gayanya, lagipula buktinya juga tidak ada, nambah-nambahin beban hidup aja.

Singkat cerita usaha Dika pun membuahkan hasil, hari yang dinanti itupun tiba. Entah karena pusing dengan pekerjaannya atau apa. Emilia mendadak minta putus saat sedang bertengkar di chat dengan Dika. Tanpa pikir panjang Dika pun langsung meng-iyakan ajakannya itu. Dika pun lega karena setidaknya satu masalahnya terselesaikan. Namun, seiring berjalannya waktu, dia mulai kesepian. Setelah beberapa bulan Dika akhirnya mengajak mantannya ini jalan, dan Emilia ternyata masih mau jalan dengan Dika. Bahkan mengajak Dika ke luar kota untuk sekedar refressing katanya. Setelah semua pembicaraan yang akward mereka memutuskan untuk menginap di kota tersebut karena destinasi wisata yang mereka tuju lumayan jauh dari pusat kota, ditambah jalan menuju kesana minim penerangan. Mereka menginap di kamar hotel yang sama. Akan tetapi, memilih kamar yang standard twin dengan ranjang yang berjumlah dua. Dika memilih kamar ini bukan hanya karena budged, tapi juga untuk menghindari hal-hal yang akan disesali nantinya kalau sampai terbawa nafsu dan Emilia mau balikan, hancur lagikan hidupnya.

“Diputusin itu berkah, jangan lu sia siain cuma karena satu malam yang nantinya bisa memperrumit hidup.”

Setidaknya itu yang dipikirkan Dika saat memilih kamar di meja resepsionis. Akhirnya mereka pun menghabiskan malam dengan nonton drama korea di telegram hp Emilia, hingga Emilia tertidur pulas di ranjangnya. Karena nanggung dan tidak bisa tidur Dika melanjutkan menonton drakor di grup telegram Emilia itu sendiri. Satu ketika Dika melihat notif chat dari seseorang cowok di whattasp HP Emilia, Dika awalnya mendiamkan chat itu. Tapi, setelah beberapa lama rasa penasarannya mengalahkan idealismenya tentang privasi orang lain. Dika pun membuka chat itu, kemudian melihat chat-chat sebelumnya hingga chat dari 6 bulan kebelakang. Usut punya usut ternyata itu adalah pacarnya Emilia, mereka sudah sayang sayangan dari 6 bulan lalu. Itu artinya Dika diselingkuhi, karena Dika dan Emila baru putus 2 bulan.

“Anjing ni cewek!”

Gerutu Dika dalam hati. Dika melanjutkan lagi membaca chat Emilia dan pacarnya itu dengan lebih seksama hingga dia mengenali bahasa yang dipakai pacar Emilia, yaitu bahasa buaya. Seekor buaya mengenali bahasa sesamanya bukan. Namun, dia tidak memberitahu Emilia. dia pendam saja seolah tidak terjadi apa-apa. Dia duduk termenung di atas kloset duduk, menenangkan hatinya dengan mengumpat dan merokok dalam WC kamar hotel yang seadanya tersebut. Dari sela kloset dan dinding dia melihat seekor kecoa yang mendekati kakinya, bukanya diinjak Dika justru menangkap dan mengajak bicara kecoa tersebut. Seolah memberitahu kecoa tersebut tentang apa yang baru saja dia sadari, dengan setengah berbisik dia berkata kepada si kecoa.

“Heh kecoa, gw kasih tau yaa, gw ini buaya dan gw baru aja dikadalin, anjing kan! Memang benar kata Chrisrock, ‘hidup ini pahit dan panjang men, apalagi kalau lu milih keputusan yang salah’ untung udah putus.”

Kemudian dia membuang kecoa tersebut keluar kamar sebagai simbolis rahasia mantannya biar tetap menjadi rahasia. (dpb)