Orang boleh pandai setinggi langit tapi selama ia tidak menulis ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.”

-Minke, dalam Tetralogi Buru.

Menulis adalah bekerja untuk keabadian.”

-Gadis Jepara,dalam Tetralogi Buru.

Sebenarnya dikatakan me-review tidak tepat, karena lebih pas jika dikatakan memberi komentar terhadap Tetralogi Buru karya Pramooedya Ananta Toer.  Tetralogi Buru terdiri dari empat judul buku, yakni Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah  dan Rumah Kaca. Kesan pertama saat melihat buku-buku tersebut, saya langsung berkomentar “Ah serius nih disuruh baca segini banyak?” Tapi tidak tahu kenapa, diawali dengan beban sebagai tugas, saya menikmati cerita-cerita yang mengalir di dalam buku Tetralogi. Sedikit membosankan memang, tapi setelah hampir setengah buku pertama (Buku pertama yang saya baca adalah Anak Semua Bangsa) saya mulai tertarik. Meski terlambat dari waktu maksimal membaca, tapi saya menikmati keseluruhan cerita. Mengesampingkan alur cerita, saya suka bagaimana Pramoedya bisa menggambarkan keadaan masa-masa pemerintahan Hindia-Belanda dengan begitu detail. Inilah komentar pertama yang muncul saat saya membaca buku Pramoedya untuk yang pertama kali.

Bumi Manusia

Gambar : Bumi Manusia. Bagian pertama dari Tetralogi Buru.

Buku yang pertama ini adalah buku yang terakhir saya baca. Awal dari kisah seorang Minke, yang bersekolah di H.B.S. Cerita yang ada di Bumi Manusia ini mengalir seakan sedang membaca novel roman klasik (apa arti dari novel roman klasik? Saya tidak mengerti tapi karena kalimatnya bagus asal saja saya memasukkannya dalam kalimat itu, hehe). Kisah yang menonjol di dalam Bumi Manusia itu adalah perjalanan cinta Minke dan Annelis (setidaknya itu menurutku). Awal cerita tetralogi diterangkan dalam Bumi Manusia, awal kisahnya. Dalam buku ini, saya tidak begitu suka dengan karakter Annelis. Awalnya saya bersimpati, namun melihat kemanjaannya yang sangat berlebihan itu saya menjadi jengkel. Saya mencoba melihat tokoh Annelis dari dua sisi, aku simpati pada Annelis tapi lebih banyak jengkelnya.

 

Anak Semua Bangsa

Gambar: Anak Semua Bangsa. Bagian Kedua dari Tetralogi Buru

Annelis mati! Kisah pertama yang disajikan dalam buku yang kedua adalah kematian Annelis yang mengenaskan. Kasihan, Bunga Akhir Abad itu. Buku Anak Semua Bangsa ini menceritakan kehidupan Minke setelah perginya Annelis dan pergolakannya untuk menulis Koran sendiri untuk bangsanya. Buku ini adalah buku pertama yang saya baca, dan sepertinya saya mulai kabur dengan cerita detailnya. Cerita yang saya ingat dan saya pelajari dalam buku ini adalah bagaimana seorang pribumi yang menggunakan kecerdasannya untuk membantu bangsanya sendiri. Saya suka tokoh Nyai Ontosoroh dalam buku ini, wanita yang kuat dan bijaksana. Bagaimana seorang pribumi bisa melawan kulit putih dengan begitu hebatnya digambarkan dalam Nyai Ontosoroh di buku ini. Dalam Anak Semua Bangsaterdapat cerita atau peristiwa yang saya favoritkan, yakni adegan dimana Ir. Maurits Mellema mendatangi kediaman Nyai Ontosoroh dan bagaimana Nyai Ontosoroh bisa melawannya dengan ucapan bijaknya. Minke, Jean Marais, May Marais, Kommers, Darsam dan Nyai Ontosoroh dengan segala keberaniannya bisa melemahkan mental orang Eropa hanya dengan ucapan. Itu keren.

 

Jejak Langkah

Gambar : Jejak Langkah. Seri Ketiga Dari Tetralogi Buru

Saya belum menceritakan bahwa Minke itu seorang penulis dan juga sempat bekerja di sebuah Koran Hindia. Itu disebutkan di dua buku sebelumnya. Dalam buku ketiga ini, diceritakan Minke sudah mempunyai surat kabar sendiri dan mulai mendirikan organisasi. Minke mempunyai istri lagi setelah Annelis. Mei, seorang tionghoa yang mati karena sakit yang sangat parah. Lalu di pertengahan buku Minke memiliki istri seorang anak raja Kasiruta, yakni Prinses Kasiruta. Prinses Kasiruta ini berbeda dengan dua perempuan yang pernah menemani hidup Minke. Prinses adalah perempuan tangguh yang sangat berbakti pada suami. Adegan yang sangat keren adalah saat peristiwa penembakan yang dilakukan Prinses Kasiruta. Itu keren. Pada akhir cerita Minke diasingkan ke Ambon.

 

Rumah Kaca

Gambar : Rumah Kaca. Seri Terakhir Tetralogi Buru

Buku terakhir dalam Tetralogi Buru ini adalah Rumah KacaRumah Kaca  ini diambil dari sudut pandang Tuan Pangemanann dengan dua n. Seseorang yang sebenarnya mengagumi Minke namun menjadi salah satu dalang dari pengasingan Minke ke Ambon. Jujur, buku terakhir ini lebih banyak teori tentang pemerintahan Hindia-Belanda dan ini membuat saya sedikit ngantuk saat mencoba menikmati cerita.  Tapi cerita ini bagus, sungguh. Bagian mengharukan adalah saat kembalinya Minke dari pengasingan. Mencoba mencari sanak saudara atau setidaknya teman lama untuk bisa menampungnya namun tidak ada satupun yang ditemuinya. Minke harus mati mengenaskan. Ah Minke, kasihannya hidupmu. (Jr)