Judul: Pulang
ISBN 13: 978-979-91-0515-8
Penulis: Leila S. Chudori
Penerbit: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)

“Dia datang seperti selarik puisi yang sudah genap. Melengkapi nafasku yang mendadak terhenti.” (halaman 12)

“Pulang” bercerita tentang Dimas Suryo, seorang eksil politik yang mendapat kecaman dari pemerintah saat itu karena tidak memihak salah satu golongan politik. Berawal dari surat tugas yang diterimanya untuk menghadiri konferensi-konferensi di luar negeri ketika menjadi wartawan, Dimas tak bisa pulang lagi ke tanah airnya hingga ia memutuskan untuk menikah dengan Vivienne, seorang wanita berketurunan Prancis yang membuatnya jatuh cinta pada pandangan pertama (le coup de foudre). Mereka sendiri dipertemukan pada momen yang unik, yakni pada saat demo mahasiswa di Universitas Sorbonne.
Tak seperti kawan-kawan Indonesia-nya yang lain seperti Nug, Tjai, dan Risjaf yang menikmati kehidupan dan masa depan mereka di Prancis, Dimas selalu ingin pulang dan menganggap Indonesia terutama Karet (sebuah pemakaman di Jakarta Pusat) adalah tempatnya untuk berpulang. Itulah penyebab mengapa Vivienne akhirnya menceraikan Dimas, karena selain tak menganggap Prancis sebagai masa depannya, ia juga merasa bahwa Dimas masih mencintai Surti Anandari, cinta pertamanya yang tertinggal di Jakarta dan menjadi janda karena suaminya mati setelah ditangkap intelijen dan kemudian disiksa.

“Prancis tak pernah menjadi rumah bagi Dimas. Aku sudah menyadari itu sejak awal kami bertemu mata. Ada sesuatu yang mencegah dia untuk berbahagia. Ada banjir darah di tanah kelahirannya. Ada le chaos politique yang bukan sekedar mengalahkan, tetapi merontokkan, kemanusiaan Dimas dan kawan-kawannya. “ (halaman 203)

Selain Dimas Suryo, bagian ketika Lintang Utara (anak satu-satunya Dimas & Vivienne) terbang ke Jakarta untuk membuat film dokumenter juga tak kalah serunya. Dimana pembaca bisa membayangkan kondisi kerusuhan tahun 1998 di kawasan Trisakti, Tomang, depan gedung DPR, dan jalanan di seluruh Jakarta. Pembaca bahkan masih bisa ikut merasakan bagaimana mencekamnya suasana ketika Lintang dan Alam berlindung di rumah Bintaro dengan listrik padam dan sajadah menggantung di atas pagar sebagai penanda bahwa rumah mereka bukan rumah PKI.
Semua tokoh penting di cerita ini diceritakan dengan detail, sehingga sangkut-paut antara cerita yang satu dengan cerita yang lain terjalin dengan baik. Penulis bahkan membuat bab-bab khusus satu per satu untuk setiap nama penting seperti Hananto Prawiro, Surti Anandari, Narayana Lafabre, Vivienne Deveraux, dan Bimo Nugroho. Di lembar-lembar terakhir setelah epilog, disebutkan juga bahwa Leila melakukan banyak riset dan wawancara untuk membuat novel ini terasa nyata dari segi sejarahnya.
Kisah-kisah positif yang ada pada novel ini seperti kisah Dimas, Nug, Tjai, dan Risjaf yang berusaha untuk survive di Prancis dengan membuka Restoran Tanah Air pun membuat saya sangat terinspirasi. Atau cerita tentang Alam yang dengan semangatnya membentuk sebuah LSM dan tak pernah gentar meskipun berkali-kali kantornya digeruduk oleh intel.
Berjumlah 458 halaman, novel ini membuat pembaca seperti menonton sebuah film tentang sejarah yang detail dan mudah untuk divisualisasikan. Isinya padat, efisien, namun sama sekali tidak membosankan dan justru membuat pembaca ingin membaca kelanjutan ceritanya terus menerus. Novel yang memakan enam tahun dalam proses pengerjaannya ini berharga sekali untuk disimak.(jr)