Judul : A9ama Saya Adalah Jurnalisme

Penulis:  Andreas Harsono

Tebal Halaman: 268 hal

Penerbit: Penerbit Kanisius Yogyakarta

ISBN: 978-979-21-2699-0

Tahun Terbit: 2010

 

saya menemukan sebuah buku bersampul merah dengan judul nyentrik yang menurut saya sangat menarik, “A9ama Saya adalah Jurnalisme”. Judul buku yang cukup menyengat ini tentu tak harus buru-buru Anda cela. Andreas Harsono tidak sedang membuat agama baru. Jurnalisme bukanlah agama, tapi jurnalisme dipandangnya sebagai sesuatu yang berguna untuk kebaikan masyarakat. Boleh jadi ibarat agama, meski tak bisa diperbandingkan secara langsung.

Berbekal pengalaman intensnya bersama Bill Kovach, seorang tokoh yang telah menulis The elements of Jurnalizm: What Newspeople Should Know and the Public Should Expect, ia banyak belajar tentang jurnalisme ‘yang seharusnya’. Ia lantas menuliskan pengalaman dalam tulisannya di blog pribadi, andreasharsono.blogspot.com hingga dikemas jadi sebuah buku yang layak dibaca khalayak.

Dengan judul yang terkesan kontroversi ini kemudian saya seakan memasuki ranah bahwa dalam agama pun bisa saja terdapat jurnalisme, namun nyatanya setelah membaca buku Andreas ada sebuah tulisan yang sepemahaman saya menyatakan bahwa tidak ada yang namanya jurnalistik islami. Artinya, ketika hal tersebut terjadi maka tulisan dari jurnalis yang berkecimpung di “jurnalistik islami” adalah sebuah propaganda. Hal ini pun berlaku untuk semua agama.

Mengingat ada berbagai macam jenis tulisan dalam jurnalistik, nyatanya memang tidak mudah untuk menjadi seorang wartawan yang tidak hanya harus dapat mengaplikasikan 9 element jurnalistik, ia pun harus menguasai dunia menulis agar informasi dapat diterima dengan baik oleh pembaca. Maka untuk mendapatkan seorang wartawan yang cukup berkompeten dapat dilakukan dengan membiarkan calon wartawan tersebut menuliskan dua tulisan. Seperti kata penanggung jawab lembaga pers mahasiswa kami, dengan cara demikian dapat dijadikan sebagai salah satu cara untuk mengetahui tingkat kemampuan menulis seseorang dan gaya menulis orang tersebut.

Hal penting lain dalam penulisan jurnalistik adalah memberi kesempatan kepada penulis atau wartawan untuk “tersohor”. Artinya, membiarkan tulisan yang tercetak pada media tertuliskan nama pengampunya. Dengan demikian, maka penulis akan lebih bertanggungjawab dengan tulisannya dan tidak membiarkan redaktur dan pimpinan redaksi saja yang terlibat untuk bertanggung jawab atas tulisan yang diperizinkan naik cetak. Maka dengan begitu kemampuan seorang wartawan pun dapat diakui apabila tulisan yang ada berkualitas serta sebaliknya. Penulisan nama pada tulisan jurnalistik ini dikenal dengan byline. Hal yang baru saya ketahui setelah membaca buku terbitan Kanisus; Yogyakarta.

Selepas itu, ada kabar baik yang akan membuat sebuah terbitan tidak terlibat dalam aksi “amplop-amplop” dengan memisahkan diri dengan iklan. Ada arena yang tidak bisa dimasuki antara keredaksian dan bagian marketing. Dengan demikian, akan memudahkan keredaksian dalam memberikan informasi yang dibutuhkan warga dengan lebih mengutamakan loyalitas terhadap masyarakat sesuai dengan salah satu dari 9 elemen jurnalistik.

Perlu diperhatikan pula bagi wartawan dalam menyampaikan pertanyaan ada baiknya tidak lebih dari 13 kata. Hal ini dapat memudahkan narsumber untuk menjawab dan menghindari “sok tahu”-an wartawan yang bisa saja salah menyatakan sesuatu. Perlu diingat pula diusahakan dalam menbuat pertanyaan menghindari pertanyaan-pertanyaan yang sifatnya tertutup artinya hanya dapat dijawab dengan ya atau tidak.

Demikian selintas dari buku “A9ama Saya adalah Juranlisme” yang dapat sedikit saya bagikan. Menurut saya buku ini layak dibaca untuk kalangan orang dewasa bahkan remaja. Gunanya bukan untuk sekedar tahu bahwa yang berada dalam berita itu bisa jadi bukanlah suatu kebenaran hakiki, malah mungkin cuma opera sabun yang masuk dalam berita. Setidaknya, buku ini sedikit memberi pencerahan bahwa jurnalisme bukanlah kitab suci yang selalu benar apalagi agama yang menuntut berbuat kebajikan. Jadi, sampai mana kepercayaan Anda pada jurnalisme di negeri ini.

Di dalamnya juga terdapat pembahasan mengenai wartawan boleh atau tidak mencuri data sebagai bahan untuk melakukan investigasi. Namun, tidak akan saya bahas di sini.  Dan  sebenarnya mengenal nama Andreas Harsono itu lebih lama dari mengenal bukunya, sebab beberapa kali nama ini sering disinggung di unit kegiatan mahasiswa kampus yang saya ikuti. Meski sampai saat ini belum sempat bertatap muka, dan semoga dikemudian hari Lembaga Pers Mahasiswa kami bisa mendatangkan Andreas Harsono sebagai pembicara terkait materi jurnalistik sastrawi. Sebab kami akan berjalan dalam ranah tersebut dengan panduan dari 9 elemet jurnalistik milik Bill Kovach da Tom Rosenstiel yang disunting oleh Andreas Harsono sendiri.

 

Penulis: (Z.r)